Protes Kremasi, Muslim Sri Lanka Tolak Ambil Jenazah Kerabat

Sri Lanka menyebut mengubur jenazah Covid-19 mencemari air tanah.

Daily News
Protes Kremasi, Muslim Sri Lanka Tolak Ambil Jenazah Kerabat. Masjid 49 Menara, Ikon Budaya Muslim di Sri Lanka
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, BANGALORE -- Keluarga Muslim di Sri Lanka menolak mengumpulkan dan mengangkut jenazah kerabat mereka yang meninggal karena Covid-19. Mereka melakukannya sebagai bentuk protes terhadap pemerintah yang memberlakukan aturan kremasi bagi jenazah Covid-19 Muslim.

Baca Juga

Seorang petugas kesehatan pemerintah di ibu kota Kolombo mengatakan dalam 10 hari terakhir, 19 jenazah dibiarkan dan tidak diklaim di kamar mayat Kolombo lantaran keluarga Muslim menuntut hak untuk menguburkan mereka sesuai dengan ritual Islam.

Sebelumnya pada April lalu, pemerintah Sri Lanka mengeluarkan pemberitahuan yang mengamanatkan kremasi sebagai satu-satunya metode dalam penyelesaian semua kematian terkait Covid-19. Aturan baru itu lantas memicu kekhawatiran di kalangan Muslim di negara itu.

Muslim sendiri membentuk 10 persen dari 21 juta penduduk Sri Lanka. Dalam salah satu contoh ialah kematian ayah Mohamed yang berusia 70 tahun pada 29 November 2020 di rumah mereka di Kolombo ketika ia tengah tidur.

Mohamed yang merupakan pedagang pita berusia 28 tahun membawa tubuh ayahnya ke rumah sakit bersama ibunya. Tes terhadap ayahnya menunjukkan dia positif mengidap virus corona.

Namun, keluarga menolak membayar peti mati dan kremasi. Sehingga selama 10 hari terakhir, jenazah ayahnya itu tetap berada di kamar mayat.

Mohamed yang kini berada di pusat karantina yang dikelola tentara di kota timur Trincomalee mengungkapkan kesedihannya perihal ayahnya tersebut. Ia mengatakan, nama panggilan ayahnya di daerahnya adalah Poonai karena dia sangat lembut dalam berbicara, bekerja dengan tenang, dan menghindari konflik.

"Menyakitkan saya meninggalkan tubuh ayah saya seperti ini, tetapi apa yang dapat saya lakukan? Dalam Islam, kami percaya seseorang akan masuk neraka jika tidak dikuburkan dengan benar. Saya tidak bisa membayangkan tubuhnya terbakar," ujar Mohamed, dilansir di The Straits Times, Kamis (10/12).

Pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Maret lalu menyatakan, korban virus corona dapat dikuburkan atau dikremasi. Namun, kepala ahli epidemiologi pemerintah Sri Lanka, Sugath Samaraweera, mengatakan kepada media komite ahli memperingatkan mereka tentang tingginya permukaan air di pulau itu, dan penguburan dapat mencemari air tanah.

Akan tetapi, Muslim tidak tinggal diam. Setidaknya ada 12 petisi dari masyarakat sipil dan keluarga Muslim serta Katolik yang menentang aturan kremasi di Mahkamah Agung. Mereka menuntut bukti atas klaim tentang penguburan bisa mencemari air tanah.

Anggota keluarga yang terlibat mengatakan, mereka trauma oleh pemerintah yang menolak hak penguburan agama mereka. Pada 1 Desember 2020, pengadilan menolak semua petisi tersebut.

 

"Mengapa Sri Lanka satu-satunya negara di dunia yang memaksa kami mengkremasi orang mati?" tanya salah satu pemohon yang juga manajer pengiriman Fayaz Joonus (48).

Ayah Joonus meninggal pada 1 April 2020, sehari setelah pemberitahuan kremasi itu dikeluarkan. Ketika otoritas kesehatan menemukan pria berusia 73 tahun itu positif Covid-19, keluarganya harus membeli peti mati untuk kremasi dan membayar biayanya.

"Itu adalah pengalaman yang menyakitkan dan menyedihkan. Kami Muslim menganggap kremasi sebagai pelanggaran terhadap tubuh manusia," kata Fayas.

Ayahnya adalah orang Sri Lanka ketiga dan Muslim kedua yang meninggal karena Covid-19. Sejak itu, negara itu telah memiliki hampir 30 ribu kasus Covid-19 dan 142 orang telah meninggal, termasuk setidaknya 55 Muslim. Pihak berwenang bahkan meminta mereka yang diduga meninggal karena Covid-19 untuk dikremasi.

Pada satu kasus yang keliru, Naushad Rafaideen mendapati ayahnya meninggal karena nyeri dada di rumah mereka di Kolombo pada 5 Mei 2020. Namun, rumah sakit bersikeras sang ayah harus dikremasi karena diduga meninggal akibat Covid-19.

Jika mereka bersikeras menguburkannya, para dokter mengatakan keluarga akan bertanggung jawab atas orang lain yang tertular virus itu. Karena itu, keluarga merasa takut dan akhirnya menerima perintah rumah sakit.

Namun ketika tes akhirnya menunjukkan ayahnya tidak mengidap Covid-19, Naushad kemudian mengajukan petisi ke pengadilan dengan tuduhan kremasi yang keliru. "Tapi pengadilan membatalkan kasus ini. Hati saya sakit karena orang lain akan terus menderita sekarang. Apakah tidak ada solusi untuk ini?" ujarnya.

Dalam sebuah surat kepada Perdana Menteri Sri Lanka Mahinda Rajapaksa, Koordinator Residen Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kolombo, Hanaa Singer, mendesak pemerintah Sri Lanka meninjau kembali pedomannya. "Asumsi umum bahwa orang yang meninggal karena penyakit menular harus dikremasi untuk mencegah penyebaran tidak didukung oleh bukti. Sebaliknya, kremasi adalah masalah pilihan budaya dan sumber daya yang tersedia," tulis Singer.

Sejak berakhirnya perang saudara selama 30 tahun pada 2009, minoritas Muslim di Sri Lanka telah menghadapi serangan dan kekerasan dari kelompok fundamentalis Buddha Sinhala yang memiliki pengaruh yang semakin besar terhadap pemerintah.

"Kami sangat merasa itu adalah bagian dari kebijakan islamofobia dan rasialisme yang dilembagakan pemerintah Sri Lanka," kata aktivis hak asasi manusia yang berbasis di Kolombo, Shreen Saroor, yang juga mengajukan petisi menentang kremasi paksa.

 

Dokter pemerintah, yang tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan mereka menghadapi dilema saat ini, karena meningkatnya jumlah mayat yang tidak diklaim di kamar mayat menimbulkan risiko kesehatan. "Keluarga tidak membayar untuk kremasi, dan undang-undang tidak mengatakan pemerintah dapat membayar biayanya. Semua departemen menghindari tanggung jawab tersebut," katanya.

https://www.straitstimes.com/asia/south-asia/sri-lanka-muslims-leave-bodies-of-relatives-unclaimed-in-protest-of-cremation-rule

 
Berita Terpopuler