Pendidikan Harus Jadi Salah Satu Fokus Penanganan Covid-19

Rektor Yarsi menyebut tidak ada anggaran khusus pendidikan di penanganan Covid-19

Republika/Raisan Al Farisi
Rektor Universitas Yarsi Fasli Jalal menilai selama penanganan Covid-19, masalah pendidikan masih belum ditangani secara serius. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya anggaran yang difokuskan untuk sektor pendidikan di dalam penanganan Covid-19.
Rep: Inas Widyanuratikah Red: Ichsan Emrald Alamsyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Yarsi Fasli Jalal menilai selama penanganan Covid-19, masalah pendidikan masih belum ditangani secara serius. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya anggaran yang difokuskan untuk sektor pendidikan di dalam penanganan Covid-19.

Di dalam anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PCPEN) pemerintah menganggarkan Rp 695,2 triliun. "Jadi kesehatan ada (alokasinya), perlindungan sosial ada, UMKM, insentif usaha ada, tapi pendidikan belum ada untuk gudang sumber daya manusia," kata Fasli, dalam diskusi daring ICMI Talks Dampak Covid-19 Terhadap Bonus Demografi, Kamis (21/1) malam.

Ia mengatakan situasi pandemi Covid-19 masih terus berjalan, tanpa diketahui kapan akan berakhir. Hingga saat ini, kata dia, Indonesia bahkan belum menunjukkan akan mencapai puncak sebab setiap harinya jumlah orang terpapar belum menunjukkan penurunan.

Selain itu, efektivitas vaksinasi yang mulai dilakukan juga belum dapat diketahui. Akhirnya, masyarakat tetap harus menahan diri tidak keluar rumah kecuali terpaksa, menghindari kerumumnan, rajin cuci tangan, memakai masker, dan menjaga jarak.

Pandemi ini menyebabkan angka kurang gixi meningkat, yang kenaikannya bisa mencapai 20 persen. Padahal kekurangan gizi memudahkan seseorang terjangkit Covid-19. Hal ini tentunya semakin menganggu aktivitas masyarakat.

Selain itu, dari segi pendidikan saat ini anak-anak Indonesia belajar dalam kondisi yang berbeda. Fasli menyebut, saat pembelajaran di kelas guru bisa menjaga kesamaan pembelajaran bagi semua murid. Namun, saat pandemi dilakukan belajar dari rumah. Hal ini menyebabkan kondisi pembelajaran masing-masing siswa berbeda.

"Belajar di rumah mereka belajar di rumah-rumah yang kadang kita tidak bisa bayangkan kondisnya. Sementara sebagian anak-anak kita menikmati dengan segala fasilitasnya. Kesenjangan ini sudah ada sebelum Covid-19, bertambah saat Covid-19," kata Fasli.

Jauh sejak sebelum pandemi, Indonesia sudah menyusun berbagai program untuk mempersiapkan bonus demografi yang akan mencapai puncak sekitar tahun 2030-2045. Pada puncaknya nanti, jumlah angkatan kerja di Indonesia akan mencapai 200 juta lebih.

 

Terjadinya pandemi, tentunya mempengaruhi berbagai program pendidikan yang dilakukan untuk mempersiapkan bonus demografi ini. Oleh karena itu, perhatian pada sektor pendidikan harus ditingkatkan agar ketika mencapai bonus demografi nanti, tenaga kerja Indonesia bisa bersaing dengan dunia internasional.

Kondisi ketimpangan belajar harus menjadi perhatian pemerintah khususnya pada masa pandemi ini. "Ketimpangan pengetahuan makin lebar, yang sudah terjadi sebelum Covid-19 melepar sekarang. Rentan putus sekolah dan mengganggu dalam capaian dia untuk mendapatkan bonus demografi," kata dia lagi.

Lebih lanjut, Fasli merekomendasikan beberapa hal terkait pendidikan Indonesia. Menurutnya, upaya agar sekolah tatap muka harus terus diusahakan. Namun, jika tatap muka tidak dimungkinkan maka kesehatan harus menjadi pertimbangan utama.

Selain itu, guru harus dibantu untuk mempersiapkan pembelajaran daring dengan baik. "Perangkat belajar untuk anak-anak juga dibantu. Kalau perlu ada subsidi atau pinjaman untuk gadget yang bisa dipinjamkan kepada keluarga yang tidak mungkin menggunakan sendiri," ujar Fasli.

Fasli juga memberikan perhatian kepada bantuan untuk perguruan tinggi. Ia menyayangkan, tidak adanya anggaran khusus untuk perguruan tinggi swasta yang sangat terdampak pandemi.

Menurutnya, jika bank dan pedagang diberi bantuan, mestinya pusat pengembangan sumber daya manusia seperti kampus juga diberikan bantuan khusus. "Kenapa hanya kesehatan, kemiskinan, dan ekonomi. Harusnya pendidikan. Karena tanpa itu, makin rontok pendidikan kita nanti dan susah mengembalikannya," kata dia menegaskan.

 
Berita Terpopuler