Tradisi Ulang Tahun dalam Pandangan Islam

Perayaan ulang tahun sebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan ulama.

Pixabay
Tradisi Ulang Tahun dalam Pandangan Islam
Rep: Alkhaledi Kurnialam Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi perayaan hari ulang tahun sudah maklum menjadi salah satu momen tahunan yang ditunggu-tunggu karena beragam pesta dan kebiasaan yang dilakukan. Perayaan yang awalnya dilakukan oleh orang non-Muslim ini, turut dilakukan oleh Muslim di penjuru dunia hingga Indonesia.

Baca Juga

Kendati demikian, perayaan ini sebenarnya masih menjadi perdebatan di kalangan ulama. Ada ulama yang membolehkan perayaan ini, ada pula yang mengharamkan tradisi tahunan ini.

Dalam sebuah diskusi daring, Direktur Rumah Fiqih Indonesia, Ustadz Ahmad Sarwat mengatakan ulama berbeda pendapat tentang hukum perayaan hari ulang tahun. Pendapat yang mengharamkan disebutnya karena perayaan ini tidak ada dalam tradisi Islam. 

"Buat sebagian ulama yang sedikit ketat dalam masalah hukum perayaan, umumnya mereka memandang perayaan hari ulang tahun merupakan bid'ah yang haram dikerjakan. Karena nabi SAW, para sahabat dan salafussalih tidak pernah melakukannya. Logika mereka, sebuah pekerjaan yang tidak ada dasarnya, harus menjadi bid'ah yang hukumnya haram," katanya.

Pendapat ini, menurutnya, berangkat dari sikap wara' dan kehati-hatian mereka. Juga berangkat dari rasa takut jatuh ke dalam hal-hal yang diharamkan.

Ditambah lagi budaya merayakan ulang tahun ini disinyalir datang dari budaya di luar umat Islam. Misalnya dari budaya Eropa, yang kemudian menyebar ke berbagai wilayah, termasuk ke wilayah umat Islam. 

Lalu sebagian umat Islam ikut-ikutan merayakannya. Dengan demikian, maka landasan pengharaman perayaan ulang tahun bertambah satu lagi, yaitu peniruan terhadap orang kafir. 

Pandangan ulama moderat...

 

Sementara pendapat ulama yang lebih moderat menyebut pelaksanaan tradisi yang tidak ada dalam ajaran Islam, bukan serta-merta menjadikan hukum perbuatannya haram. Terutama jika menyangkut masalah muamalah atau kehidupan sosial yang umum dan bukan perkara menyangkut ubudiyah (ibadah).

"Bukankah perayaan hari kemerdekaan negara RI tidak pernah dilakuakan oleh Rasulullah SAW? Bukankah Rasulullah SAW tidak pernah menerapkan hari libur seminggu sekali, baik Ahad atau Jumat? Lalu apakah segala sesuatu yang tidak dikerjakan oleh Rasulullah SAW selalu harus menjadi bid'ah? Menurut mereka, tidak harus demikian," jelasnya.

Adapun terkait peniruan tradisi dari orang kafir, dijelaskannya, tidak semua budaya yang dijalankan oleh sebuah bangsa yang kebetulan agamanya bukan Islam, harus identik dengan budaya kafir. "Misalnya, bila di Inggris ada budaya minum teh sore hari. Budaya ini sangat khas Inggris. Dan secara hukum dasar, minum teh itu tidak haram. Yang haram adalah budaya minum khamar. Kalau mayoritas orang Inggris kebetulan tidak beragama Islam, apakah budaya minum teh sore hari ala Inggris ini menjadi haram hukumnya?" ujarnya.

Bagi ulama yang membolehkan ulang tahun, urusan merayakan ulang tahun itu adalah hal yang mubah hukumnya. Karena tidak bisa secara gegabah dikatakan sebagai peniruan terhadap budaya kafir yang mungkar.

"Buat mereka, yang termasuk diharamkan bagi kita untuk meniru orang kafir adalah bila budaya itu memang khas sebuah agama, bukan khas sebuah bangsa yang kebetulan mayoritasnya bukan Muslim," ujarnya.

"Misalnya, budaya memakai kalung salib adalah khas milik agama Kristen. Hukumnya pasti 100 persen haram dilakukan atau ditiru oleh umat Islam. Namun, bila budaya itu bersifat umum dan tidak terkait langsung dengan urusan ritual agama non-Islam tertentu, menurut para ulama di kalangan ini, hukumnya tidak bisa dijadikan haram," ujarnya.

 
Berita Terpopuler