BNPT: 1.250 WNI Terpapar Radikalisme

Tak sedikit dari para WNI terpapar radikalisme itu yang berangkat ke Irak dan Suriah.

BNPT
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol, Boy Rafli Amar
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkap adanya sekitar 1.250 warga negara Indonesia (WNI) yang terpapar radikalisme hingga 2021 ini. Berdasarkan hal tersebut, BNPT menilai radikalisme masih menjadi persoalan serius di Indonesia.

"Jadi tercatat dalam data keberangkatan itu ada 1250-an orang," ungkap Kepala BNPT, Boy Rafli Amar dalam diskusi membahas Perpres Nomor 7 Tahun 2021 terkait RAN PE yang dilakukan secara daring, Jumat (5/2).

Menurut Boy, tak sedikit dari para WNI terpapar radikalisme itu yang berangkat ke Irak dan Suriah untuk mengikuti kegiatan terorisme di negara-negara tersebut. Mereka yang pergi terdiri dari beragam usia dan nasibnya kini beragam.

“Sebagian mereka sudah mati, sebagian mereka ditahan. Ada wanita di dalam camp pengungsian. Anak-anak juga demikian," kata Boy.

Berdasarkan hal tersebut, Boy mengatakan, radikalisme di Indonesia masih menjadi permasalahan serius dan perlu lekas dituntaskan. Radikalisme ia sebut merupakan paham atau ajaran yang bisa masuk melalui penetrasi ajaran agama yang keliru, bahkan tak sedikit melalui propaganda media sosial.

"Ini adalah proses radikalisasi masif yang terjadi baik face-to-face dan juga melalui media sosial dan juga mempengaruhi cara berpikir dan mulai bersikap ekstrem dalam artian di sini setuju terhadap tawaran-tawaran itu,” kata dia.

 

Sebelumnya, BNPT menyatakan, untuk menanggulangi terorisme dari hulu ke hilir memang diperlukan upaya yang dilakukan bersama oleh semua pihak. Karena itu, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 dikeluarkan sebagai payung hukum agar semua pihak dapat ikut terlibat dalam menanggulangi terorisme.

"Ketika bicara dari hulu, hulunya ini kan dari intoleran. Nah konsep secara kebersamaan antakementerian lembaga itulah makanya keluarlah perpres ini," ujar Direktur Penegakan Hukum BNPT, Brigjen Pol Eddy Hartono, lewat telepon, Ahad (17/1).

Dia menjelaskan, jika bicara soal penanggulangan terorisme, maka memang harus dilakukan dari hulu ke hilir, mulai dari intoleransi, intoleransi radikal, radikal terorisme, hingga ke tindak pidana terorisme. Perpres tersebut ia nilai dikeluarkan untuk menanggulangi masalah intoleransi dan intoleransi radikal itu.

"Di sinilah upaya pemerintah untuk menanggulangi masalah intoleran dan radikal intoleran ini secara sistematis, terpadu, berkesinambungan supaya masyarakat dan kementerian/lembaga ini sama-sama melakukan pencegahan," kata dia.

Dia mengatakan, tiga pilar pemerintah yang berada dekat langsung dengan masyarakat, yakni Babinsa, Babhinkamtibmas, dan lurah harus dapat mengidentifikasi permasalahan yang timbul di masyarakat sejak dini. Itu perlu dilakukan agar tak terjadi penyalahgunaan pengertian dari pencegahan intoleransi tersebut, seperti saling tuduh bersikap intoleran.

 

"Itulah tiga pilar di bawah itu yang bisa mengidentifikasi permasalahan yang timbul di masyarakat sejak dini (agar tak saling tuduh bersikap intoleran). Perpes inilah sebagai umrela agar supaya masyarakat dan lembaga tak lagi ragu-ragu menangani intoleran," kata dia.

 
Berita Terpopuler