Kesan Muslim Sunni Kelas II di Iran dan Jawaban Khamenei   

Muslim Sunni di Iran merasa menjadi warga kelas II di Iran

EPA-EFE/SUPREME LEADER OFFICE HANDOUT
Muslim Sunni di Iran merasa menjadi warga kelas II di Iran. Ilustrasi Pemimpin Tertinggi Iran, Ali Khamenei
Rep: Ratna Ajeng Tejomukti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Dalam sebuah surat kepada Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, Ayatullah Ali Khamenei, Imam Sunni di Zahedan, Mawlana Abdul Hamid, menyatakan warga Sunni di Iran masih dianggap sebagai warga negara kelas dua.  

Baca Juga

Surat yang diterbitkan pada Selasa, (5/1) di situs informasi resmi ulama Sunni, secara eksplisit ditujukan kepada Khamenei. 

"Selama 42 tahun setelah kemenangan Revolusi Islam, kaum Sunni Iran masih menghadapi banyak masalah dan kekhawatiran tentang hak-hak sipil, hingga mereka merasa sebagai warga negara kelas bawah di Iran yang Islam," tulis Abdul Hamid.  

Dia merujuk pada isu-isu seperti tidak diangkatnya pejabat Sunni sebagai menteri, gubernur, penasihat atau wakil presiden, perwakilan dari Pemimpin Tertinggi dan penasihat Pemimpin Tertinggi, dan jabatan terbatas mereka dalam kementerian, angkatan bersenjata, dan pusat-pusat provinsi Sunni sebagai contoh masalah warga Sunni.  

Dalam wawancara dengan Radio Farda, Abdul Hamid sebelumnya mengkritik diskriminasi terhadap Sunni dan kurangnya persamaan antara etnis dan denominasi di Iran.  

Abdul Hamid menulis dalam surat barunya bahwa masalah utama adalah bahwa keputusan untuk Sunni dibuat di tempat-tempat tertentu, dan kebanyakan keputusan itu di luar hukum dan sewenang-wenang.  

Abdul Hamid lebih lanjut memperingatkan Pemimpin Tertinggi Iran bahwa kumpulan masalah dan keprihatinan dari Sunni secara bertahap memaksa mereka untuk kehilangan moral mereka meskipun sangat mencintai tanah air mereka dan sama sekali kehilangan harapan dalam perbaikan negara. 

 

Dia juga mengkritik upaya dari sebuah organisasi yang baru didirikan yang disebut Dewan Perencanaan Sekolah Sains Agama Sunni. 

Dia mengatakan dewan ingin mendominasi semua urusan agama Sunni dengan bantuan dan tekanan dari badan intelijen dan lembaga peradilan di berbagai bagian negara, di kota dan desa, dan menampilkan dirinya sebagai pelindung semua urusan agama Sunni. 

Dia juga mengatakan bahwa Pasal 12 Konstitusi Republik Islam telah memberi umat Islam kebebasan penuh dalam urusan agama mereka. 

Abdul Hamid menekankan bahwa perintah Khamenei untuk menghapus diskriminasi terhadap Sunni di Iran yang dikeluarkan sebagai tanggapan atas surat Pemimpin Sunni 2017 dianggap formalitas dan belum dilaksanakan oleh direktur eksekutif negara.  

Pada Agustus 2017, Abdul Hamid menulis surat kepada Khamenei yang mendesaknya untuk mengakhiri diskriminasi dan ketidaksetaraan terhadap Sunni di Iran. 

Khamenei, yang telah mengabaikan surat-surat Abdul Hamid sebelumnya, telah menanggapinya. 

"Semua elemen Republik Islam terikat kewajiban oleh ajaran agama dan Konstitusi, untuk menahan diri dari membiarkan diskriminasi dan ketidaksetaraan di antara orang Iran dari etnis apa pun, ras atau keyakinan," ujar Khamenei. 

Surat itu diterbitkan Kepala Stafnya 10 hari setelah Abdul Hamid mengirim surat tiga pekan sebelumnya. 

Namun, menurut Pasal 12 konstitusi Republik Islam, aliran resmi negara itu adalah Syiah Dua Belas Imam.  

Lebih lanjut, Pasal 115 menetapkan bahwa posisi tinggi dalam sistem pemerintahan Republik Islam, yaitu Kepemimpinan Tertinggi dan Kepresidenan eksklusif untuk Syiah. Oleh karena itu, Sunni dan pengikut agama dan denominasi resmi lainnya tidak dapat mengambil posisi setinggi itu  

Diskriminasi yang dilembagakan secara mendalam dalam hukum, aturan, dan peraturan Iran telah menghilangkan minoritas agama, etnis, dan non-percaya dari kompetisi elektoral.

 

Sumber: https://en.radiofarda.com/a/sunni-leader-warns-khamenei-of-losing-hope-/31038087.html 

 
Berita Terpopuler