Epidemiolog: Belum Ada Temuan Covid Tipe B117 di Indonesia

Covid-19 tipe mutasi B117 terdeteksi di Inggris dan menyebar ke beberapa negara.

Republika/Bayu Adji P
Petugas melakukan pengujian sampel swab test di Laboratorium PCR Kota Tasikmalaya, Selasa (19/1).
Rep: Rr Laeny Sulistyawati Red: Yudha Manggala P Putra

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Epidemiolog Hariadi Wibisono menyebut varian Covid-19 baru B117 belum dilaporkan ditemukan di Indonesia. Ini berdasarkan data per 28 januari 2021 dari para virologi dan berbagai laboratorium Tanah Air.

“Sampai saat ini, data per 28 januari 2021, para virologi dari berbagai laboratorium yang ada di Indonesia belum melaporkan adanya mutasi virus yang baru. Varian virus Covid-19 yang ditemukan di Indonesia masih tipe D614G dan tipe wuhan,” ujar Hariadi yang menjabat Ketua Umum Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI), dalam keterangan tertulis diterima RepJabar, Kamis (4/2).

Hariadi meminta masyarakat tidak mengkhawatirkan vaksinasi terkait mutasi baru Covid-19. Menurutnya jenis vaksin yang digunakan saat ini masih akan memberikan imunitas pada tubuh. Terlepas dari virusnya jenis lama atau baru.

Ia pun mengimbau masyarakat tetap harus mematuhi protokol kesehatan. Sebab, vaksinasi di Indonesia akan mencapai dampak optimal saat sudah mencakup 70 persen dari jumlah populasi di Indonesia.

Menurut pemerintah, hal itu membutuhkan waktu kira-kira 15 bulan. Sebelum hal itu terjadi, masyarakat belum bisa mendapatkan manfaat langsung dari vaksinasi. Jadi, ia meminta semua pihak memahami bahwa vaksin tidak akan menggantikan protokol kesehatan.

"Vaksinasi akan berjalan bersama-sama dengan protokol kesehatan. Meskipun nanti sudah divaksinasi, tetap menjalankan protokol kesehatan. Dan protokol kesehatan itu hanya bisa sukses kalau seluruh anggota masyarakat sadar dan berpartisipasi aktif,” katanya.

Ia menyadari pandemi Covid-19 yang telah berlangsung selama hampir setahun di Indonesia telah mengakibatkan masyarakat jenuh, capai, dan bosan tinggal di rumah, sehingga banyak yang saat ini merasa terkekang dan tidak lagi mematuhi peraturan protokol kesehatan.

“Masyarakat merasa bahwa mereka harus tinggal di rumah karena dipaksa, sehingga banyak yang merasa terkekang dan akhirnya tidak lagi mematuhi protokol kesehatan,” katanya.

Menurutnya pola pikir seperti itu mesti diubah. Memilih tinggal di rumah itu baiknya bukan karena dipaksa dan hanya untuk  kebaikan diri sendiri. Masyarakat mesti menyadari juga ada risiko ketika ke luar rumah tanpa keperluan penting. Selain membahayakan teman, juga keluarga.

"Justru kita membahayakan nyawa orang yang selama ini paling dekat dengan kita dan paling rawan terpapar Covid-19, misalnya orang tua dan anak kita, ketika  kita pulang ke rumah," ujarnya.

Oleh sebab itu, tinggal di rumah seharusnya bukan lagi menjadi suatu keterpaksaan, tetapi sudah menjadi kewajiban untuk melindungi keluarga terdekat.

 
Berita Terpopuler