Tahun Penentuan Otsus di Papua

Otsus bisa menjadi pintu masuk dan momentum untuk dialog Papua-Jakarta.

ANTARA FOTO/Indrayadi TH
Hagar Kegiye (12 tahun) mengerjakan tugas sekolah di warnet di, Kota Jayapura, Papua, Ahad (9/8). Siswi kelas VI SD itu tak memiliki kuota internet sehingga terpaksa menyewa layanan internet.
Rep: Fitriyan Zamzami/Bambang Noroyono Red: Fitriyan Zamzami

Teropong Republika 2020-2021 berisi ulasan permasalahan penting nasional yang terjadi selama setahun belakangan. Sekaligus mencoba memproyeksikan bagaimana masalah serupa bisa diselesaikan pada tahun depan. Kita semua berharap Indonesia 2021 tentu berbeda dari situasi tahun sebelumnya. Harus bangkit dan lebih baik lagi.  

 

Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Pada 17-18 November 2020 lalu, di Merauke, Papua, sebanyak 55 orang diringkus aparat kepolisian. Mereka ditangkap terkait rencana pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Majelis Rakyat Papua (MRP) bersama masyarakat asli Papua terkait kelanjutan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua. 

Ketua MRP Timotius Murib kepada Republika, menyampaikan, selain menangkap puluhan orang, kepolisian juga menyita uang senilai Rp 550 juta yang terpisah dalam 109 amplop, serta sejumlah alat komunikasi, dan komputer. 

Di Jayawijaya, anggota MRP Engelbertus Kasipmabin yang punya agenda RDP serupa diadang sekelompok warga. Engelbertus mewakili wilayah adat Lapago yang meliputi Jayawijaya, Lanny Jaya, Puncak Jaya, Puncak Ilaga, Nduga, Yalimo, Yahukimo, Mamberamo Tengah, Pegunungan Bintang, dan Kabupaten Yahukimo. “Ini orang-orang tidak mengerti soal otsus. Tetapi siapa dibalik mereka saya tidak tahu," kata Engelbertus.

Di Timika, terjadi bentrok antara anggota Polres Mimika, dengan sejumlah warga yang meakukan aksi unjuk rasa menolak perpanjangan Otsus Papua. Petugas kepolisian yang meminta warga tak membuat kerumunan dilempari batu dan kemudian melakukan penangkapan. Di Jayapura, berulang kali aksi unjuk rasa terkait otsus dibubarkan paksa.

Mahasiswa-mahasiswa Papua meneriakkan yel-yel dari atas truk kepolisian ketika hendak ditahan terkait aksi unjuk rasa menuntut referendum di Jakarta, Sabtu (19/12) lalu.  - (EPA-EFE/Bagus Indahono)

 

Apa yang memicu gejolak tersebut? Kisahnya berawal dari gelombang tuntutan merdeka di Papua yang menguat selepas Reformasi pada pergantian milenium. Sebagai kompromi terhadap dinamika tersebut, pemerintah pusat menyepakati wilayah yang dulu dikenal sebagai Irian Jaya sebagai daerah otonomi khusus yang kekhasannya diatur melalui UU Nomor 21 Tahun 2001.

Regulasi yang memecah Irian Jaya menjadi Papua dan Papua Barat itu mengatur sejumlah afirmasi politis dan birokratis untuk penduduk asli Papua. Diantaranya soal pembentukan MRP yang harus dimintai persetujuan soal kepala daerah dan peraturan daerah; juga aturan soal jabatan kepala daerah serta dinas-dinas yang harus diisi putra/putri Papua. 

Selain itu ada soal penghormatan terhadap aturan adat setempat. Yang tak kalah penting, undang-undang itu mengamanatkan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Papua dan Papua Barat juga diistimewakan mendapat 80 hingga 90 persen bagi hasil pengelolaan sumber daya alam dan perpajakan.

Seluruh regulasi dalam undang-undang itu tak dibatasi waktu berlaku, kecuali satu hal: Papua berhak atas dua persen Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional dari APBN untuk pengembangan kesehatan dan pendidikan untuk jangka waktu 20 tahun sejak regulasi berlaku. 

Sejak 2002 Provinsi Papua dan Papua Barat telah memperoleh dana Otsus hingga kini mencapai Rp 126,99 triliun. Karena DAU juga terus meningkat tiap tahun anggaran, dana per tahun yang  mulanya sebesar  Rp 1,38 triliun pada 2002, melonjak mencapai Rp 13,05 triliun pada 2020. 

Jangka waktu kucuran dana yang diamanatkan UU Otsus tersebut selesai tahun depan. Orang-orang belum sepakat ia harus dilanjutkan atau tidak.

Di satu pihak, ada Staf Khusus (Stafsus) Presiden, Billy Mambrasar, yang menilai otsus Papua berhasil meningkatkan pendidikan anak-anak Papua. “Semangat untuk alokasi otsus itu paling tinggi untuk pendidikan, saya berasal dari keluarga tidak mampu tapi bisa menempuh pendidikan tinggi menggunakan dana otsus,” ujar Billy di Jakarta, Selasa (1/12).

Siswa SMP Negeri 6 Jayapura dengan masker di wajahnya berjalan meninggalkan sekolah usai melakukan pendaftaran ulang pada hari pertama sekolah di Jayapura, Papua, Senin (13/7/2020). - (ANTARA FOTO/Gusti Tanati)

 

Billy tak sendiri. Vanda Astri Korisano dan Martha Itaar, dua putri Papua juga berhasil jadi pilot maskapai nasional Garuda Indonesia setelah berkuliah Nelson Aviation College, New Zealand dibiayai dana Otsus Papua. Ratusan mahasiswa Papua juga saat ini tengah dikirim belajar ke luar negeri dengan dana otsus.

Pada 2020, Pemprov Papua mengucurkan beasiswa dokter spesialis yang menjaring 112 dokter asli Papua. Sementara 471 pelajar SMA juga dibiayai menempuh sekolah tinggi. Program serupa telah berjalan dari tahun-tahun sebelumnya. Pada 2019, dari total 425 siswa yang lulus beasiswa, 161 diantaranya dibiayai belajar ke luar negeri dan 264 di dalam negeri.

Kondisi meluas

Kendati demikian, jika dilihat secara lebih luas, gambarannya tak sebegitu gemilang. Pada 2019, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) masih menempatkan Papua (60,84) dan Papua Barat (64,70) di posisi paling bawah se-Indonesia. Angka itu jauh di bawah rerata nasional senilai 71,92 pada tahun yang sama.

Pada 2020, BPS juga mencatat angka buta huruf di Papua pada usia 15 tahun ke atas mencapai 22,10 persen, turun dari 25,54 persen pada 2003. Penurunan itu tak sebanding dengan kondisi rerata nasional yang turun dari 10,21 persen hingga ke 4,00 persen dalam periode yang sama. 

Menilik angka partisipasi murni (APM) sekolah dasar, pada 2020 hanya Papua sendirian yang di bawah 90 persen dengan angka 79,34 persen, jauh di bawah rerata nasional sebesar 97,69 persen. Angka itu turun dari 83,86 persen pada 2003 sementara rerata nasional mengalami peningkatan dari 92,55 persen pada tahun yang sama.

Untuk APM pada SMP dan setingkat, di Papua 47,81 persen pada 2003 dibandingkan 63,49 persen rerata nasional. Saat rerata nasional berhasil naik hampir 20 persen menjadi 80,12 persen, AMP tingkat SMP di Papua hanya naik sepuluh persen jadi 57,95 persen. Serupa juga di tingkat SMA, AMP Papua naik 14 persen dari 30,11 persen pada 2003 menjadi 44,31 persen sementara rerata nasional naik 20 persen dari 40,56 persen ke 60,67 persen.

Sementara dalam laporan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang dilansir Kementerian Kesehatan pada 2019 lalu, Papua dan Papua Barat masih nomor buncit. Pada 2018, Papua mencatat IPKM 0,4888 poin sementara Papua Barat mencatat angka 0,5491. Angka itu lebih rendah dari capaian nasional sebesar 0,6087. Kenaikan poin di Papua dan Papua Barat sepanjang lima tahun sejak 2013 juga lebih rendah dari kenaikan nasional.

Seorang ibu menemani putrinya yang tengah dirawat akibat menderita sakit akibat gizi buruk di Agats, Asmat, Papua, 2018 lalu. - (Agung Rajasa/Antara via Reuters)

 

IPKM dihitung berdasarkan sejumlah indikasi. Salah satu penilaiannya datang dari Sub Indeks Pelayanan Kesehatan. Dalam hal ini, Papua dan Papua Barat juga di posisi paling bawah sejak awal penghitungan dengan metode baru pada 2010. 

Pada 2018, skor Papua sebesar 0,3166 dan Papua Barat 0,3724, jauh di bawah rerata nasional pada 0,4398. Merujuk laporan Kemenkes, skor Sub Indeks Pelayanan Kesehatan di Papua adalah yang paling rendah dibanding sub indeks lainnya. "Kesenjangan pada tahun 2018 terlihat lebar di Provinsi Papua. Hal ini harus menjadi perhatian karena selama periode lima tahun, Provinsi Papua tidak mengalami peningkatan bahkan kesenjangannya masih lebar," tertulis dalam laporan tersebut. 

Statistika tersebut, terutama ditambah pengalaman sehari-sehari, tak lepas dari amatan sebagian lain warga Papua yang menolak otsus dilanjutkan. “Gizi buruk yang meningkat, pendidikan yang masih di bawah rata-rata. Dan semua aspek kami lihat. Kami melihat banyak kendala terjadi. Mayoritas masyarakat sendiri itu pada prinsipnya masyarakat tolak otsus,”kata Yops Itlay, ketua BEM Universitas Cenderawasih kepada Republika, pekan lalu. 

Selain soal pendidikan dan kebudayaan, Yops mengingatkan juga satu aspek UU Otsus yang menurutnya sama sekali tak berjalan. “Pertama terkait penyelesaian pelanggaran HAM sejak tahun 1960-an sampai sekarang. Sejak otsus berjalan itu kan belum pernah ada kasus pelanggaan HAM diselesaikan,” ujar Yops.  Pada sisi yang lebih ekstrem, penolakan otsus itu kemudian ditingkahi sejumlah elemen menuntut referendum kembali soal kelanjutan bergabungnya Papua dalam NKRI. 

Sejauh ini, rancangan revisi UU Otsus sudah diserahkan pemerintah ke DPR. Pembahasannya dijadwalkan Januari 2021. Artinya, tahun depan dinamika di Papua akan sangat kental diwarnai isu kelanjutan otsus ini. Jika menengok dinamika serupa menjelang pembentukan UU Otsus, ia menyimpan potensi kerawanan tersendiri. Apa yang harus dilakukan? 

Evaluasi mendesak

Sebagian pakar dan tokoh tempatan yang ditanyai Republika menilai bahwa evaluasi dan refleksi obyektif adalah hal mendesak. “Kami pikir ostsus perlu dikaji secara bersama-sama melibatkan seluruh unsur organisasi dan LSM. Gubernur, DPRP, MRP; lembaga adat, pemda, gereja, hanya dengan demikian kami dapat mengukur pencapaian otsus maupun kegagalannya,” kata pimpinan Lembaga Musyawarah Adat Suku Amungme (Lemasa), Odizeus Beanal kepada Republika.

Ia memaparkan, saat ini banyak persepsi berkembang di masyarakat Papua. Di antaranya, bahwa elite  di Papua memperkaya diri tanpa memberikan peruntukan yang jelas kepada orang asli Papua sebagai penerima manfaat. Selain itu, ada juga pandangan bahwa kewenangan otsus di Papua tidak seutuhnya diserahkan ke orang Papua namun di kontrol oleh para elite politik di Jakarta. “(Ada anggapan) seharusnya kewenangan otsus di Papua juga sama seperti mereka di Aceh yang memiliki partai lokal dan perda yang dihormati dan dijalankan oleh masyarakat Aceh,” kata Odizeus.

Perlunya evaluasi obyektif ini diiyakan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Dr Adriana Elisabeth. “Saya selalu mengatakan, bagaimana kita mau mencapai solusi, evaluasi saja belum pernah menyeluruh. Padahal di UU Otsus disebutkan harus dilakukan evaluasi setiap tiga tahun. Hal itu memang sudah dilakukan tapi secara sepihak. Papua lakukan sendiri, pusat lakukan sendiri,”ujar Adriana yang juga mengordinasi Jaringan Damai Papua tersebut.

Dr Adriana Elisabeth tentang Otonomi Khusus Papua. 

 

Ia memaparkan, pihak-pihak yang mendorong maupun menolak otsus sejauh ini punya cara pandang yang parsial. Pemerintah pusat, misalnya, melihat bahwa kucuran dana otsus sebagai salah satu indikator keberhasilan. “Anggaran penting, tapi ia mengikuti substansi otonomi khusus terutama di bidang-bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi rakyat, infrastruktur. Nah kalau ini belum tercapai, sudah 20 tahun lho, berarti persoalannya bukan di dana,” kata Adriana. Selain itu, jika pusat terpaku pada soal anggaran, yang terjadi adalah pragmatisme.  “Pasti ada elite yang memanfaatkan. 'Kalau Jakarta bicara uang ya kita minta uang'. Tapi artinya ini tidak pernah dibahas secara benar.”

“Artinya di dalam evaluasi harusnya bukan sekadar dana otsus. Kalau otsus itu juga berfungsi sebagai resolusi konflik, di mana letak kekurangannya? Koq dengan otsus pun Papua masih terus bergejolak seperti sekarang,” ia melanjutkan.

Adriana menekankan, pembahasan otsus selanjutnya harus difokuskan pada hal yang benar-benar penting, yakni pemenuhan kesejahteraan warga Papua. Baik pemerintah pusat maupun daerah harus sama-sama bersedia dievaluasi. Jika memang pemerintah daerah di Papua punya kekurangan menjalankan otsus, hal tersebut harus ditelaah. Demikian juga jika ada pendekatan yang salah dari pusat. 

Tak bisa disangkal, penolakan otsus Papua belakangan juga disusupi anasir prokemerdekaan dan permintaan referendum yang menyoroti kegagalan otsus. Menurut peneliti LIPI lainnya Rosita Dewi, hal itu harus disikapi dengan bijak oleh pusat. “Karena tidak semua penolakan itu larinya pada keinginan pisah dari NKRI. Itu bisa hanya sebagai bentuk bargaining untuk keterlibatan elemen-elemen masyarakat Papua dalam pembahasan otsus ini,”kata dia.

Dalam hal itu, menurut Rosita, evaluasi otsus dan pembahasan kelanjutannya tahun depan sebenarnya kesempatan emas untuk rekonsiliasi. “Otsus ini sebenarnya bisa menjadi pintu masuk dan momentum untuk dialog Papua-Jakarta dalam rangka menumbuhkan trust sebagai salah satu upaya untuk penyelesaian konflik di Papua,” kata dia. n

 
Berita Terpopuler