Muslim Kini Hadapi Turkofobia, Apa Itu?

Di beberapa negara Eropa, selain Islamofobia, kaum Muslim juga menghadapi Turkofobia

Christophe Petit/EPA
Sekelompok wanita berunjuk rasa di Prancis menuntut dihentikannya Islamofobia. Sekjen PBB Antonio Guterres menyuarakan keprihatinan atas meningkatnya Islamofobia. Ilustrasi.
Rep: Anadolu/Sabah Daily Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Salah satu isu utama sepanjang 2020 adalah makin kuatnya sikap Islamofobia di sejumlah negara termasuk di benua Eropa.

Sejumlah catatan menunjukkan sikap anti-Islam dan serangan terhadap komunitas serta rumah ibadah Muslim meningkat.

Kini, khususnya di beberapa negara di Eropa, selain Islamofobia, kaum Muslim dari Turki juga menghadapi ancaman Turkofobia.

Komunitas Turki di Eropa prihatin dengan tren meningkatnya Islamofobia dan Turkofobia di negara-negara Barat. Mereka pun menyerukan negara-negara Eropa untuk meningkatkan tindakan terhadap kejahatan rasial ini.

Kemal Ergün, Ketua Visi Nasional Komunitas Islam (IGMG), yang berbasis di Koln, Jerman, mengatakan pada 2020 saja telah terjadi 122 serangan terhadap masjid di Jerman. 

"Belum lagi banyaknya jumlah surat mengancam dan menghina Islam dikirim kepada kaum Muslim," kata Ergun seperti dikutip Daily Sabah Turki.

Ergün mencatat antara 2014 dan 2020 telah terjadi lebih dari 700 serangan ke masjid di Jerman. Ia menekankan perlunya menangkap para penyerang masjid ini segera.

"Beberapa masjid diserang berulang kali. Di beberapa masjid, tingkat kekerasan lebih tinggi dengan tindakan seperti pembakaran yang dapat merugikan orang, sementara di masjid lain, dinding masjid digunakan sebagai kanvas untuk menuliskan penghinaan dan ancaman," kata Ergün seperti dikutip oleh Anadolu Agency (AA).

Ergün juga menyebut dampak serangan teroris di Eropa sebagai faktor pemicu rasisme anti-Muslim di benua itu.

Sayangnya, kelompok sayap kanan, setelah serangan teroris yang diklaim dilakukan atas nama Islam, semakin memperkuat sikap anti-Muslim mereka. Yang paling terpengaruh oleh suasana ini adalah, secara individu, perempuan Muslim dan, secara kelembagaan, masjid.

Jerman telah mencatat kejahatan Islamofobia secara terpisah sejak 2017. Pada 2018, terdapat 910 insiden, termasuk 48 serangan terhadap masjid saja, sedikit lebih rendah dibandingkan pada 2017 dengan 1.095 kejahatan. 

Pada 2019, sekitar 871 serangan menargetkan komunitas Muslim di Jerman, sementara data tahun 2020 belum diumumkan. Setiap hari sepanjang tahun 2019, masjid, lembaga Muslim, atau perwakilan agama di Jerman menjadi sasaran serangan anti-Muslim. 

Lebih dari 90% di antaranya dikaitkan dengan kejahatan bermotif politik oleh sayap kanan.

Ergün menyatakan pejabat IGMG telah menuntut penyelidikan yang lebih efektif oleh pasukan keamanan terhadap serangan ini dan diakhirinya serangan masjid.

“Sejauh ini, kami menyaksikan aparat keamanan telah melakukan investigasi detail terhadap serangan masjid. Namun, sayangnya, setiap penyerang yang tidak bisa ditangkap terus berjalan bebas sebagai ancaman masyarakat," kata dia.

Ergun melanjutkan saat ini ada penyerang yang memecahkan jendela masjid dan entah bagaimana caranya. Ia juga dapat berjalan dengan bebas selama berbulan-bulan sehingga bisa meningkatkan tingkat kekerasan lebih jauh lagi.

 

Jerman adalah rumah bagi 81 juta orang dan populasi Muslim terbesar kedua di Eropa Barat setelah Prancis tinggal di sana. Dari hampir 4,7 juta Muslim di negara itu, setidaknya 3 juta berasal dari Turki.

Di sisi lain, Durmuş Yıldırım, kepala Uni Islam Turki (ATIB), menunjukkan fakta pada tahun ke-60 migrasi pekerja Turki ke Eropa, kaum rasis di Barat telah mendapatkan kekuatan dan menarik pengikut, berdasarkan kebencian anti-Muslim, sampai diwakili di Bundestag.

“Fakta bahwa ada serangan di masjid hampir setiap hari, serta meningkatnya rasisme terhadap migran Muslim, mengkhawatirkan kami. Saya juga ingin menyampaikan bahwa kami tidak menyetujui dan mengutuk penggunaan migran Muslim sebagai alat pemilu," dia menggarisbawahi.

Yıldırım menyatakan terutama pada tahun 2020, dengan terungkapnya petugas polisi sayap kanan Neo-Nazi dalam kepolisian Jerman, kritik terhadap negara Jerman karena gagal melindungi Muslim terbukti benar.

Petugas rasis di antara pasukan polisi Jerman ini dengan sengaja menargetkan orang-orang Turki dan minoritas lainnya dalam apa yang mereka sebut sebagi "perburuan orang Turki". 

Hal ini pun muncul dalam sebuah studi pada November 2020 tentang rasisme dan kekerasan polisi di negara itu. 

Penelitian yang dilakukan oleh profesor Tobias Singelnstein dari Ruhr-University Bochum mengungkapkan bahwa ada masalah struktural di antara polisi Jerman. Ini meliputi laporan penghinaan rasis, Islamofobia, dan anti-Semit yang dikonfirmasi oleh petugas polisi dan kesaksian korban.

"Beberapa petugas sengaja melakukan pencarian untuk memburu orang Turki," kata salah satu petugas yang diwawancarai sebagai bagian dari penelitian tersebut.

Ia menambahkan mereka mencari dan menargetkan orang-orang Turki untuk kesalahan paling kecil seperti tidak memberi isyarat dan memprovokasi mereka untuk bereaksi terhadap polisi.

"Sementara beberapa politisi populis terus menyebarkan kebencian terhadap Muslim asing, kebijakan diskriminatif terhadap para migran juga telah dilanjutkan," katanya menekankan bahwa keamanan masjid dan Muslim di Barat adalah tanggung jawab otoritas Barat.

Yıldırım menggarisbawahi bahwa orang Turki dan Muslim sekarang menjadi bagian dari Eropa dan bertekad untuk hidup berdampingan dengan orang Barat.

"Ini tanah air kita juga. Jadi, kita harus hidup bersama. Dan setiap orang harus melakukan bagian mereka," katanya.

Serangan rasis yang menargetkan Muslim atau imigran semakin menjadi berita utama ketika supremasi kulit putih menjadi lebih efisien di zaman di mana cita-cita mereka, atau setidaknya sebagian dari mereka, ingin menjadi arus utama. 

Iklim politik yang toleran dengan dalih kebebasan berbicara telah membantu simpatisan sayap kanan dengan kecenderungan kekerasan memperluas dukungan mereka.

"Dalam lima sampai enam tahun terakhir, sayangnya, kebencian terhadap Turki dan Muslim telah mencapai titik-titik yang menakutkan," kata Bülent Bilgi, ketua Persatuan Demokrat Internasional (UID).

Menurut Bilgi, selain meningkatnya jumlah pengungsi dan pendatang, memburuknya kondisi ekonomi saat pandemi juga memicu kebencian anti Muslim di Eropa.

“Dengan dugaan penyalahgunaan bantuan negara yang diberikan dalam pandemi, polisi bertopeng menggerebek masjid," katanya.

Islamofobia sedang disamarkan sebagai sekularisme di Prancis, kata seorang pemimpin oposisi Prancis dalam kritik terhadap pemerintah yang dipimpin Emmanuel Macron, yang baru-baru ini mendapat kecaman karena kebijakan terhadap Muslim Prancis.

"Ada kebencian terhadap Muslim dengan kedok sekularisme di negara ini. Sekularisme tidak berarti membenci sebuah agama," Jean-Luc Melenchon, pemimpin gerakan sayap kiri France Unbowed dan seorang anggota parlemen dari Bouches-du-Rhône.

Pernyataannya muncul setelah keluarnya ucapan anti-Islam baru-baru ini oleh Macron dan politisi lainnya. Macron menggambarkan Islam sebagai "agama dalam krisis" dan mengumumkan rencana hukum yang lebih ketat untuk menangani "separatisme" Islam di Prancis.

"Ada upaya untuk membentuk Islam Prancis, Islam Jerman. Kami, tentu saja, menentang upaya ini. Tidak pernah ada Islam Arab atau Turki sehingga tidak mungkin ada Islam Eropa juga," kata Melenchon, yang mencatat hanya ada satu agama Islam.

Dengan dalih "Islamisasi" di negara tempat mereka tinggal, teroris rasis beralih dari serangan terhadap masjid menjadi pembunuhan massal. 

Anders Behring Breivik, yang membantai 77 orang pada Juli 2011 di Norwegia, dipandang sebagai inspirasi untuk lebih banyak serangan berikutnya. 

Empat tahun kemudian, Anton Lundin Pettersson, yang memiliki pandangan serupa dengan Breivik, membunuh empat siswa berlatar belakang imigran di Swedia. 

Pada 2016, 10 orang tewas di Munchen, Jerman, dalam aksi terorisme rasis lainnya. Pada 19 Februari 2020, di kota Jerman Hanau, Tobias Rathjen, seorang teroris yang menyimpan pandangan rasis, menembak mati sembilan orang dari latar belakang imigran, termasuk lima warga negara Turki, sebelum bunuh diri. 

Serangan Hanau memicu perdebatan tentang keseriusan ancaman teror sayap kanan yang sering diabaikan oleh pihak berwenang. Itu adalah salah satu tindakan terorisme terburuk dengan motif rasis dalam ingatan baru-baru ini.

Tokoh Turki di kota Bruhl Jerman, Aydın Parmaksızoğlu, menggarisbawahi bahwa selalu ada fobia terhadap kata-kata "Turki" dan "Islam" di Eropa dan Jerman.

"Sampai-sampai otoritas Jerman terus-menerus memantau asosiasi dengan kata-kata, Turki dan Islam. Ini membuktikan fobia terhadap Turki dan Islam,” katanya.

Pejabat Turki, termasuk Presiden Recep Tayyip Erdoğan, telah sering mendesak para pembuat keputusan dan politisi Eropa untuk mengambil sikap melawan rasisme dan jenis diskriminasi lain yang telah mengancam kehidupan jutaan orang.

 
Berita Terpopuler