Berkicau Soal Xinjiang, Twitter Kunci Akun Kedubes China

Twit Kedubes China dinilai melanggar kebijakan Twitter.

EPA
Twitter
Rep: Dwina Agustin Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI -- Twitter mengunci akun Kedutaan Besar China di Amerika Serikat (AS) karena kicauan yang mendukung kebijakan di wilayah Xinjiang. Platform media sosial AS tersebut dinilai melanggar kebijakan perusahaan terhadap dehumanisasi.

Baca Juga

"Kami telah mengambil tindakan pada tweet yang Anda rujuk karena melanggar kebijakan kami terhadap dehumanisasi yang menyatakan: Kami melarang dehumanisasi sekelompok orang berdasarkan agama, kasta, usia, disabilitas, penyakit serius, asal negara, ras, atau etnis," kata juru bicara Twitter pada Kamis (21/1).

Akun Kedutaan Besar China, @ChineseEmbinUS, mengunggah tweet bulan ini yang mengatakan bahwa perempuan Uighur bukan lagi menjadi mesin pembuat bayi. Pernyataan itu mengutip sebuah penelitian yang dilaporkan oleh surat kabar China Daily yang didukung pemerintah.

Kicauan itu pun ditutup oleh Twitter dan diganti dengan label yang menyatakan, itu tidak lagi tersedia. Meskipun Twitter menyembunyikan tweet yang melanggar kebijakannya, pemilik akun harus menghapus postingan tersebut secara manual. Akun Kedutaan Besar China belum mengunggah tweet baru sejak 9 Januari.

 

Penangguhan akun kedutaan dilakukan sehari setelah pemerintahan Donald Trump pada jam-jam terakhirnya menuduh China melakukan genosida di Xinjiang. Kedutaan Besar China di Washington tidak segera berkomentar atas tindakan itu. Twitter diblokir di China, tetapi menjadi platform yang semakin disukai oleh diplomat China dan media pemerintah.

China telah berulang kali menolak tuduhan pelecehan di wilayah Xinjiang, meski Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatakan setidaknya satu juta orang Uighur dan Muslim lainnya telah ditahan di kamp-kamp. Tahun lalu, sebuah laporan oleh peneliti Jerman, Adrian Zenz, yang diterbitkan oleh lembaga think tank Jamestown Foundation menuduh China menggunakan sterilisasi paksa, aborsi paksa, dan keluarga berencana yang memaksa terhadap minoritas Muslim. Kementerian luar negeri China mengatakan tuduhan itu tidak berdasar dan palsu. 

 
Berita Terpopuler