Ketika Ketidakadilan Menjadi Kebiasaan

Selama pembiaran ketidakadilan berlangsung maka pemerintah yang baik tak bisa berdiri

Dok Republika.co.id
Polisi melanggar hukum (ilustrasi)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: M Ridwan Thalib, Pakar Hukum

The true adminsitration of justice is the firmest pillar of good government”, penegakan keadilan secara benar adalah pilar terkuat dari pemerintahan yang baik. Tulisan ini terpampang di Gedung Pengadilan Kota New York. Ungkapan itu adalah salah satu tulisan yang diambil dari isi surat salah satu bapak bangsa Amerika Serikat (AS), George Washington, kepada Jaksa Agung Pertama AS, Edward Randolph pada tahun 1789.

Mungkin untuk beberapa orang, agak berlebihan membandingkan kesejahteraan bangsa AS dengan Indonesia. Beberapa pihak akan mencibir bahwa AS maju karena ekonominya, AS maju karena militernya, AS maju karena demokrasinya atau secara historis AS maju karena sudah merdeka jauh lebih lama dari kita. Argumen tersebut tidak sepenuhnya dapat disalahkan, tapi penulis berkeyakinan, kekuatan AS sekarang dikarenakan adanya penegakan hukum yang mengedepankan rasa keadilan.

Sebagai negeri adidaya, AS memiliki kebijakan penegakan hukum yang berwibawa dan berani untuk melakukan investigasi terhadap siapapun. Sebagai contoh, FBI atau Biro Investigasi Federal sebagai alat penegakan hukum pemerintah (sama seperti fungsi polisi di negara lain dengan yurisdiksi yang lebih luas) berkerja dan melakukan investigasi atas nama keadilan dan demi mencari fakta hukum dan tidak selamanya tunduk kepada pempimpin tertinggi, dalam hal ini Jaksa Agung sebagai kepanjangan tangan Presiden.

Beberapa contoh kejadian yang menggambarkan integritas para aparat penegak hukum di AS dapat dilihat sebagai berikut. FBI melakukan investigasi atas kecurangan terhadap pemilu AS pada 2016 lalu.

Investigasi ini mengakibatkan dicopotnya James Comey sebagai Direktur FBI oleh Presiden Donald Trump. Namun yang mengejutkan adalah pengganti Comey, Robert Muller, malah meneruskan investigasi itu sekaligus menambahkan dakwaan baru terkait penggelapan pajak yang dilakukan oleh Donald Trump.

Atau ada pula contoh lain, di mana investigasi FBI dan Kejaksaan Agung yang berakibat mundurnya Presiden Richard Nixon pada tahun 1974 (Watergate). Selain terhadap Presiden, terdapat lagi ratusan investigasi yang dilakukan oleh FBI yang mengakibatkan dipenjaranya pejabat tinggi di AS.

Hal yang sama juga terjadi terhadap konglomerat serta pengusaha yang menjadi jajaran orang terkaya di dunia. Bagaimana kita melihat lembaga penegak hukum melakukan investigasi terhadap pemilik Facebook, Apple atau bahkan Google sekalipun. Pembaca mungkin juga ingat Bernie Madoff, konglomerat dengan harta triliunan rupiah juga diinvestigasi oleh FBI dan berujung penjara ratusan tahun.

Tidak banyak negara di dunia ini yang ''polisinya'' berani mengusut suatu tindak pidana yang melibatkan bukan hanya pejabat ''biasa'' tetapi sampai ke Kepala Negara negara yang bersangkutan. Sebagai gambaran kontras, proses penegakan hukum di Indonesia memiliki perbedaan yang mencolok.

Fakta bahwa kepolisian memiliki sistem paramiliter dengan fungsi penegakan hukum serta menjaga ketertiban (dwifungsi), membuat polisi menjadi institusi yang terkesan intimidatif karena memiliki kewenangan dan persenjataan disaat yang bersamaan. Proses penegakan hukum yang dilakukkan oleh Polri bisa saja bersifat tebang pilih, khususnya dalam hal menjalankan tugas penegakan hukum yang pro terhadap agenda-agenda pemerintahan.

Dalam sejarah republik ini, kepolisian hampir tidak pernah terlibat dalam pengungkapan atau investigasi terhadap pejabat setingkat menteri atau lebih tinggi. Padahal dalam faktanya, Indonesia menganut asas keseteraan dalam proses penegakan hukum (equality before the law).

Sedangkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), sejak berdirinya yang kurang dari 20 tahun, telah menangkap dan mengungkap ratusan tindak pidana korupsi dengan pelaku mulai dari Sekretaris Mahkamah Agung, Menteri sampai dengan Kepala Daerah.

Kurangnya ekspose perkara korupsi yang diungkap oleh kepolisian bukan dikarenakan tidak kompetennya kepolisian dalam mengungkap perkara. Penulis yakin kepolisian memiliki penyidik yang mumpuni dalam melakukan investigasi. Permasalahan sepertinya terletak di kultur dan sistem penegakan hukum sebagai bagian dari agenda politik pemerintah, dimana Polri, yang memiliki sistem kepangkatan seperti militer, ditempatkan dalam posisi yang demikian khusus dalam roda pemerintahan sehingga memiliki akses dan hubungan yang bersifat satu arah antara atasan dan bawahan.

Komando atau perintah Presiden/pemerintah wajib dijalankan sebagai perintah atasan kepada bawahan. Begitu juga perintah Kapolri (dengan status Jenderal penuh) harus dan wajib dijalankan oleh jajarannya (bagian dari rantai komando). Permasalahan menjadi timbul dalam hal perintah atau komando tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundangan atau tidak mencerminkan rasa keadilan.

Hal ini dapat direfleksikan dalam beberapa kasus tertentu. Yang paling anyar tentu mengenai politik hukum terkait keramaian di masa pandemi yang mana pemerintah pusat cenderung fleksibel dengan mengedepankan perbaikan ekonomi dan menghindari adanya pembatasan sosial secara masif. Agenda pemerintah yang lunak terhadap penyebaran pandemi mau tidak mau harus didukung oleh Polri sebagai institusi yang dibentuk memang untuk menjalankan politik hukum eksekutif.

Di sisi lain, saat salah satu ulama, yang memang vokal dalam mengkritisi kebijakan pemerintah, melakukan acara pernikahan (resepsi), Polisi menjalankan fungsi penegakan hukum yang tidak diterapkan di kasus lain. Padahal, di Jakarta sendiri terdapat ratusan resepsi selama pandemi berlangsung. Bahkan di Indonesia, pemilihan kepala daerah melibatkan jutaan orang dan berpotensi membuat kluster baru yang konon kata salah satu Menteri Koordinator, pemilihan kepala daerah tidak mungkin menimbulkan kluster corona (diucapkan saat hari H pemilihan).

Penulis tidak mengkritisi kepolisian sebagai institusi penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya karena memang kewenangan tersebut diatur dalam peraturan perundangan. Namun, penulis ingin memberikan peringatan terhadap seluruh elemen masyarakat tentang akibat fatal dari ketidakadilan serta agenda tebang pilih yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sebagai agenda kebijakan politik pemerintah.

Apabila suatu ketidakadilan dipertontonkan oleh penegak hukum sebagai agenda tertentu dari oknum yang berkuasa untuk menghancurkan oposisi (yang konsisten mengkritisi pemerintah), dan ketidakadilan itu terus dibiarkan, maka akan timbul kepecayaan diri dari oknum-oknum penguasa tersebut untuk meneruskan penggunaan aparat penegak hukum demi menghancurkan pihak–pihak yang berseberangan sebagai suatu “kebiasaan”.

Selama pembiaran atas ketidakadilan ini berlangsung, maka pemerintahan yang baik (good governance) tidak akan pernah dapat berdiri. Rakyat harus terus menonton bagaimana koruptor dihukum rendah, pejabat hidup bermewah-mewahan, dan kemiskinan terus merajalela. Indonesia sejahtera akan terus menjadi 'sebatas' tema kampanye dari masa ke masa tanpa adanya kejelasan kapan itu terjadi.

 
Berita Terpopuler