Donald Trump dan Joe Biden: Pelajaran dari Demokrasi Amerika

Belajar demokrasi dari Joe Biden dan Donald Trump

AP/Doug Mills/Pool The New York Times
Presiden Joe Biden dan Ibu Negara Jill Biden, berkendara di dekat Gedung Putih selama Pengawalan Presiden ke Gedung Putih, Rabu (20/1/2021) di Washington.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: DR Nasir Tamara, Mantan Wakil Pimred Republika dan Dosen Pasca Sarjana UGM. 

Malam Rabu 20 Januari 2021 -di Washington pagi hari-  ada tontonan politik yang amat menarik. Bagi seluruh dunia. Penuh dengan drama dan tragedi. Ini juga sebuah simbol upaya mengembalikan prinsip-prinsip-prinsip mulia demokrasi di negara terkuat secara militer dan ekonomi terbesar di dunia yaitu  Amerika Serikat. 

Tentunya akan menjadi catatan sejarah yang penting bagi dunia karena selama ini Amerika Serikat menjadi model dari demokrasi dan kemajuan ekonomi, budaya dan peradaban untuk banyak pemimpin.

Berkat teknologi digital setiap orang dapat menyaksikan langsung saat itu juga  peralihan kekuasaan dari Presiden yang didukung oleh Partai Republik  Donald Trump kepada Joe Biden Presiden terpilih yang didukung oleh Partai Demokrat. Pemeluk agama Katolik kedua setelah Presiden Kennedy menjabat Kepala Negara.

Dunia amat terkejut melihat Amerika setelah penyerbuan Capitol, gedung Parlemen Amerika oleh para pendukung fanatis Presiden Donald Trump yang menyebabkan banyak orang meninggal dan luka-luka. Biasanya itu hanya terjadi di negara-negara berkembang, dunia ke tiga. Hal yang dianggap mustahil, ‘insurrection’ terjadi setelah pidato-pidato dari Trump dan lingkaran terdekatnya di White House.

Inilah sebuah pelajaran bahwa demokrasi itu bisa sakit dan mati bila tidak dijaga.

 

Nasir Tamara: Pengerahan aparat keamanan yang belum pernah terjadi dalam sejarah Amerika untuk acara pelantikan Presiden Amerika Serikat dengan kehadiran 25.000 serdadu National Guard ditambah dengan polisi Washington DC.

Laporan dari FBI dan badan inteligen lain mengkhawatirkan karena adanya bahaya penyerbuan bersenjata yang  oleh orang-orang pro Donald Trump yang bisa terjadi di seluruh Amerika.

Oleh karena itu para peserta upacara pelantikan yang bisa mencapai lebih 100.000 orang tidak mungkin hadir sehingga digantikan oleh bendera-bendara yang ditancapkan di sepanjang halaman the Mall.

Suasana itu makin mencekam karena suasana duka berkepanjangan. Di hari pertamanya menjabat 400.000 lebih warga Amerika meninggal akibat virus Corona. Makin tragis lagi jumlahnya  bertambah terus meskipun vaksin sudah ditemukan.

Pelantikan itu juga istimewa karena Wakil Presiden USA terpilih adalah perempuan yang pertama dalam sejarah negeri itu. Wanita pertama yang berkulit berwarna, setengah India dari ibunya,  yang meraih jabatan teramat penting itu.

Absennya Presiden Donald Trump dalam pelantikan tampak sekali disengaja.  Tidak ada wishing well dan jabat tangan antar presiden yang baru dan presiden yang lama. Padahal menurut kebiasaan protokol, seremoni perpindahan jabatan secara resmi selalu ada.

Pertama kali sejak tahun 1869 dalam sejarah Amerika. Donald Trump merekayasa meninggalkan Gedung Putih hanya beberapa jam sebelum pelantikan Presiden dan Wakil Presiden baru.

 

Saya menyimak di CNN pidato terakhirnya di pangkalan udara militer Andrews yang dihadiri oleh anggota keluarga dan beberapa pendukungnya  tanpa Wakil Presiden Mike Pence. Semuanya tidak memakai masker.

Pidato Trump menyebutkan keberhasilannya sebagai Presiden selama empat tahun. Di bidang ekonomi, dalam membuat vaksin, memperkuat ekonomi dan militer. Melupakan kritik akan caranya yang kasar dalam diplomasi dan ‘berbagai ancaman dan kebohongan’.

Donald Trump tercatat dalam sejarah Amerika sebagai Presiden pertama yang mengalami impeachment dua kali sehingga ia tidak mungkin menurut undang-undang mencalonkan kembali sebagai Presiden untuk ke dua kalinya.

Bahkan terbuka kemungkinan mantan Presiden ini akan diadili bila ada bukti yang kuat bahwa penggerak kekerasan yang disebut sebagai ‘domestik terroris’ di Amerika Serikat adalah Presiden Trump sendiri. Senat akan segera bersidang memanggilnya setelah pelantikan Presiden.

Presiden baru memilih Lady Gaga untuk menyanyikan Lagu Kebangsaaan Amerika. Sebelum pelantikan ia  bersama First Lady dan para politikus secara bi-partisan bersama berdo’a di Katedral St.Mathew, Washington. Pada pelantikannya datang mantan Presiden Obama, Clinton dan Bush.

Begitu juga para musuh-musuh politiknya yang sampai sebelum Biden dinyatakan terpilih sebagai Presiden AS mereka masih menyerangnya. Termasuk Wakil Presiden Mike Pence yang diminta untuk digantung oleh penyerbu Capitol. 

Demokrasi Amerika memungkinkan dua kubu yang bermusuhan secara politik bisa segera berkomunikasi lagi secara publik.

Presiden Biden mempunyai tugas berat sekali untuk menyembuhkan luka-luka akibat perpecahan bangsa Amerika yang makin dalam di bawah Trump. Sungguh suatu masa yang penuh ketegangan dan konflik besar.

Tidak heran dalam pidatonya bertema Call of Unity Biden sering menyebutkan pentingnya rekonsiliasi dan persatuan nasional. Sebagai seorang politikus kawakan yang lama menjadi anggota Parlemen dan delapan tahun sebagai Wakil Presiden mendampingi Obama beliau memiliki modal yang besar.

 

Namun sekaligus Presiden juga harus segera memenangkan perang terhadap virus Corona dengan segera melakukan vaksinasi terhadap seluruh penduduk Amerika. Dia juga harus menjaga supaya ekonomi tetap kuat karena bila Amerika batuk berat dunia bisa sakit.

Di hari pertama, meskipun posisi Kabinet masih banyak kosong Presiden Biden akan mengumumkan Executive Order yang mengubah semua keputusan Trump.

Saya catat beberapa yang penting: USA akan kembali mendukung Paris Accord tentang perobahan iklim, kembali lagi menjadi anggota WHO, mengembalikan hubungan baik dengan dunia Islam, lebih mengutamakan kerjasama multilateral tidak lagi bilateral dan juga sistem bantuan kesehatan USA yang populer disebut Obama Care.

Pukul 23.48 Presiden disumpah dengan injil keluarga. Pukul 11.52 Presiden Biden mulai pidatonya. “Democracy is precious, democracy is fragile but now democracy prevails” (“Demokrasi itu berharga, demokrasi itu rapuh tapi sekarang demokrasi menang”).

Syukurlah semua acara pelantikan berjalan lancar dalam damai. God Bless America.

Satu tahun sebelum Reformasi saya menulis bahwa Indonesia dapat belajar dari Amerika ‘tradisi demokrasi dengan munculnya tradisi grass-roots serta lebih diperhatikannya hak asasi manusia.

Keterbukaan pada persaingan antara manusia dan generosity dari penduduk Amerika perlu juga diperhatikan. Namun ada  pula pengaruh negatifnya yaitu dapat munculnya kapitalisme tanpa batas dan ideologi untuk terus memperbesar kue ekonomi tanpa imbangan kewajiban untuk membagi kue  buat orang-orang yang miskin”.

 

Hubungan Indonesia dan Amerika teramat penting seperti saya pernah tulis di sebuah buku. Betapa proses demokrasi di Indonesia didukung oleh Amerika Serikat terutama sejak masa Reformasi tahun1998. Contohnya beberapa Amendemen UUD’45 dan kemunculan berbagai institusi demokratis yang lahir selama revolusi.

Saya percaya ada peluang besar untuk mempererat hubungan RI-USA yang win-win dengan pemerintah baru USA. Untuk kebaikan bersama ketika dunia harus bersatu melawan pandemi Covid-19. Memenangkannya dalam waktu singkat.

Sebelum tidur saya merenung.

Mungkin ini waktu yang terbaik bagi saya untuk menerbitkan ulang kembali buku yang berjudul Pengaruh Amerika Serikat dalam Dunia Intelektual di Indonesia (Penerbit Bentang, 1997). Dengan data-data dan hasil riset terbaru dengan munculnya demokrasi digital di dunia. Do’akan teman-teman semua.

 
Berita Terpopuler