Suara Sumbang Program Wakaf Uang yang Diluncurkan Jokowi

Cuitan sumbang wakaf uang tak terlepas dari polarisasi politik.

KIP/Setwapres
Wakil Presiden Maruf Amin mendampingi Presiden Joko Widodo saat meresmikan peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang dan Brand Ekonomi Syariah di Istana Negara, Jakarta, Senin (25/1).
Red: Joko Sadewo

Oleh : Nashih Nashrullah*

REPUBLIKA.CO.ID,  Ada kebanggaan sendiri ketika wakaf, sebagai salah satu pilar filantropi Islam mendapat perhatian serius dari pemerintah, dengan kapasitasnya sebagai pemegang kebijakan. Keterlibatan pemerintah dalam konteks wakaf, sebenarnya tak bisa dipandang  dengan kacamata curiga-..an sih hendak dan pasti mengeskploitasi dana umat. Sejumlah kebijakan memberikan setidaknya peluang investasi dan sekuritas perlindungan dana, dua hal yang menjadi unsur penting dalam pengelolaan wakaf produktif.

Tetapi memang pemandangan seperti di atas tampaknya hanya berlaku pada level idealisme. Peluncuran Gerakan Wakaf Uang oleh pemerintahan Jokowi Ma’ruf pada Senin Senin (25/01)  lalu, nyatanya justru mendapat respons negatif di media sosial. Padahal, gerakan yang sama pernah diluncurkan di era presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2010. Bedanya, pada saat itu, semua hening, biasa-biasa saja.

Perbincangan saya dengan penemu Done Emprit, Ismail Fahmi, yang juga Wakil Ketua Komisi Infokom MUI itu, terungkap sentimen negatif di media sosial terhadap Gerakan Nasional Wakaf Uang versi Jokowi sangat kuat di media sosial, terutama twitter. Dalam dua hari pascapeluncuran, ada total 12.607 cuitan. Dari total tersebut sebanyak 6.300 cuitan negatif, yang bernada positif 5.711, sementara bermuatan netral hanya 567 cuitan. Sebagian besar sentiment negatif Gerakan Wakaf Nasional Uang Jokowi berasal dari akun-akun yang selama ini mengamplifikasikan suara oposan. Sebut saja @ustadtengkuzul, @geloraco, @Kanseulir, dan @OposisiCerdas, @abu_waras, dan @AzzamIzzulhaq. Dua akun pertama banyak mendapatkan reply dan retweet hingga ribuan. 

Baca Juga

Ismail menganalisis, sentimen tersebut tak terlepas dari polarisasi politik yang menguat sejak....

Baca juga : KPK Ungkap Ada Pemprov Beli Aset Milik Sendiri Rp 684 Miliar

Ismail menganalisis, sentimen tersebut tak terlepas dari polarisasi politik yang menguat sejak Pilpres dua periode, 2014 dan 2019. Opini bahwa pemerintah tak berpihak pada ‘umat’ dibangun sedemikian rupa dan berimbas pada sentiment negatif terhadap gerakan wakaf uang.  Kecurigaan itu bertambah dengan keberadaan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam peluncuran itu seakan memunculkan premis: Gerakan Nasional Wakaf Uang diluncurkan saat pemerintah sedang gencar-gencanya membangun infrastruktur, jika demikian, uang wakaf umat akan dipergunakan untuk mendanai proyek pemerintah.

Premis demikian muncul karena banyak faktor, bisa jadi karena memang rendahnya literasi wakaf (faktor ini juga bisa banyak pemicunya), atau murni  karena ketidaksukaan terhadap pemerintah, dalam hal ini adalah rezim Jokowi Ma’ruf, atau justru malah akibat kurang masifnya edukasi dan sosialisasi otoritas terkait peta perwakafan di Tanah Air. Sedikit yang tahu bahwa, investasi dana wakaf ke Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS) atau sukuk negara saat ini berasal dari pewakaf (waqif) korporat (bukan perorangan) dengan Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai nazir. Nilainya kurang lebih Rp 50 miliar dengan akad wakalah dan private placement.

Investasi ke sukuk pun sifatnya pun sangat opsional, pemerintah memberikan kebebasan penuh apakah institusi nazir, akan menginvestasikan dana mereka atau tidak ke sukuk itu. Dan yang terpenting, adalah jaminan keamanan dana yang diwakafkan dalam sukuk negara itu. Praktiknya pun baru dijalankan BWI yang peruntukkan manfaatnya tampak dalam pembangunan retina center di rumah sakit mata pertama di Indonesia, bahkan di dunia berbasis wakaf yaitu Rumah Sakit Mata Achmad Wardi BWI-DD, Serang, Banten.

Pertanyaannya sekarang, apakah suara sumbang di media sosial cerminan perilaku di dunia nyata sehingga berpengaruh pada lambatnya penghimpunan dana wakaf? Perlu penelitian lebih lanjut. Namun dugaan saya, suara sumbang (lebih mirip nyinyiran) tak berpengaruh apapun terhadap perilaku berwakaf di masyarakat. Hal ini antara lain ditandai dengan lambatnya pergerakan wakaf uang sejak pertama kali dikampanyekan BWI. Akumulasi wakaf berdasarkan data BWI per Januari 2020, laporan dari 96 nazir wakaf uang terdaftar adalah Rp 819,36 miliar.

Perinciannya...

Perinciannya, wakaf melalui uang (setornya pakai uang tetapi untuk diwujudkan dalam bentuk bangunan, tanah, dan sebagainya. Jadi aset wakafnya berupa benda tidak bergerak seperti wakaf untuk masjid atau madrasah) sebesar Rp 580,53 miliar. Sedangkan yang murni wakaf uang (yang disetor adalah uang dan yang dinilai sebagai aset wakaf yang harus dijaga pokoknya adalah nominal uangnya. Wakaf uang inilah yg kemudian diinvestasikan ke dalam instrumen sukuk) terkumpul Rp 238,83 miliar.
Jumlah tersebut adalah akumulasi dari sejumlah nazir wakaf selama bertahun-tahun, itu maknanya, potensi wakaf yang diperkirakan mencapai Rp 180 triliun per tahun tersebut optimalisasinya masih jauh panggang dari api.    

Jadi taruhlah, suara sumbang di media sosial bukan persoalan serius dalam akselerasi penghimpunan wakaf uang dan anggap sebagai pelecut transparansi dan komitmen pemerintah beserta otoritas terkait, berarti ada persoalan mendasar mengapa wakaf uang selama ini sekadar dilirik pun tidak oleh masyarakat, yaitu soal lemahnya komunikasi publik dan literasi wakaf. Publik lebih familier dengan zakat yang bersifat wajib atau infak dan sedekah biasa. Padahal wakaf mempunyai banyak kelebihan baik dari aspek syariat ataupun pendayagunaannya. Wakaf merupakan satu-satunya pilar filantropi Islam yang bersifat sunnah dengan aturan pendayagunaan yang lebih fleksibel dibandingkan dengan zakat. Bila diniatkan wakaf pun, pahalanya akan tetap mengalir meski waqif (pewakaf) sudah meninggal dunia.

Jika demikian, tentu perlu kerja ekstra melibatkan semua pihak baik instansi pemerintahan ataupun organisasi kemasyarakatan Islam, tokoh agama, cerdik pandai, intelektual muda, termasuk generasi milenial sehingga muncul duta-duta wakaf, katankanlah ‘buzzer-buzzer’ wakaf. Perlu langkah massif untuk meyakinkan masyarakat bahwa wakaf adalah filantropi yang ‘bebas nilai’, ia tak terikat dengan rezim siapapun, sehingga dalam proses tata kelolanya tak perlu dicurigai apapun secara berlebihan yang malah bisa kontraproduktif. Di samping itu pula mengangkat success story wakaf secara terus menurus yang menunjukkan bahwa sejatinya wakaf adalah dari umat dan akan kembali ke umat.

*penulis adalah jurnalis republika.co.id

 
Berita Terpopuler