Kematian Global Covid-19 Lampaui 2 Juta Jiwa

Banyak negara yang belum memperoleh akses terhadap vaksin.

EPA/CDC
Virus corona dalam tampilan mikroskopik. (ilustrasi)
Rep: Fergi Nadira Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Jumlah kematian global akibat Covid-19 telah melampaui dua juta jiwa, Jumat (15/1). Angka ini dicapai di tengah peluncuran vaksin yang begitu besar, namun tidak merata.

Di beberapa negara ada harapan nyata untuk mengalahkan wabah tersebut. Sementara di negara-negara lain terlihat sangat jauh untuk melawan wabah.

Angka yang mematikan itu terjadi lebih dari setahun setelah virus Corona pertama kali terdeteksi di kota Wuhan, China. Jumlah korban meninggal yang dihitung oleh Universitas Johns Hopkins, hampir sama dengan jumlah penduduk Brussel, Mekah, Minsk atau Wina.

Seperti dilansir laman Aljazirah, lebih dari 93 juta kasus virus telah dikonfirmasi di seluruh dunia sejak dimulainya pandemi. Eropa adalah benua yang krisis kesehatannya terbukti paling mematikan. Tercatat 650.560 kematian akibat Covid-19 hingga saat ini.

Amerika Latin dan Karibia mencatat 542.410 kematian, sedangkan Amerika Serikat dan Kanada sebanyak 407.090 kematian akibat Covid-19. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres menyerukan solidaritas global dalam mengatasi pandemi saat ia menandai tonggak sejarah yang sangat menyayat hati.

"Sayangnya, dampak mematikan dari pandemi tersebut diperburuk dengan tidak adanya upaya terkoordinasi global," katanya dalam sebuah video.

Baca Juga

Di negara-negara kaya termasuk Amerika Serikat, Inggris, Israel, Kanada, dan Jerman, jutaan warga telah diberikan perlindungan dengan setidaknya satu dosis vaksin yang dikembangkan dengan kecepatan revolusioner. Vaksin di negara-negara tersebut pun segera diizinkan untuk digunakan.

Namun demikian di tempat lain, dorongan vaksinisasi hampir tidak berhasil. Banyak ahli memperkirakan kehilangan dan kesulitan di tempat-tempat seperti Iran, India, Meksiko, dan Brasil yang bersama-sama menyebabkan sekitar seperempat kematian dunia.

"Sebagai sebuah negara, sebagai masyarakat, sebagai warga negara, kami belum mengerti," keluh Israel Gomez, seorang paramedis Mexico City.

Dia menghabiskan waktu berbulan-bulan mengantar pasien Covid-19 dengan ambulans, putus asa mencari tempat tidur rumah sakit yang kosong. "Kami belum mengerti bahwa ini bukanlah permainan, bahwa ini benar-benar ada," ujarnya.

Meksiko dengan negara berpenduduk 130 juta orang sangat menderita akibat virus tersebut. Negara itu baru menerima 500 ribu dosis vaksin dan hampir setengah dari jumlah itu diserahkan kepada petugas kesehatan.

Di Amerika Serikat, meskipun ada penundaan awal, ratusan ribu orang menyingsingkan lengan baju mereka setiap hari untuk divaksin. Tetapi virus itu telah menyebabkan kematian sekitar 390 jiwa, jumlah korban tertinggi di negara mana pun.

Fasilitas Akses Global Vaksin Covid-19 atau COVAX, proyek yang didukung PBB untuk memasok suntikan ke negara-negara berkembang di dunia mendapati dirinya kekurangan vaksin, uang, dan bantuan logistik. Akibatnya, kepala ilmuwan Organisasi Kesehatan Dunia memperingatkan bahwa sangat tidak mungkin herd immunity yang membutuhkan setidaknya 70 persen dari dunia untuk divaksinasi akan tercapai tahun ini.

Pakar kesehatan juga khawatir jika suntikan tidak didistribusikan secara luas dan cukup cepat, hal itu dapat memberi waktu virus untuk bermutasi. Dr Julian Tang, dari University of Leicester, mengatakan angka ini tidak terlalu mengejutkan mengingat situasinya.

"Ini adalah virus baru yang tidak ada yang benar-benar memiliki kekebalan, dan kami sedang melewati musim dingin di mana virus pernapasan ini secara tradisional memuncak," katanya.

"Vaksin virus corona datang agak terlambat, jadi kami menggabungkan semua itu, musim dingin, penundaan dalam vaksinasi, kerumunan dalam ruangan yang datang dengan musim dingin, jenis puncak dan kematian ini mungkin tidak terlalu mengejutkan," ujarnya menambahkan.

 
Berita Terpopuler