Peternakan Ayam di Banyumas Berguguran

Banyak peternakan ayam gulung tikar karena terdampak pandemi.

Ditjen PKH Kementan
Peternakan ayam. Ilustrasi
Rep: Eko Widiyatno Red: Yudha Manggala P Putra

REPUBLIKA.CO.ID, BANYUMAS -- Peternakan ayam di Kabupaten Banyumas tengah berguguran. Ketua Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Banyumas, Gembong Heru Nugroho, menyebutkan kondisi ini terjadi sejak awal masa pandemi Covid 19.

''Baik peternak ayam pedaging dan petelur, hampir semuanya gulung tikar,'' jelasnya, Selasa (26/1).

Kondisi ini, menurut Gembong, ditambah lagi dengan ulah oknum penegak hukum yang dinilai justru sering mencari-cari kesalahan peternak. ''Di Banyumas, banyak peternak yang dianggap dituduh melanggar ketentuan UU tentang UPL (Unit Pengolah Limbah),'' katanya.

Yang menjadi masalah, kata Gembong, para peternak ini bukannya dibimbing dan dibina agar peternakannya bisa memenuhi persyaratan ketentuan. "Tapi ada beberapa oknum yang justru meminta sejumlah uang pada peternak, agar kasus pelanggaran soal UPL ini tidak diproses hukum,'' katanya.

Gembong menyebutkan, kondisi peternak ayam baik baik ayam pedaging maupun petelur, sejak beberapa waktu terakhir sedang menghadapi masa sulit. Bahkan mereka yang masih bisa meneruskan usahanya, harus menanggung kerugian cukup besar.

Menurutnya, harga telur ayam ras di tingkat peternak saat ini hanya dihargai sekitar Rp 15.000 per kg. Dengan kondisi harga pakan saat ini, harga telur mestinya sekitar Rp 19.000 per kg. ''Dengan harga Rp 19.000 per kg, kami baru bisa impas dengan biaya produksi. Tapi kalau di bawah harga itu, jelas peternak akan menanggung kerugian,'' katanya.

Demikian juga dengan ayam pedaging. Gembong menyebutkan, meski harga ayam pedaging saat ini tidak anjlok terlalu dalam dibanding telur ayam ras, namun peternak masih harus menanggung kerugian.

''Di Banyumas, sebelum wabah Covid 19, ada sebanyak 200 unit usaha peternakan ayam pedaging dan petelur. Namun sekarang, hanya tinggal sekitar 10 unit usaha peternakan yang masih bertahan,'' katanya.

Menurutnya, harga jual telur dan ayam pedaging yang anjlok dan harga pakan ternak yang justru terus mengalami kenaikan, menjadi persoalan yang dihadapi peternak. Kondisi ini masih ditambah adanya wabah Covid 19, yang menyebabkan kondisi pasar semakin sepi sehingga menekan harga telur dan ayam pedaging.

Dalam kondisi seperti ini, Gembong menyebutkan, peternak di Banyumas masih dihadapkan dengan persoalan hukum yang dinilai cenderung dicari-cari oleh oknum petugas. Terutama terkait dengan masalah Unit Pengolah Limbah. ''Ada beberapa peternak yang mengeluh mereka didatangi oknum penegak hukum, dan diancam akan diperkarakan bila tidak menyetorkan sejumlah uang,'' katanya.

Salah satu yang menjadi korban, menurut Gembong, adalah anaknya sendiri yang memiliki peternakan ayam petelur di Desa Limpakuwus Kecamatan Sumbang. Dia mengaku, pada masa awal wabah Covid 19 terjadi, anaknya didatangi petugas yang menanyakan masalah keberadaan UPL (Unit Pengolah Limbah).

Dia menyebutkan, lokasi peternakan anaknya berjarak sekitar 1 km dari lokasi pemukiman penduduk terdekat, dan selama ini tidak ada masalah dengan lingkungan. Lebih dari itu, peternakan tersebut juga sudah berproduksi sejak tahun 2008.

Namun oknum tersebut tetap menilai peternakannya melanggar hukum, karena tidak memiliki UPL. Gembong menilai persoalan tersebut hanya cenderung dicari-cari, karena oknum tersebut berjanji akan menghentikan penyelidikan bila anaknya bersedia membayar Rp 90 juta. ''Ini yang saya sesalkan,'' katanya.

Gembong mengaku menuruti permintaan tersebut. Namun akhirnya, kasus UPL di peternakan anaknya berlanjut ke proses persidangan di Pengadilan Negeri Banyumas. ''Meski pun sejak Juli 2020 lalu, anak saya sudah mulai mengurus rencana pembuatan UPL,'' katanya.

Terkait hal ini, Gembong berharap agar para penegak hukum bisa bersikap adil. ''Mestinya, kalau memang para peternak belum membuat UPL, bisa dilakukan pembinaan dengan menggandeng dinas terkait. Bukan malah diproses hukum seperti ini,'' katanya.

 
Berita Terpopuler