Ini Alasan Mengapa Industri Halal RI di Bawah Malaysia

Masih ada masyarakat yang kurang memperhatikan kehalalan produk.

Republika/prayogi
Ini Alasan Mengapa Industri Halal RI di Bawah Malaysia. Karyawan menata produk fashion muslim yang di pamerakan pada The 2nd Indonesia Internasional Halal Lifestyle Expo & Conference (INHALEC) di Balai Kartini, Jakarta.
Rep: Umar Mukhtar Red: Ani Nursalikah

IHRAM.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso, menyampaikan masalah mendasar yang membuat industri halal Indonesia belum maju, terlebih jika dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia. Menurut dia, kesadaran masyarakat tentang produk halal masih perlu dibangun sehingga tercipta kultur yang positif dalam memajukan industri halal.

"Ada aturan, toh masih dilanggar juga. Apalagi nggak ada aturan, tambah nggak karuan. Inilah, kesadaran kita rupanya masih harus dijadikan landasan untuk membangun kultur yang sadar terhadap itu (produk halal)," kata dia dalam agenda diskusi virtual yang digelar Perkumpulan Urang Banten, Kamis (3/12).

Sukoso juga menyadari, kultur dan kesadaran masyarakat tentang produk halal harus terus dibentuk. Dia juga mengakui masih ada masyarakat yang kurang memperhatikan kehalalan produk yang dikonsumsinya karena menganggap produk yang beredar di Indonesia sudah pasti halal.

"Di Indonesia, untuk menyadari tentang halal ini, itu kadang menyederhanakan, 'Lah, ini kan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, masa sih nggak halal'," ujar guru besar nutrigenomic Fakultas Perikananan dan Ilmu Kelautan Universitas Brawijaya Malang itu.

Dia pun mengakui Indonesia tergolong terlambat dalam mengembangkan industri halal, jika dibandingkan negara lain misalnya Malaysia. Namun, ia mengatakan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Apalagi keberadaan Undang-Undang Jaminan Produk Halal dan UU Cipta Kerja menjadi angin segar bagi industri halal.

"Indonesia satu-satunya negara yang memiliki UU Jaminan Produk Halal. Malaysia, kesadaran dari pemerintahnya tinggi dan kesadaran masyarakatnya juga tinggi, jadi tidak perlu lagi diatur-atur. Kita saja sudah punya aturan masih dilanggar. Maka, ini kultur yang harus kita perbaiki," ujarnya.

Sukoso juga memaparkan, industri halal ibarat orkestra sehingga diperlukan kerja sama dari berbagai pihak. Pemerintah bertugas melakukan proses perbaikan melalui undang-undang peraturan lainnya sebagai landasan bagi para pelaku usaha industri halal. BPJPH pun bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian untuk mempersiapkan arah kebijakan dalam rangka merealisasikan kawasan industri halal.

"Untuk kawasan industri halal ini sendiri baru keluar pada 2020 ini. Malaysia mungkin sudah menekuninya sejak lama. Karena itu, kami ingin bersama-sama dengan kementerian/lembaga lain dalam memajukan industri halal, supaya jangan sampai menjadi ego sektoral. Karena halal ini multidimensi," jelasnya.

Baca Juga

Awal Desember ini, lembaga riset internasional Dinar Standard merilis laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2020/2021 yang meliputi kondisi perekonomian halal di dunia. Dalam laporan itu, ada 15 negara dengan perekonomian halal terbesar di dunia berdasarkan enam sektor. Enam itu ialah hiburan dan rekreasi, keuangan syariah, farmasi dan kosmetik halal, makanan halal, busana muslim, dan wisata halal.

Malaysia unggul dengan menduduki peringkat pertama di empat sektor sekaligus yaitu makanan halal, wisata halal, farmasi dan kosmetik halal, dan keuangan syariah. Dua sektor sisanya dipimpin oleh Uni Emirat Arab (UEA) yakni sektor busana Muslim, dan sektor media dan rekreasi.

Indonesia sendiri menempati posisi keempat di sektor makanan halal, keenam di sektor wisata halal, keenam di farmasi dan kosmetik Muslim, kelima di media dan rekreasi halal, ketiga di busana Muslim, dan keenam di keuangan syariah.

Meski demikian, Indonesia tergolong berhasil memperbaiki peringkatnya dalam laporan SGIE 2020 sehingga secara keseluruhan duduk di peringkat keempat, di bawah Malaysia, Arab Saudi dan UEA. CEO Dinard Standar Rafiuddin Shikoh menyampaikan, Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam pengembangan industri halal ketimbang negara lain. Bahkan masa pandemi Covid-19 menjadi momentum kebangkitan ekonomi halal.

"Indonesia memiliki kemajuan yang pesat di lingkaran ekonomi Islam global di berbagai sektor, seperti keuangan, makanan dan minuman, farmasi, kosmetik, fesyen, pariwisata, dan media rekreasi," ucap Rafiuddin dalam keterangan tertulis yang diterima Ihram.co.id pertengahan November lalu.

Senggigi, Lombok, NTB, Sabtu (28/1). Mandalika, Wisata Syariah - (Musiron/Republika)



Setiap tahun Dinar Standard mengeluarkan laporan SGIE yang merupakan laporan perkembangan ekonomi Islam global. Peluncuran SGIE Report tahun ini dilaksanakan di beberapa kota di berbagai negara, termasuk di Indonesia yang diselenggarakan oleh Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC) di Jakarta pada 17 November 2020.

Wakil Presiden KH Ma'ruf Amin menyampaikan terima kasih atas diterbitkannya SGIE Report, yang kini sudah memasuki edisi kedelapan. Menurutnya, SGIE Report 2020/2021 merupakan salah satu acuan penting yang fokus memberikan informasi dan analisis terkini dalam pengembangan ekonomi Islam global.

"Melalui laporan ini, antarnegara dapat saling mengetahui posisinya saat ini, potensi yang dimiliki, serta kebutuhan yang diperlukan untuk pengembangan ekonomi dan keuangan syariah," ungkap Ma'ruf.

 
Berita Terpopuler