Pencabutan Hak Pemilu Eks HTI, Ini Kata Politisi PKS

Pencabutan hak pemilu eks HTI terbilang berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi.

Republika/Prayogi
Sejumlah massa pendukung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) berada diluar gedung Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. (Ilutrasi)
Rep: Rizky Suryarandika Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Badan Legislasi DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Bukhori Yusuf menyinggung rencana pencabutan hak ikut pemilu eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai bentuk ketidakadilan. Dia bahkan khawatir rencana pencabutan itu bisa saja disalahgunakan.

Bukhori menyampaikan, penguasa di tingkat pusat hingga daerah berpeluang mempermainkan pencabutan hak pemilu eks HTI. Mereka bisa saja menjegal saingan politiknya dengan pelabelan HTI agar tak bisa ikut berkompetisi dalam pemilu.

"Klausul itu bertentangan dengan UUD dan sangat karet, tidak tetap, sehingga berpotensi jadi kekuatan politik tertentu," kata Bukhori pada Republika, Rabu (27/1).

Bukhori menegaskan, pencabutan hak pemilu bagi eks HTI terbilang berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi di Tanah Air.

"Contoh penguasa ingin tahan seseorang supaya tidak jadi lawannya di Pilkada, maka cukup saja kongkalikong dengan penegak hukum agar dianggap eks HTI. Ini berbahaya sekali. Menggerus hak warga negara," lanjut Bukhori.

 

Bukhori menyinggung pemerintah seakan tak percaya dengan tiap orang yang ingin mengikuti pemilu. Sebab, jika ingin mengikuti ajang Pemilu, maka calon kepala daerah wajib menyertakan keterangan setia pada NKRI sekaligus bukan eks HTI.

"Bahwa kalau itu kemudian dilakukan berarti sama halnya menuduh seluruh bangsa Indonesia 270 juta orang adalah mantan HTI karena disyaratkan supaya tidak dianggap HTI, maka harus ada surat keterangan dari kepolisian," ujar Bukhori.

Bukhori menyayangkan, jika klausul pencabutan hak pemilu eks HTI benar-benar direalisasi. "Gimana ceritanya kok nuduh bangsanya sendiri adalah mantan organisasi tertentu yang dilarang, kemudian pemerintah ini mau jadi pemimpin bagi siapa?" tambah Bukhori.

Di sisi lain, jika klausul tersebut resmi disahkan, Bukhori mengingatkan, perlu ada mekanisme jelas soal penentuan keanggotan HTI seseorang. HTI yang sejatinya berupa pola pikir dianggap Bukhori sulit dipetakan pada diri masing-masing orang.

"Siapa yang disebut HTI, bagaimana cirinya. Anggap saja misal pengurusnya bisa saja belum tentu HTI banget, tapi yang bukan pengurus justru HTI banget. Pertanyaannya adalah bagaimana cara kita tetapkan orang tersebut mantan/tidak HTI. Tentu tidak mudah," ucap Bukhori.

Dalam RUU Pemilu, aturan mengenai larangan eks anggota HTI ikut Pilpres, Pileg, dan Pilkada tertuang dalam Buku Ketiga Penyelenggaraan Pemilu, BAB I Peserta Pemilu Bagian Kesatu Persyaratan Pencalonan.

Pasal 182 ayat 2 (ii) menyebutkan bahwa calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/Wali Kota dan Wakil Wali Kota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.3O.S/PKI.

 

Lalu, dalam Pasal 182 ayat 2 (jj) menyebutkan bahwa calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Walikota dan Wakil Walikota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bukan bekas anggota HTI. 

 
Berita Terpopuler