Gebrakan Bank Digital: Selamat Datang di Era Neo Bank

Bank digital punya peluang besar berkembang, namun tantangannya pun tak kalah hebat

Prayogi/Republika
Nasabah melakukan transaksi di Gerai BCA Gandaria City Mall, Jakarta (ilustrasi). Sejumlah bank konvensional juga melakukan aksi korporasi dan langkah strategis dengan membuat layanan bank digital.Prayogi/Republika.
Red: Nidia Zuraya

Oleh : Elba Damhuri, Kepala Republika Online

REPUBLIKA.CO.ID -- Masuknya Gojek ke satu bank teknologi atau bank digital di Indonesia, yakni Bank Jago Tbk, menjadi salah satu berita besar di pengujung 2020 lalu. Ini menjadi kolaborasi dan strategi baru industri perbankan dengan mengedepankan prinsip-prinsip bisnis berbasis publik/nasabah sebagai centrum.

Gojek membeli 1,956 miliar lembar saham Bank Jagi dengan harga Rp1.150 per lembarnya. Total investasi Gojek mencapai Rp 2,25 triliun di Bank Jago, yang berarti bertambah menjadi 22,6 persen dari hanya 4,14 persen. 

Sebelumnya, sejumlah bank konvensional juga melakukan aksi korporasi dan langkah strategis dengan membuat layanan bank digital. BCA, misalnya, mengakusisi Bank Royal untuk dijadikan bank digital.

Lainnya, sebut saja, Bank BTPN dengan Jenius, Bank DBS dengan Digibank, Bank Permata dengan PermataMe, Bank UOB dengan TMRW, dan terakhir Bank Jago. BCA juga 

Bank-bank BUMN juga termasuk bank syariahnya sudah mengembangkan layanan bank digital atau disebut juga sebagai neo bank.

Pesohor global mulai dari Jeff Bezos, Jack Ma, hingga Presiden India Narendra Mody sangat memperhitungkan masa depan bank digital sebagai sentral layanan industri keuangan masa depan.

Ada sejumlah alasan mengapa bank digital ini menjadi sangat penting bagi masa depan ekonomi nasional. 

Pertama, kebiasaan dan tuntutan masyarakat berubah. Berdasarkan survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tren publik atas layanan perbankan digital semakin tinggi, terutama setelah pandemi terjadi.

OJK menyebutkan, sebanyak 35 persen nasabah ingin bisa mengajukan kredit secara online. Sebanyak 41 persen nasabah ingin bisa mengakses mutasi rekening jauh lebih panjang ke belakang.

Sebanyak 42 persen nasabah ingin bisa membuka rekening secara daring. Jadi, mulai pembukaan rekening bank hingga transaksi keuangan diharapkan bisa dilakukan secara online.

Kedua, pertumbuhan penggunaan internet di Indonesia termasuk tertinggi di Asia. Nilai ekonomi dari pertumbuhan internet ini meningkat tajam.

Dari data McKinsey Global Banking, nilai ekonomi dari perkembangan internet di Indonesia pada 2015 hanya 8 miliar dolar AS, naik menjadi 40 miliar dolar pada 2019, dan diprediksi naik menjadi 133 miliar dolar pada 2025.

Hal ini tak mengherankan jika melihat faktor ketiga dari alasan bakal melesatnya layanan bank digital di Indonesia: pemilikan ponsel yang terus naik.

Tercatat, ada 355 juta ponsel yang dimiliki warga Indonesia, dengan 60 persennya berbentuk ponsel cerdas. Dari jumlah itu, ada 160 juta warga Indonesia yang tercatat sebagai pengguna aktif internet.

Total 61 persen dari pengguna internet tersebut, memanfaatkan layanan perbankan mobile (mobile banking). Hal ini membuat industri perbankan harus melakukan konsolidasi dan masuk jauh ke dalam bank digital atau neo bank atau bank internet.

 

Apa saja kelebihan bank digital sehingga bisa diterima masyarakat?

Jika tidak ada kelebihan tentu publik tidak akan tertarik dengan bank digital. Pertama, nasabah tidak harus mendatangi bank secara langsung. Karena semua layanan dilakukan secara online.

Kedua, hemat waktu dan biaya. Nasabah tidak perlu mengeluarkan banyak biaya dari transportasi, biaya kartu, dan biaya-biaya lainnya.

Ketiga, mudah diakses di mana saja dan kapan saja. Untuk membuka rekening bank atau mengirim uang, bisa dilakukan di mana saja dan 24 jam dalam sepekan.

Keempat, jelas, bank digital ini mudah dan praktis. Tak ada antrean atau harus tatap muka untuk menyelesaikan berbagai transaksi keuangan.

Kelima, memudahkan perencanaan dan penyelesaian segala kebutuhan sehari-hari. Ini bisa dilihat dari fitur-fitur layanan bank digital mulai dari tabungan, deposito, perencanaan keuangan, investasi, donasi sosial, hingga pembayaran digital.

Dari sisi industri perbankan, bank digital memberikan banyak manfaat. Di antaranya, meperluas jangkauan dan modal. Bank tidak hanya fokus berbisnis tetapi juga memberikan literasi keuangan.

Bank digital akan menembus akses masyarakat yang selama ini belum tersentuh layanan bank. 

Bank-bank pun dipaksa merger atau akusisi terutama bank-bank kecil dan menengah. Dengan demikian, bank akan lebih efisien.

Terakhir, kompetisi antarbank makin kuat terutama pada bank BUKU 3 dan 4. Persaingan tentu memberikan dampak bagi kemajuan industri perbankan di Indonesia.

 

Tentu, tantangan bank digital juga besar.

Ada sejumlah tantangan yang dihadapi industri bank digital di Indonesia. Salah satunya terkait dengan besarnya modal yang harus disiapkan.

Seperti kerap disampaikan OJK, salah satu akar masalah pengembangan neo bank adalah masalah modal.  OJK menyatakan bank butuh modal besar untuk bisa mengembangkan teknologi dan beralih menjadi bank digital.

“Tanpa penguatan permodalan, kita tidak bisa mengembangkan digital banking," kata Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Heru Kristiyana.

Ini artinya, jika bank tidak bisa mengembangkan digital banking, perbankan pasti akan ditinggalkan nasabahnya. Biaya-biaya yang harus dikeluarkan bank untuk masuk digital banking ini antara lain biaya fasilitas teknologi digital, biaya cyber security, dan sumber daya manusia yang ahli di bidangnya. 

Belum lagi biaya regulasi yang tidak sedikit. Juga, ada biaya yang sifatnya "membakar", yakni biaya memperkuat brand, merebut pasar, memasukkan nama di kepala nasabah, hingga biaya-biaya promosi dan jualan.

Tantangan lainnya, terkait dengan isu keamanan siber dan privasi. Faktor keamanan dan privasi sangat dipertaruhkan manajemen bank digital. 

Keamanan dan privasi nasabah bank digital ini termasuk sisi keamanan siber, kemurahan biaya, kemudahan proses, hingga upaya menghindari data-data bocor seperti yang pernah terjadi di sejumlah platform layanan digital.

Protokol keamanan harus dimiliki setiap bank untuk membangun trust dari nasabah. Jika sampai trust hilang, akan muncul risiko sistemik di mana para nasabah akan menarik uang mereka.

OJK memiliki dua alat pelindung nasabah, yakni POJK No 12/POJK 03/2018 tentang Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum. Dan POJK No 38/POJK 03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum.

Tantangan lainnya, pengenalan brand dan merebut pasar. Ini tantangan besar dan tidak mudah dilakukan. Setiap pesaing pasti akan menjadikan dua hal ini sebagai medan tempur utama.

Tujuannya, mendapat nasabah sebanyak-banyaknya dan meluaskan jangkauan pasar hingga ke pelosok daerah jauh. Tentunya, kita sangat menyambut kehadiran bank digital ini yang membuat segala urusan keuangan menjadi lebih mudah dan aman.

 
Berita Terpopuler