Cara Efektif Melakukan Penelitian di Masyarakat

Tak semua hal dapat dijadikan topik penelitian.

dok pribadi
Pelatihan dosen-dosen Fikom Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (UBJ) metodologi penelitian sosial kepada Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Jakarta Barat di Jakarta, Jumat, 22 Januari 2020.
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ratna Puspita, M.Si; Azhar Irfansyah, M.A.; M. Lukman Arifianto, M.Si; dan Prasojo, M.Si. (Tim Abdimas Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya)

Siapa saja bisa melakukan penelitian, tetapi tidak semua hal bisa diteliti. Pernyataan tersebut diutarakan Prasojo, M.Si ketika memberikan materi pelatihan metodologi penelitian sosial kepada Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Jakarta Barat di Jakarta, Jumat, 22 Januari 2020. Pelatihan ini diikuti 13 peserta, termasuk Sekjen DPN SPRI Dika Moehammad.

Pelatihan itu dilakukan sebagai pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh dosen-dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Universitas Bhayangkara Jakarta Raya (UBJ), yakni Ratna Puspita, M.Si; Azhar Irfansyah, M.A.; M. Lukman Arifianto, M.Si; dan Prasojo, M.Si. Pengabdian masyarakat merupakan bagian dari tridarma perguruan tinggi selain pengajaran dan penelitian.

Empat dosen Fikom UBJ memberikan pelatihan metodologi kepada SPRI karena sebagai organisasi masyarakat SPRI kerap melakukan penelitian. SPRI kerap melakukan penelitian terkait masyarakat miskin kota berserta dinamikanya dan upaya untuk menemukan solusi berdasarkan hasil penelitian.

Misalnya, beberapa waktu lalu, SPRI melakukan penelitian terkait survei kerentanan kesehatan dan sosial ekonomi warga miskin kota menghadapi pandemi Covid-19 di 35 Kelurahan di Jakarta dengan total responden sebesar 2.871. Hasil dari penelitian tersebut ditemukan kondisi warga miskin kota memiliki kerentanan terhadap Covid-19 di antaranya 87,2 persen tinggal di perkampungan padat, 39,5 persen responden tidak memiliki handsanitizer di rumah, 22,6 persen responden memiliki anggota keluarga yang berusia diatas 60 tahun yang merupakan usia rentan tertular Covid-19, dan 75,2 persen responden mengakui masih sering berpergian keluar rumah untuk urusan pekerjaan.

Pada satu kesempatan, pengurus SPRI menyatakan kebutuhan pelatihan metodologi penelitian sosial untuk riset-riset SPRI pada masa yang akan datang. Hal ini disadari oleh pengurus SPRI, bahwa mereka memiliki kelemahan dalam hal pemahaman dan penerapan metodologi penelitian mengingat latar belakang anggota SPRI bukan berasal dari kalangan akademisi.

Karena itu, empat dosen bersepakat untuk melakukan pelatihan metodologi penelitian sosial untuk mendukung kerja penelitian SPRI. Hal ini agar tiap hasil penelitian SPRI bisa menjadi landasan untuk pengambilan langkah-langkah strategis dalam mengatasi masalah masyarakat miskin kota di Jakarta. 

Prasojo mengatakan tidak semua hal dapat dijadikan topik penelitian. Ia pun menyarankan agar masalah penelitian sebaiknya spesifik. SPRI dapat mendasarkan masalah penelitian pada dua hal, yakni kebijakan dan peristiwa sosial. Kebijakan ini baik kebijakan nasional seperti keputusan presiden dan menteri, lokal seperti kebijakan gubernur, dan internasional seperti ada kebijakan yang terjadi di luar negeri dan relevan dengan kondisi anggota SPRI.

Sementara peristiwa sosial, yakni berbagai hal yang terkait atau dialami oleh anggota atau basis SPRI. Misalnya, anggota atau basis SPRI mengalami penggusuran maka dapat dilakukan penelitian terkait hal tersebut. Hal yang perlu diingat, yakni penelitian SPRI adalah penelitian yang berpengaruh langsung dan tidak langsung kepada anggota SPRI.

Dalam menyusun penelitian, perlu diingat rumus 5W+1H, yakni What, Why, Who, When, Where, dan How. Pada What, hal yang harus diputuskan adalah menentukan isu apa yang hendak diteliti. Dalam konteks SPRI, isu yang hendak diteliti ini harus bersentuhan langsung maupun tidak langsung kepada anggota SPRI.

Pada Why, yakni menentukan alasan melakukan penelitian, yakni apakah SPRI ingin mencari hubungan misalnya melihat pengaruh kebijakan, memberikan gambaran masyarakat miskin kota, atau rekomendasi kebijakan (policy recomendation). Pada Who, siapa sasaran respondennya? Apakah SPRI akan meneliti anggota SPRI saja atau bukan anggota SPRI juga?

Pada When, kapan penelitian akan dilakukan? Dalam hal ini, SPRI sebagai anggota organisasi masyarakat bisa melakukan dua langkah dalam menentukan kapan akan melakukan penelitian. Pertama, seketika dilakukan sebagai bentuk respons terhadap isu yang berkembang. Kedua, penelitian sebagai agenda rutin.

“Pada merespons isu, perlu ada pemetaan isu mana yang hendak direspons menggunakan penelitian. Sementara sebagai agenda rutin, penelitian sebagai update kondisi dinamika Jakarta yang datanya bisa menjadi masukan kebijakan di DKI,” kata Prasojo.

Pada Where, perlu ditentukan di mana lokasi penelitian. Apakah sesuai domisili anggota SPRI atau di luar anggota SPRI. Terakhir, pada How, bagaimana kegiatan pengumpulan datanya, apakah menggunakan survei atau teknik pengumpulan data lain.

Ketika 5W+1H sudah terjawab maka peneliti perlu menetapkan sifat penelitian (deskriptif, studi kasus, ex post facto, atau research & development), tujuan penelitian, manfaat penelitian. Langkah selanjutnya, yakni tahapan penelitian yang diawali dengan mendefinisikan masalah. Pada bagian ini, peneliti harus mampu menjelaskan masalah penelitiannya.

Kemudian, merancang penelitian. Ini menjadi sesuatu yang penting karena terkait dengan siapa yang akan ditanya atau respondennya dan berapa lama penelitian dilakukan. Lalu, tinjauan literatur.

“Setiap penelitian harus ada bacaan, hasil penelitian sebelumnya yang sudah dilakukan oleh orang lain. Ini perlu dijadikan kewajiban: membaca bagian yang penting dalam menentukan sebarapa besar pengaruh penelitian,” kata Prasojo.

Setelah proses di atas sudah selesai maka peneliti dapat melakukan pengumpulan data misalnya melakukan survei. Proses-proses berikutnya adalah melakukan tabulasi data, membuat kesimpulan atas data, menganalisa data, dan membuat interpretasi data.

Ratna Puspita, M.Si. menjelaskan hal yang harus menjadi perhatian dalam melakukan survei adalah penyusunan instrumen, yakni kuesioner. Pertanyaan-pertanyaan kuesioner sebaiknya tidak dibuat menggunakan penafsiran pribadi, melainkan disusun berdasarkan hasil bacaan.

Misalnya, penelitian soal ketahanan keluarga, peneliti harus menentukan apa yang dimaksud dengan ketahanan keluarga? Apa batasan ketahanan keluarga? Kemudian, tentukan pula dimensi dan indikator dari ketahanan keluarga. Jika di dalam ketahanan keluarga ada soal ketahanan legalitas, apa yang dimaksud dengan ketahanan legalitas.

Membaca jurnal atau penelitian sebelumnya untuk menentukan batasan, dimensi, dan indikator atau ukuran. Hal ini agar kuesioner yang disusun oleh peneliti menjadi lebih valid.

Azhar Irfansyah, M.A. menjelaskan tentang penyusunan pertanyaan dalam kuesioner. Kuesioner terdiri dari keterangan survei, data pribadi responden yang relevan dengan survei, dan daftar pertanyaan yang terkait dengan konsep atau varaibel yang hendak diteliti.

Pada data pribadi, misalnya, zodiak tentu tidak relevan dalam penelitian, sedangkan golongan darah bisa relevan. Namun, elemen-elemen seperti jenis kelamin, dan usia, biasanya relevan.

Dalam menyusun kuesioner, pertanyaan sebaiknya jelas, singkat, membantu responden dalam mengingat, membuat responden bersedia menjawab, menghindari bias, membantu responden mengutarakan, menyaring responden, dan hindari pernyataan negatif ganda yang bakal menmbingungkan. “Negatif bukan julid, tapi yang dikonfirmasi bahwa tidak. Sebaiknya konfirmasi ‘iya’ atau sebisa mungkin bentuk pertanyaan interogatif positif. Hindari juga bahasa teknis dan ndakik-ndakik yang tidak dipahami orang banyak. Jangan sampai dalam satu kuesioner, ada pertanyaan yang memuat dua pertanyaan,” kata Azhar.

Sebagai penutup, Azhar mengingatkan agar peneliti berlatih menceritakan data. Penceritaan atau storytelling akan membuat data lebih mudah dikomunikasikan kepada masyarakat.

 
Berita Terpopuler