Ketidaksetaraan Akses Vaksin Timbulkan Kesenjangan Imunitas

Vaksinasi Covid-19 telah dimulai di 52 negara, sedangkan di 142 negara lain belum

Ketidaksetaraan dalam akses ke vaksin Covid-19 dapat menciptakan situasi berbahaya di seluruh dunia, sehingga tidak mungkin untuk sepenuhnya mengendalikan wabah virus.
Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Ketidaksetaraan dalam akses ke vaksin Covid-19 dapat menciptakan situasi berbahaya di seluruh dunia, sehingga tidak mungkin untuk sepenuhnya mengendalikan wabah virus.

Baca Juga

Menurut situs Ourworldindata, 52 negara telah mulai memvaksinasi penduduknya sementara 142 negara lainnya belum memulai program vaksinasi massal. Sejauh ini, lebih dari 53,78 juta dosis vaksin Covid-19 telah diberikan di seluruh dunia.

Dari jumlah tersebut, 22,55 juta dosis telah diberikan di Asia, 17,75 juta di Amerika Utara, 13,15 juta di Eropa, 330.512 di negara-negara Amerika Tengah dan Selatan dan 7.000 di Afrika.

Amerika Serikat dan China menjadi negara yang paling banyak memberikan vaksin Covid-19 di dunia, masing-masing 16,53 juta dan 15 juta dosis.

Jumlah tersebut kemudian disusul oleh Inggris dengan 5,70 juta, Israel 3,60 juta, Uni Emirat Arab 2,16 juta, Jerman 1,30 juta, Italia 1,25 juta, Turki 1.080.000 dan Rusia dengan 1 juta dosis.

Sementara itu, di 142 negara vaksinasi sama sekali belum dimulai, termasuk 53 negara di Afrika, 47 di kawasan Asia-Pasifik, 28 di Amerika Tengah dan Selatan dan 14 di Eropa.

 

Meskipun hal itu disebabkan oleh prosedur yang tidak lengkap untuk persetujuan vaksin di beberapa negara maju seperti Australia, Selandia Baru, Jepang dan Korea Selatan, vaksinasi massal tidak dapat dimulai karena sebagian besar negara tidak mempunyai akses ke vaksin-vaksin yang ada.

Pada Senin, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus menyoroti ketidaksetaraan global dalam akses ke vaksin dalam salah satu pidatonya. Sementara, 39 juta dosis telah diberikan di 49 negara berpenghasilan tinggi, hanya 25 dosis telah diberikan di negara berpenghasilan paling rendah.

"Saya harus terus terang, dunia berada di ambang kehancuran moral yang dahsyat - dan harga dari kegagalan ini akan dibayar dengan nyawa dan mata pencaharian di negara-negara termiskin di dunia," kata Ghebreyesus.

Reservasi vaksin virus Covid-19 oleh negara-negara berpenghasilan tinggi dan menengah melalui perjanjian bilateral mencegah akses global yang adil terhadap vaksin.

Misalnya, Pfizer menargetkan untuk memproduksi 1,3 miliar dosis vaksin pada akhir 2021 dan sebagian besar dari jumlah ini akan dialokasikan untuk dosis yang dijanjikan berdasarkan perjanjian bilateral.

Minimnya akses vaksin akibat kesepakatan bilateral menyebabkan kegagalan penyediaan vaksin ke fasilitas Akses Global Vaksin Covid-19 (COVAX) yang dipimpin oleh WHO untuk memastikan akses global yang adil terhadap vaksin virus korona.

Di negara-negara yang tidak memiliki akses terhadap vaksin, tidak dimungkinkan untuk memvaksinasi kelompok berisiko seperti petugas kesehatan, lansia dan pasien kronis. Hal itu dapat menyebabkan peningkatan terus menerus dalam jumlah kasus dan kematian terkait virus di negara-negara ini.

Selain itu, ketiadaan imunitas dari vaksin di banyak negara dapat membuat pandemi global tidak mungkin sepenuhnya dibendung. Hal ini dapat menimbulkan bahaya terhadap negara yang secara geografis terisolasi dan tidak dapat memberikan vaksin.

Sejak Desember 2019, pandemi telah merenggut lebih dari 2,08 juta jiwa di 191 negara dan wilayah. Lebih dari 97 juta kasus telah dilaporkan di seluruh dunia, dengan pemulihan mencapai lebih dari 53,6 juta.

 
Berita Terpopuler