Saran Guru Besar IPB untuk Pengelolaan Budi Daya Benur

Pengelolaan benih lobster harus terintegrasi dari hulu ke hilir.

ANTARA/Jojon
Pedagang menunjukan lobster jenis bambu di Kendari, Sulawesi Tenggara, Jumat (18/12). Harga lobster mengalami kenaikan menjelang Natal dan perayaan Tahun Baru 2021 dari Rp120 ribu per kilogram menjadi Rp300 ribu per kilogram.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Ari Purbayanto, menilai keputusan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menghentikan ekspor benur sebagai langkah yang tepat. Jika dibiarkan, persoalan yang timbul akibat kebijakan tersebut akan sulit untuk diselesaikan.

"Keputusan penghentian sementara ekspor BBL (benur) dapat dipandang tepat karena bila tidak dihentikan, dugaan monopoli ekspor dan permasalahan tata niaga BBL di lapangan akan menjadi bertambah kompleks dan bahkan pada akhirnya sulit diselesaikan," jelas Ari saat dihubungi, akhir pekan kemarin.

Ari sepakat dengan pendapat yang menyatakan BBL tergolong tinggi dibanding negara-negara lain di dunia. Namun, jika itu tidak dikelola dengan baik, mulai dari penetapan jumlah tangkapan yang diizinkan, termasuk jumlah alokasi penangkapan, stoknya yang melimpah dapat dengan cepat terkuras habis.

Dia mengingatkan, kebijakan itu sudah diatur dalam PermenKP Nomor 12 tahun 2020. Aturan tersebut ia katakan sudah mengatur mengenai hal tersebut, yang salah satunya eksportir wajib melakukan usaha budidaya lobster sebagai syarat sebelum izin ekspor.

"Pada kenyataannya tidak demikian. Budidaya belum atau tidak dilakukan atau dilakukan hanya untuk memenuhi syarat memperoleh izin. Jadi kegiatan budidaya BBL ini belum dilakukan secara serius apalagi masif. Sehingga BBL yang dibeli dari nelayan sebagian besar diekpor," kata dia.

 

Karena itu, dia mengatakan, tata kelola soal BBL yang baik sudah seharusnya dilkukan, salah satunya dengan membangun kemitraan yang saling menguntungkan antara eksportir atau industri budidaya dengan nelayan. Itu bisa dilakukan di antaranya melalui koperasi atau Kelompok Usaha Bersama (KUB).

"Mekanisme ini sebenarnya sudah diarahkan dalam kebijakan KKP. Di mana eksportir tidak hanya membeli BBL dari nelayan melalui KUB untuk diekspor atau dibudidayakan, tetapi juga melakukan pembinaan termasuk perikatan kerja sama dengan nelayan melalui KUB. Ini yang belum terjadi," kata dia.

Ari menerangkan, di lapangan, eksportir melalui agennya membeli putus BBL dari nelayan melalui KUB dengan harga yang ditetapkan eskportir. Tidak ada perjanjian kerja sama antara mereka dengan KUB. Itulah yang menurut dia harus lekas dibenahi.

"Ini yang dikeluhkan nelayan yang kami survei di Lebak Banten pada November-Desember 2020," ungkap dia.

Dia mengatakan, sebenarnya eksportir melakukan pembinaan dan kerja sama dengan KUB atau koperasi nelayan, dan koperasi atau KUB memberikan pasokan BBL ke eksportir. "Selain Koperasi atau KUB sebagai perwakilan nelayan yang bernegosiasi dengan mitra eksporter, juga memberikan perlindungan dan jaminan sosial kepada nelayan yang menjadi anggota KUB atau koperasi," kata dia.

Sebelumnya, banyak kalangan menyarankan model pengelolaan benih lobster haruslah terintegrasi dari hulu ke hilir. Pemanfaatan lobster selain memperhatikan aspek kelestariannya, juga harus dilihat manfaatnya dari sisi ekonomi demi menunjang kesejahteraan nelayan dan pembudidaya lobster.

Kini, potensi BBL sebanyak 25,1 miliar ekor, dengan survival rate sebesar 30 persen. Dari potensi tersebut, kebutuhan pasar ekspor, terutama ke Vietnam, sebanyak 50 juta ekor. 

 

Dari kuota pasar ekspor tersebut, pemerintah mengatur sebanyak 2 persen benih lobster yang ditangkap dari alam harus dibudidayakan, untuk selanjutnya dilepasliarkan. Dengan ketentuan itu, maka potensi lobster Indonesia akan terus diupayakan lestari. 

 
Berita Terpopuler