Lafran Pane: HMI, Masyumi, Hingga Teladan Nabi Muhammad

Keteladanan pahlawan nasional pendiri HMI Prof Lafran Pane.

Lukman Hakiem
Prof. Lafran Pane (x) di antara sejawat dan juniornya.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Lukman Hakiem, Ketua Umum HMI Cabang Yogyakarta 1983-1984, Mantan Anggota DPR dan Staf M Natsir.

25 Januari, tepat 30 tahun yang lalu, bangsa Indonesia kehilangan salah seorang putra terbaik. Pada 25 Januari 1991 itu pemrakarsa berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Prof. Drs. H. Lafran Pane berpulang ke Rahmatullah dalam usia menjelang 69 tahun.

Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu'anhu....

Kebersahajaan

Mengenang tokoh yang pada November 2017 dikukuhkan sebagai pahlawan nasional ini adalah mengenang tokoh yang hidupnya diliputi kebersahajaan.

Sampai akhir hayatnya, adik kandung Sanusi dan Armijn Pane ini tinggal di rumah dinas yang disediakan negara kepadanya sebagai guru besar IKIP (sekarang UN) Yogyakarta.

Populer juga kisah tentang seorang alumni HMI yang ingin mengganti sofa di ruang tamu Lafran Pane dan ditolak keras. Alasannya? Jika sofa rumahnya diganti, akan menjadi sofa paling bagus di kompleks perumahan itu. Lafran tidak mau terlihat berbeda dari lingkungannya.

Dengan kebersahajaannya, ketika di Yogya sudah mulai ngetrend orang--termasuk mahasiswa dan dosen--mengendarai sepeda motor, Lafran istiqamah dengan sepeda ontelnya.

Maka, kader-kader HMI di Yogya terbiasa melihat Lafran Pane dengan sepeda ontelnya di kampus, di Shoping Centre, di Jl. Sudirman, Malioboro, atau Demangan.

Suatu siang yang terik, tiba-tiba Lafran Pane muncul di Sekretariat HMI Cabang Yogyakarta, Jl. Dagen 16, dengan sepeda ontelnya yang terkenal itu, yakni sebuah sepeda masa kini berwarna hijau.

Melihat yang datang adalah pemrakarsa berdirinya HMI, para aktivis bersiap menyambut dan menjawab jika Lafran bertanya soal HMI.

Di luar dugaan siapa pun, Lafran ternyata bertanya tempat menjual sepeda anak-anak yang bagus, tetapi harganya agak miring. "Cucu saya ingin sepeda."

Setiap awal bulan, Lafran muncul di kampus Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS) untuk mengambil jatah beras. Dia selalu menolak tawaran siapa pun yang hendak membantu membawakan jatah beras itu ke rumahnya yang tidak jauh dari kampus.

Aktivis HMI FKIS IKIP Yogyakarta terbiasa melihat seorang profesor, berkaca mata, dan berpakaian safari, mengayuh sepeda dengan muatan satu karung beras.

 

Pandangan Lafran

Rumah Lafran Pane dengan tempat kos saya di Jl. Mrican Gang Sambu No. 3 yang juga berfungsi sebagai Sekretariat HMI Korkom IKIP Yogya relatif dekat. Bahkan, kami sama-sama satu jamaah Masjid Al-Falah.

Di masjid kampung itu--masjid milik masyarakat, bukan masjid kampus--Lafran Pane tercatat sebagai salah seorang khatib. Seingat saya, Lafran Pane tidak pernah "bolos" dari jadwal yang telah ditetapkan.

Meskipun berkhutbah di masjid kampung, Lafran Pane tidak pernah terlihat memakai sarung. Dia selalu bercelana panjang warna hitam atau cokelat dan berbaju putih. Takmir masjid pun tidak pernah memprotes penampilan Lafran Pane itu.

Suatu hari, kami shalat Idul Adha di Lapangan IKIP. Imam dan khatib adalah sejawat Lafran sesama guru besar di IAIN (kini UIN) Sunan Kalijaga Yogya. Sejawat Lafran Pane itu tampil dengan gamis panjang lengkap dengan serban yang dililitkan di kepala. Mirip dengan pakaian yang biasa dikenakan oleh para bangsawan Arab.

Di perjalanan pulang, Lafran Pane berbicara pelan, "Apa pula kawan itu, mengimami shalat Idul Adha di Indonesia, kok memakai pakaian Arab."

Lafran memang dikenal dengan pandangannya yang memisahkan secara ketat mana perilaku Muhammad shallallahu 'alaihi wasalam sebagai Nabi dan Rasul; mana pula perilaku Muhammad sebagai  manusia biasa.

Lafran, misalnya, punya pandangan yang khas tentang zakat dan pajak. Saya menduga, pandangan Lafran Pane itu memengaruhi pandangan K.H. Masdar Farid Mas'udi yang pernah menjadi mahasiswa Lafran di Fakultas Syariah IAIN Yogya. Wallahu'alam.

Menolak Jabatan

Karena tempat tinggal kami yang relatif dekat, saya pun relatif sering bersilaturahim ke rumah Lafran.

Dalam suatu obrolan, Lafran dengan ekspresi datar bercerita bahwa berdasarkan kebijakan rektor IKIP, mulai bulan itu dia tidak lagi mendapat tunjangan guru besar. Bahkan, tunjangan yang sudah telanjur dia terima, harus dikembalikan. Caranya? Ya, dengan memotong dari gaji yang dia terima setiap bulan.

Mendengar cerita itu, darah muda saya langsung naik. "Ini zalim. Tidak boleh dibiarkan. Rektor harus didemo. Hak Pak Lafran harus dikembalikan."

Sebagai informasi, pada 1974 terjadi unjuk rasa besar-besaran mahasiswa yang menuntut pengunduran diri Rektor IKIP Yogya, Prof. Sutrisno Hadi.

Karena ketika peristiwa demo besar itu di IKIP Yogya HMI adalah organisasi terbesar dan nyaris satu-satunya, Lafran Pane pun dianggap berada di belakang aksi para mahasiswa tersebut. Akibatnya, bekas dekan FKIS itu tidak boleh mengajar di kampusnya. Meskipun demikian, berdasarkan kebijakan Rektor Prof. Imam Barnadib, M.A., Ph.D, gaji dan tunjangan guru besar Lafran Pane tetap dibayar penuh.

Ketika Imam Barnadib diganti oleh Drs. St. Vembriarto, muncul kebijakan menghentikan tunjangan jabatan dan wajib mengembalikan yang sudah diterima.

Melihat kemarahan saya, Lafran Pane menenangkan.

Dia bercerita, dirinya baru pulang dari Sumatra Barat memenuhi suatu undangan. Di bandara dan di sepanjang perjalanan menuju tempat acara, Lafran melihat beberapa spanduk menyambut kedatangan dirinya. "Saya ini apalah," ujar Lafran, "disambut dengan spanduk, disediakan mobil dan hotel mewah oleh Gubernur Azwar Anas."

Sebagai orang yang tidak memiliki jabatan apa-apa, Lafran merasa berbahagia dan terhormat dengan penyambutan seperti itu. "Jadi," tegas Lafran menyambung pembicaraan, "kau jangan bikin macam-macam."

Tak lama kemudian, Lafran yang menerima saya di teras rumah dengan pakaian kebesarannya, sarung dan kaus oblong, beranjak masuk ke dalam.

Dari dalam rumah, dia membawa dua map. "Kau lihat dan baca," perintah Lafran.

Map itu berisi surat masing-masing dari perguruan tinggi di Sumatra dan Sulawesi. Kedua surat itu berisi permintaan agar Prof. Lafran Pane bersedia menjadi rektor.

"Jika saya mau, saya tinggal memilih mau jadi rektor di mana, tapi saya tidak mau. Jabatan itu adalah hak adik-adik saya yang sudah lama mengabdi di sana," kata Lafran sambil sekali lagi menambahkan bahwa dirinya sudah berbahagia dengan keadaannya sekarang.

"Ingat, kau jangan bikin masalah," kata Lafran saat saya pamit.

 

 

 

 

Lafran dan Masyumi

Pada 7 November 1984, Dewan Mahasiswa Universitas Islam Indonesia (DM-UII) menyelenggarakan diskusi panel dengan narasumber Dr. Nurcholish Madjid dan Fachry Ali M.A.. Saya didaulat menjadi moderator.

Beberapa hari menjelang diskusi, saat hendak naik angkot, saya berpapasan dengan Lafran Pane. Dia langsung menyergap dengan pertanyaan, "Kalian mau merayakan ulang tahun Masyumi?"

Saya bingung dan tidak bisa langsung merespons.

"Kalian kan mau bikin acara tanggal 7 November. Itu hari ulang tahun Masyumi."

Saya manggut-manggut seraya menjawab, "Kebetulan saja, Pak."

Sampai sekarang, saya tidak pernah bertanya kepada DM-UII mengenai nawaitu membuat acara itu ada kaitan dengan ulang tahun Masyumi atau tidak. Yang saya tahu, acara itu dimaksudkan untuk mangayo bagyo Nurcholish Madjid yang baru kembali ke Tanah Air setelah menyelesaikan studi Ph.D di Chicago University, Amerika Serikat.

Sejak Lafran Pane bertanya kepada saya, di kalangan aktivis HMI Yogya terbentuk kelompok "Pitunov" (Pitu, tujuh, November) yang tiap tahun menyelenggarakan diskusi mengenai Masyumi.

Apakah Lafran Pane anti atau pro-Masyumi? Berpuluh tahun pertanyaan itu menggantung, sampai kemudian saya menemukan surat pengunduran Drs. Lafran Pane dari Masyumi. Surat pengunduran diri pada 1959 itu, selain ditandatangani oleh Lafran Pane juga ditandatangani oleh Ketua Masyumi Yogyakarta, H.M. Darban.

Surat pengunduran diri itu menjadi bukti bahwa Lafran Pane pernah menjadi anggota Masyumi.

Mengapa mengundurkan diri? Dugaan saya, itu berkaitan dengan peraturan yang melarang pegawai tinggi pada suatu kementerian aktif di partai politik.

Dengan dugaan ini, pengunduran diri Lafran Pane dari Masyumi tidaklah unik. Di tingkat nasional, Sindian Djajadiningrat (pegawai tinggi pada Kementerian Keuangan) dan Osman Raliby (pegawai tinggi pada Kementerian Agama) mengundurkan diri dari (pengurus) Masyumi.

Jika Lafran tidak mundur dari Masyumi, bisa jadi, dia tidak akan dikukuhkan menjadi profesor. 

Humoris

Untuk ukuran tubuh orang Indonesia, Lafran Pane terhitung tidak tinggi. Dengan perawakan seperti itu, ditambah kebiasaannya memakai safari dan kacamata relatif tebal, tidak keliru jika orang menganggap Lafran Pane seorang yang serius.

Anggapan itu terpatahkan oleh suatu peristiwa.

Saat sedang berjalan, persis di depan rumahnya, Lafran Pane yang sedang berdiri di teras rumah, melihat dan memanggil nama saya. Dia meminta saya mampir.

Sesudah duduk beberapa jenak, Lafran bertanya mengenai buku biografi Nabi Muhammad. 

Saya yang baru selesai membaca buku Haikal, Hayatu Muhammad yang diterjemahkan oleh Ali Audah dengan bangga mempromosikan buku tersebut.

Lafran Pane menyimak dengan serius sambil sesekali manggut-manggut. Melihat omongan saya disimak dengan serius, saya makin bersemangat, hingga Lafran Pane menginterupsi. "Saya juga sedang membaca biografi Nabi Muhammad. Coba kau lihat."

Lafran berdiri, lalu masuk ke dalam rumah untuk mengambil buku yang sedang dibacanya. Ketika Lafran muncul dengan buku yang sedang dibacanya, giliran saya yang terkejut. Buku yang sedang dibaca oleh Lafran Pane itu ternyata berbahasa Prancis ditulis oleh Dr. Hamidullah.

"Bapak bisa bahasa Prancis?" tanya saya menutupi rasa terkejut.

"Ya," kata Lafran sambil tersenyum. "Saya ini orang Prancis. Nama saya La Fran Pane."

Pak Lafran ternyata bisa bercanda juga. 

 

 

 
Berita Terpopuler