Pertama Kalinya Sejak 1998, Ekonomi RI Kembali Minus

Kontraksi ekonomi Indonesia tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19.

EPA-EFE/MAST IRHAM
Seorang pria yang memakai masker pelindung wajah berjalan di jembatan penyeberangan di kawasan bisnis di Jakarta, Indonesia, 05 Januari 2021. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 mengalami kontraksi dengan angka minus 2,07 persen.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2020 mengalami kontraksi dengan angka minus 2,07 persen. Ini pertama kali terjadi sejak krisis ekonomi yang melanda dunia tahun 1998 silam.

Baca Juga

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, kontraksi ekonomi yang terjadi pada 2020 tidak terlepas dari dampak pandemi Covid-19 yang melanda di seluruh dunia. Dampak buruk terhadap perekonomian tidak bisa dihindari sehingga menimbulkan tekanan secara global.

"Sejak 1998, pertama kalinya pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali alami kontraksi, karena tahun 1998 ada krisis moneter. Dan, 2020 ini, karena pandemi Covid-19," kata Suhariyanto dalam konferensi pers, Jumat (5/2).

Pada 1998 lalu pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat minus 13,16 persen. Adapun pada 2020, jika dilihat per kuartal, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2020 secara tahunan (year on year/yoy) masih positif, yakni 2,97 persen. Angka tersebut sebetulnya sudah mulai mengalami perlambatan dari tren pertumbuhan sebelumnya yang berkisar pada level lima persen.

Kemudian, untuk pertama kalinya pada kuartal II 2020, pertumbuhan terkontraksi hingga minus 5,32 persen. Memasuki kuartal III, kontraksi kembali terjadi sebesar 3,49 persen dan membuat Indonesia masuk ke masa resesi.

Memasuki kuartal IV 2020, pertumbuhan mengalami perbaikan, tapi tetap kontraksi di 2,19 persen. Dengan tren pertumbuhan itu, secara kumulatif pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2020 minus 2,07 persen.

Suhariyanto mengatakan, tren tersebut menunjukkan adanya perbaikan dari kuartal II 2020 karena angka kontraksi terus mengecil. Namun, tetap dibutuhkan evaluasi bersama agar pemulihan pada 2021 bisa mulai dilakukan.

"Indonesia tidak sendiri, banyak negara di dunia yang mengalami kontraksi," kata Suhariyanto. Sebagai contoh, Amerika Serikat yang terkontraksi 3,5 persen, Korea Selatan satu persen, Hong Kong 6,1 persen, hingga Uni Eropa 6,4 persen.

"Banyak sekali negara-negara yang pada 2020 mengalami kontraksi cukup dalam karena pandemi ini menyebabkan kontraksi yang sangat buruk," kata dia.

Memasuki 2021, Suhariyanto mengatakan, Indonesia masih akan menghadapi sejumlah tantangan. Masing-masing negara memiliki pendekatan yang berbeda-beda untuk melakukan pemulihan. Adapun Indonesia, menurut Suhariyanto, telah menunjukkan indikator-indikator perbaikan.

Misalnya, seperti Purschasing Managers Index (PMI) oleh IHS Markit pada Januari 2021 sebesar 52,2. Level di atas 50 mencerminkan kegiatan industri mulai bergeliat. Selain itu, kinerja ekspor dan impor juga sudah mulai mengalani kenaikan sejak kuartal IV 2020.

"Jadi, betul ada banyak tantangan, tapi ada juga indikator yang menunjukkan perbaikan," ujarnya.

 
Berita Terpopuler