Tragedi SJ182, Industri Penerbangan Kembali ke Tepi Jurang

Jika ada larangan mendarat di eropa maka penerbangan Indonesia kembali terpuruk.

EPA-EFE/ADI WEDA
Petugas penyelamat dan Disaster Victim Identification (DVI) Indonesia memeriksa bagian tubuh yang diduga ditemukan selama operasi pencarian puing-puing penerbangan Sriwijaya Air SJ182, di pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta, Indonesia, 10 Januari 2021. Kontak dengan penerbangan Sriwijaya Air SJ182 hilang pada 09 Januari 2021 sesaat setelah pesawat lepas landas dari Bandara Internasional Jakarta dalam perjalanan ke Pontianak di provinsi Kalimantan Barat.
Red: Joko Sadewo

Oleh : Nidia Zuraya*

REPUBLIKA.CO.ID, Butuh waktu 11 Tahun bagi industri penerbangan Indonesia untuk bisa kembali mengudara di langit Eropa. Izin bagi maskapai Indonesia untuk bisa mendaratkan pesawatnya di seluruh daratan Eropa ini keluar setelah adanya keputusan resmi dari Komite Keselamatan Penerbangan Uni Eropa pada 14 Juni 2018.

Sebelum keputusan tanggal 14 Juni ini dikeluarkan, reputasi industri penerbangan Indonesia berada di posisi yang terpuruk. Maskapai Indonesia memang memiliki sejumlah catatan buruk di mata dunia. Dari persoalan ketepatan waktu terbang atau on time performance (OTP) hingga keselamatan penerbangan.

Sayangnya, meski Komite Keselamatan Penerbangan Uni Eropa sudah menghapus maskapai Indonesia dari 'daftar hitam' mereka, hanya empat bulan berselang peristiwa nahas kembali terjadi di industri dirgantara nasional. Jatuhnya peswat Lion Air JT610 dengan rute Jakarta-Pangkalpinang pada 28 Oktober 2018 seakan kembali mencoreng wajah Indonesia.

Setelah pesawat Lion Air JT610 jatuh di Tanjung Karawang, Jawa Barat, pemerintah serius untuk mengkaji ulang tarif batas bawah penerbangan pesawat murah. Saat itu, banyak pihak satu suara bahwa tarif tiket pesawat yang murah menjadi pangkal permasalahan di industri penerbangan sipil Indonesia. 

 

Tiket yang dijual murah ini membuat maskapai-maskapai yang beroperasi di dalam negeri dinilai tak memiliki kemampuan finasial yang cukup dalam melakukan perawatan berkala armada pesawatnya, sehingga faktor keselamatan penerbangan pun diabaikan.

Dalam komponen biaya jasa angkutan udara, biaya pengadaan bahan bakar dan pelumas mengambil porsi terbesar, yakni mencapai 35 persen. Urutan kedua ditempati oleh komponen biaya pemeliharaan armada pesawat sebesar 18 persen. Selanjutnya, biaya penyusutan atau sewa pesawat (14,46 persen), kebandarudaraan (10 persen), pemasaran/penjualan (4,5 persen), organisasi (5 persen), asuransi (6,04 persen), serta gaji kru dan teknisi (7 persen).

Namun, langkah pemerintah untuk menghapus kebijakan tiket murah hanya bertahan setahun. Bak buah simalakama, kebijakan tersebut justru membuat bisnis maskapai nasional terpuruk. Tak ada lagi tiket murah berdampak pada sepinya penumpang. Akibatnya, banyak maskapai berbiaya murah yang semakin terjepit.

Kondisi tersebut direspons oleh pemerintah dengan menerbitkan regulasi baru untuk menurunkan tiket pesawat. Aturan itu tercantum dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 72 Tahun 2019. 

Regulasi baru mengenai ketentuan harga jual tiket pesawat ini membawa angin segar bagi industri penerbangan sipil nasional. Perlahan, bisnis penerbangan mulai bangkit kembali. Sayangnya, hal tersebut tak berlangsung lama.

Kemunculan virus corona penyebab penyakit Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) membuat bisnis maskapai kembali terpuruk, bahkan bisa dibilang babak belur. Banyak yang beranggapan tahun 2020 lalu merupakan tahun kematian bagi industri penerbangan.  

Asosiasi Transportasi Udara Internasional atau International Air Transport Association (IATA) mencatat, jumlah lalu lintas perjalanan global melalui jalur udara anjlok 95 persen pada April 2020 jika dibandingkan April 2019. IATA juga memprediksi krisis industri penerbangan baru bisa pulih dari dampak Covid-19 hingga 2024.

Sementara, Indonesia National Air Carrier Association (INACA) menyebut, dari Januari-April 2020 di empat bandara besar di Indonesia, yakni di Jakarta, Bali, Medan, dan Surabaya, terjadi penurunan penumpang internasional sebanyak 45 persen. Sementara, untuk penumpang domestik, penurunan terjadi sebanyak 44 persen dari Januari-April 2020.

Kerugian yang dialami maskapai penerbangan dari empat bandara besar tersebut, jika dibandingkan dengan periode yang sama pada 2018 mencapai sekitar 812 juta dolar AS.

 

Kabar jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ182 di saat bisnis penerbangan masih dibekap dampak pandemi Covid-19 menambah catatan sejarah kelam industri penerbangan Indonesia. Terlebih lagi, sempat beredar kabar bahwa armada yang digunakan dalam penerbangan Sriwijaya Air SJ182 rute Jakarta-Pontianak ini merupakan pesawat tua. 

Pabrikan pesawat terbang membatasi usia maksimal pesawat yang boleh digunakan maskapai hanya sampai 20 tahun. Hal ini karena komponen kualitas baja, komponen suku cadang, dan logistik yang sudah tidak memadai.

Jika dari hasil penyelidikan nantinya dugaan ini benar bahwa pesawat Sriwijaya Air yang jatuh adalah pesawat tua, pamerintah harus segera bertindak. Saatnya pemerintah melarang pesawat-pesawat yang usianya sudah di atas 20 tahun.

Kalau persoalan usia pesawat ini tidak segera direspons, tak menutup kemungkinan maskapai Indonesia tak lagi diizinkan mendarat di Eropa dan belahan dunia lainnya.

*) Penulis adalah Redaktur Republika.co.id

Baca Juga

 
Berita Terpopuler