Prahara Natuna di Sela Pandemi Covid-19

Bangsa yang cinta damai tentunya harus siap untuk berperang.

Koarmada I mengerahkan tujuh KRI pada Latihan Operasi Dukungan Tembakan TA 2020 di Perairan Natuna Selatan dan sekitarnya, Rabu (25/11).

Kapal Coast Guard China-5302 memotong haluan KRI Usman Harun-359 pada jarak 60 yards (sekitar 55 meter) saat melaksanakan patroli mendekati kapal nelayan pukat China yang melakukan penangkapan ikan di ZEE Indonesia Utara Pulau Natuna, Sabtu (11/1/2020).

Red: Budi Raharjo

REPUBLIKA.CO.ID,

Oleh Hiru Muhammad, Redaktur Republika

Pandemi Covid-19 jelang akhir tahun kembali memuncak seiring dengan hadirnya vaksin dan libur akhir tahun yang beroptensi menjadi klaster baru Covid-19. Menghangatnya berita Covid-19, telah menyedot perhatian publik tanah air sepanjang 2020 ini. Hal tersebut seolah membuat publik terlupakan sejenak dengan gejolak konflik di Laut Cina Selatan.

Kondisi ini sudah tentu menjadi keuntungan bagi Cina yang telah menduduki sebagian besar kawasan yang masih disengketakan sejumlah negara anggota ASEAN tersebut. Putusan PBB yang menolak klaim sepihak Cina atas kepulauan Spratley seolah tak ada artinya bagi Cina.

Negeri Tirai Bambu tersebut terus sibuk membangun fasilitas militer di tengah perhatian dunia yang tertuju ke pandemi Covid-19. Sejumlah negara anggota ASEAN tidak bisa berbuat banyak menghadapi ekspansi militer Cina di kawasan yang kaya sumber alam dan mineral ini.

Tak terkecuali Indonesia yang sudah berulangkali menghadapi kasus pencurian ikan yang dilakukan kapal penangkap ikan Vietnam maupun Cina. Bahkan nelayan Cina sempat mendapat kawalan dari kapal penjaga pantai Cina yang harus bersitegang dengan kapal perang TNI AL dan Bakamla RI.

Sebenarnya Indonesia telah menyadari potensi konflik di laut Cina selatan atau Laut Natuna Utara ini sejak lama. Namun, karena keterbatasan anggaran pertahanan penanganan masalah Natuna terkesan menjadi kurang prioritas. Terlebih dengan merebaknya wabah Covid-19 yang memperburuk ekonomi nasional.

Gerak cepat pemerintah untuk mengatasi masalah Natuna patut didukung penuh. Khususnya upaya kementerian pertahanan Indonesia dan kementerian luar negeri yang berupaya menjalin komunikasi politik dan diplomatik dengan sejumlah negara. Hasilnya pun tidak mengecewakan, meski belum memuaskan. Sejumlah negara dikawasan Asia Tenggara mulai menunjukkan sikap tegas mereka.

AS dan Jepang, dua kekuatan utama di kawasan Asia juga tidak tinggal diam. Armada ketujuh AS sepanjang 2020 ini telah menempatkan tiga kapal induknya di kawasan ini. Bahkan AS dikabarkan sedang mencari lokasi baru untuk pangkalan militer mereka di kawasan ini. Hubungan baik AS dengan Filipina dan Singapura menjadi modal penting untuk membangun aliansi kekuatan di kawasan ini selain Australia, Jepang dan India.

Ujian Politik Bebas Aktif

Sedangkan kebijakan Indonesia yang menganut politik luar negeri bebas dan aktif kembali mendapat ujian. Apalagi Cina maupun AS merupakan dua negara yang memiliki kontribusi yang besar bagi ekonomi Indonesia. Kepiawaian Indonesia dalam bernegosiasi di ruang diplomasi yang dinamis dengan kedua negara ini, akan menjadi kata kunci untuk meraih keuntungan dari konflik yang diperkirakan banyak kalangan akan berlangsung lama.

Pemerintah pun meningkatkan anggaran belanja pertahanan hingga RP 136,9 triliun untuk 2021. Angka itu tertinggi dibanding bidang kementerian lainnya. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto usai dilantik, segera bergerak cepat mendatangi sejumlah negara produsen persenjataan untuk membeli berbagai perlengkapan alutsista canggih yang siap pakai. Rencana pembelian SU-35 meski nasibnya belum jelas, namun belum tamat.

Demikian pula harapan membeli F35 sebagai alternatif apabila pembelian SU-35 batal. Namun, tampaknya rencana pembelian F 35 ditolak AS, Indonesia juga menolak tawaran penjualan F16 Viper yang dianggap belum mampu menjadi marwah Indonesia di hotspot Natuna. 

Belakangan AS dikabarkan menawarkan penjualan F 18 Super Hornet atau F 15 ke Indonesia yang lebih bertenaga di banding F 16 Viper. Indonesia yang telah memiliki pengalaman buruk terkena embargo milite AS juga telah membidik pesawat serang multi peran Rafale asal Prancis dan Typhoon bekas pakai milik Austria. Diharapkan Januari 2021 semuanya akan terjawab dengan jelas.

Selain AS, Jepang juga tidak tinggal diam. Perdana Menteri Jepang, Yoshihide Suga usai dilantik Oktober lalu segera berkunjung ke Indonesia dan Vietnam. Jepang menawarkan penjualan 8 kapal perang jenis destroyer ataupun fregat ke Indonesia. Apabila upaya ini terwujud tentunya menjadi langkah penting bagi kedua negara di kawasan ini. Khususnya dalam mengatasi konflik laut Cina selatan.

Lalu bagaimana proyeksi 2021 terkait Natuna dan zona ekonomi eksklusif di kawasan tersebut. Semoga dari rangkaian safari kunjungan yang dilakukan Menhan Prabowo ke sejumlah negara sepanjang tahun ini akan membuahkan hasil positif di tahun 2021 ini. 

Di sisi lain efektivitas vaksin diharapkan dapat kembali memulihkan ekonomi nasional yang pada gilirannya dapat meningkatkan kemampuan militer Indonesia.  Hal itu sangat penting untuk menjaga marwah dan kedaulatan Indonesia di kawasan hotspot yang kaya sumber alam dan perikanan tersebut.

Bangsa yang cinta damai tentunya harus siap untuk berperang. Dengan kesiapan itu tentunya akan membuat keberadaannya diperhitungkan lawan sehingga perang tidak terjadi. Jadi damai bagi sebuah negara itu mahal harganya.

 
Berita Terpopuler