ICJR: Kebiri Kimia, Prioritas yang Bukan untuk Korban

Efektivitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti

Republika/ Wihdan Hidayat
Peneliti ICJR Erasmus Napitupulu (kiri) bersama Peneliti ICW Lalola Ester.
Rep: Dian Fath Risalah Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, hukuman kebiri kimia adalah aturan yang bersifat populis. Sampai saat ini, komitmen pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung mundur.

"Tidak lengkapnya peraturan mengenai korban kekerasan seksual dan anggaran lembaga yang menangani korban seperti LPSK yang terus dipangkas adalah contoh sederhana, " ujar Erasmus A.T. Napitupulu selaku Direktur Eksekutif ICJR, Selasa (5/1). 

Kebiri kimia (ilustrasi) - (www.sydneycriminallawyers.com.au)

Erasmus mengatakan, sedari awal ICJR tekankan, mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tidak bisa berbasis hukuman seperti apa yang dimuat dalam UU Nomor 17/2016. Bahkan, sampai detik ini, efektivitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti. 

"Maka jelas pelaksanaannnya yang melibatkan profesi yang harus melakukan tindakan berdasarkan kondisi klinis dan berbasis ilmiah akan bermasalah," tuturnya.

Bahkan, dalam PP tidak dijelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan. PP ini juga melempar ketentuan mengenai penilaian, kesimpulan dan pelaksanaan yang bersifat klinis pada aturan yang lebih rendah. 

Selain itu, lanjut Erasmus, dalam PP tersebut memuat banyak permasalahan karena tidak detail dan memberikan keterangan yang jelas.

"Misalnya bagaimana mekanisme pengawasan, pelaksanaan dan pendanaan. Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih tehknis karena kebingungan dalam pengaturannya," ujarnya. 

 

 

Erasmus menuturkan, dalam kritik yang disusun ICJR, KPI, Ecpat dan Mappi FH UI pada 2016, sedari awal ide tindakan kebiri dicetuskan, telah terbukti dalam praktik di negara lain bahwa menyiapkan dan membangun sistem perawatan kebiri kimia  yang tepat membutuhkan banyak sumber daya dan mahal.

Sampai dengan saat ini, pihak pemerintah dan kementerian-kementerian terkait pun tidak pernah memberikan penjelasan mengenai gambaran pendanaan yang harus disediakan untuk menerapkan sistem yang mahal ini. 

"Terlebih, sistem ini, tidak sesuai dengan pendekatan kesehatan. Dari proyeksi yang bisa dilakukan, maka anggaran yang dikeluarkan tidak akan sedikit, karena selain pelaksanaan kebiri kimia, akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia," tegasnya. 

Fakta ini juga diperparah dengan minimnya anggaran yang disediakan negara untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana. Berdasarkan data anggaran LPSK, ditemukan bahwa sejak 2015 sampai dengan 2019, jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh LPSK terus meningkat. 

Pada 2015 hanya 148 layanan, 2019 menjadi 9.308 layanan. Namun, anggaran yang diberikan kepada LPSK sejak 2015 sampai dengan 2020 terus mengalami penurunan, bahkan cukup signifikan, anggaran LPSK pada 2015 berjumlah Rp 148 miliar sedangkan pada 2020 anggaran layanan LPSK hanya disediakan Rp 54.5 miliar, padahal kebutuhan korban meningkat. 

"Sebagai catatan, pada 2019, anggaran yang terkait dengan layanan terhadap korban hanya sebesar Rp 25 miliar," ucapnya. 

Berdasarkan hasil studi ICW soal aktivitas digital pemerintah, ditemukan anggaran paling banyak dari 2014-2020 dipegang oleh kepolisian yang mencapai Rp 937 miliar. Angka ini jelas jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran yang disediakan untuk pendampingan, perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana, termasuk korban kekersan seksual di Indonesia. 

Sehingga, dengan adanya PP 70/2020 ini negara justru seolah menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk penghukuman pelaku. Padahal, korban masih menjerit harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri. 

Selain anggaran, sampai saat ini, Indonesia belum memiliki pengaturan yang komprehensif dalam satu aturan terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Untuk itu, lanjutnya, ICJR tetap menekankan pentingnya negara mempertimbangkan soal prioritas perlindungan dan pemulihan korban.

 

Wacana seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban atau RUU Penghapusan Kekersan Seksual yang berbasis pemulihan korban sudah harus mulai dicanangkan dan dibahas. "Untuk Pemerintah, cukupkan lah fokus pada kebijakan yang hanya bersifat populis seperti kebiri, saatnya beralih pada mekenisme perlindungan dan pemulihan korban," ucapnya. 

 
Berita Terpopuler