Muslim Prancis Merasa Tertekan Terima Piagam Nilai Republik

Muslim Prancis merasa harus membuktikan diri sebagai orang Prancis.

Reuters
Muslim Prancis Merasa Tertekan Terima Piagam Nilai Republik. Wanita mengenakan baju renang Muslim yang tertutup penuh atau burkini di Pantai Marseilles, Prancis.
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Dewan Muslim Prancis (CFCM) pekan ini akan bertemu dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mengonfirmasi soal teks dari 'piagam nilai-nilai republik' yang baru untuk ditandatangani para imam di negara itu.

Baca Juga

Sebelumnya, Macron memberikan ultimatum 15 hari kepada CFCM untuk menerima piagam tersebut. CFCM, yang mewakili sembilan asosiasi Muslim yang terpisah, dilaporkan telah diminta memasukkan di dalam teks pengakuan nilai-nilai republik Prancis, penolakan terhadap Islam sebagai gerakan politik dan larangan pengaruh asing.

Namun, hal ini tampaknya menjadi tekanan bagi Muslim di negara itu. Sebab, tidak semua setuju dengan isi piagam tersebut.

"Kami tidak semua sepakat tentang apa piagam nilai ini, dan apa isinya. Kami berada pada titik balik bersejarah bagi Islam di Prancis dan kami Muslim menghadapi tanggung jawab kami," kata Wakil Presiden CFCM sekaligus Kepala Masjid Agung Paris Chems-Eddine Hafiz, dilansir di BBC, Rabu (2/12).

Ia mengungkapkan, delapan tahun lalu ia berpikir sangat berbeda. Pelaku serangan milisi, Mohamed Merah, melakukan serangan di Toulouse. Saat itu, menurutnya, mantan presiden Prancis Sarkozy memintanya bangun dari tidur pada pukul 05.00 untuk membahas soal serangan itu.

"Saya katakan padanya: 'Namanya mungkin Mohamed, tapi dia kriminal!' Saya tidak ingin menghubungkan antara kejahatan itu dan agama saya. Sekarang, saya tahu. Para imam di Prancis harus bekerja," ujarnya.

Rencana pemerintahan Macron bertujuan agar CFCM membuat daftar para imam di Prancis, yang masing-masing imam akan mendaftar ke Piagam tersebut, dengan imbalan akreditasi. Sebelumnya pada Oktober, Macron berbicara soal memberikan 'tekanan besar' pada otoritas Muslim di sana. Prancis adalah wilayah yang sulit sebagai negara yang menjunjung tinggi sekularisme.

Macron mencoba menghentikan penyebaran politik Islam, tanpa terlihat sebagai langkah yang mencampuri praktik keagamaan atau mengasingkan satu agama tertentu. Mengintegrasikan semua kelompok Muslim ke dalam masyarakat Prancis telah menjadi masalah politik yang mendesak dalam beberapa tahun terakhir.

Baca juga: Macron Keluarkan Ultimatum 15 Hari untuk Pemimpin Muslim

 

Prancis diperkirakan memiliki lima juta penduduk Muslim, yang merupakan minoritas Muslim terbesar di Eropa. Seorang pakar Islam Prancis, Olivier Roy, mengatakan Piagam tersebut menimbulkan dua masalah.

Salah satunya adalah diskriminasi karena hanya menargetkan penceramah Muslim dan yang lainnya adalah hak kebebasan beragama. "Anda wajib menerima hukum negara. Tetapi Anda tidak diharuskan untuk menyelenggarakan nilai-nilainya. Anda tidak boleh mendiskriminasi LGBT, misalnya, tetapi Gereja Katolik tidak diwajibkan menerima pernikahan sesama jenis," kata Roy.

Terdapat pertanyaan tentang seberapa besar pengaruh imam di kalangan Muslim yang lebih muda, terutama dalam hal kekerasan ekstremis. Roy menyebut hal itu tidak akan berhasil, karena teroris tidak datang dari masjid salafi.

Menurutnya, dilihat dari biografi teroris, tidak sat upun dari mereka adalah produk dakwah salafi. Ia mengatakan, salafisme adalah gerakan garis keras ultrakonservatif yang diidentikkan dengan Islam politik.

Infografis Langkah Macron Hempaskan Separatisme Islam - (Republika.co.id)

 

Penerimaan pada piagam nilai-nilai Prancis itu juga mendapat tanggapan dari seorang perancang busana, Iman Mestaoui. Ia kerap menerima pelecehan dari orang-orang yang disebutnya 'pembenci' kelompok Islam garis keras yang mengatakan merek syal dan turbannya tidak selalu cukup menutupi rambut.

Namun, ia sendiri menilai gagasan agar para imam menerima 'nilai-nilai Prancis' adalah sebuah masalah, ketika Muslim sudah dilihat oleh banyak orang sebagai tidak sepenuhnya Prancis. Hal itu menurutnya menempatkan Muslim di tempat yang aneh di mana Muslim harus menunjukkan kepada orang-orang bahwa mereka menganut nilai-nilai republik.

Padahal, mereka merasa sebagai orang Prancis, tetapi orang-orang justru tidak merasakan keberadaan Muslim itu. "Kami merasa tidak ada yang kami lakukan, membayar pajak, melakukan layanan nasional, itu akan cukup. Anda harus membuktikan Anda benar-benar orang Prancis: Anda harus makan daging babi, minum anggur, tidak mengenakan jilbab, mengenakan rok mini. Dan itu konyol," kata Mestaoui.

 

Mestaoui adalah salah satu yang memilih Macron menjadi presiden pada 2017. Sejak itu, dia melihat pergeseran besar ke kanan dalam masalah seperti imigrasi dan keamanan. Ia mengaku pro-Macron dan merasa ia menjadi harapan di komunitasnya, namun mereka justu merasa seperti telah ditinggalkan.

Imam masjid Drancy di pinggiran Paris, Hassen Chalghoumi, mengatakan setelah bertahun-tahun adanya serangan teroris, pemerintah terpaksa bertindak. Chalghoumi kini bersembunyi, menyusul meningkatnya ancaman pembunuhan atas pandangan reformisnya.

"Kami harus bekerja ekstra, untuk menunjukkan kami terintegrasi dengan baik, bahwa kami menghormati hukum. Ini harga yang harus kami bayar karena para ekstremis," ujarnya.

Di luar Masjid Agung Paris, Charki Dennai tiba untuk sholat. Sajadah yang digulung dan Alquran diselipkan di bawah lengannya. Ia lantas mengungkapkan pandangannya soal pelaku ekstremis.

"Orang-orang muda ekstremis ini adalah bom waktu. Saya pikir para imam agak terlalu baik kepada mereka. Kami bisa menghormati hukum Prancis dan juga Islam, itu mungkin. Itu yang saya lakukan," katanya.

Umat Muslim Pakistan menggelar aksi protes mengecam sikap Presiden Prancis Emmanuel Macron terkait karikatur yang menghujat Nabi Muhammad SAW serta menyerukan aksi boikot produk Prancis di Karachi, Selasa (27/10). - ( EPA-EFE/Shahzaib Akber)

 

Piagam tersebut adalah salah satu bagian dari strategi pemerintah yang lebih luas untuk mengekang pengaruh asing, mencegah kekerasan dan ancaman dari ekstremis, dan memperbaiki kembali kaum muda yang merasa dilupakan oleh negara.

Macron telah mengusulkan lebih banyak pengajaran bahasa Arab di sekolah-sekolah negeri dan lebih banyak investasi di daerah-daerah kumuh. Ia juga telah menekankan dia menargetkan kelompok Muslim yang menolak hukum dan nilai-nilai Prancis, bukan Muslim secara keseluruhan.

Hakim El-Karoui, spesialis gerakan Islamis Prancis di Institut Montaigne yang kerap berkontribusi dalam pemikiran pemerintah, memberikan pandangannya soal gagasan pemerintah tersebut. "Saya benar-benar penggemar dari strategi ini. Ini komprehensif, ini budaya, dan juga tentang organisasi dan pendanaan," katanya.

Namun, ia mengatakan Muslim sendiri harus dilibatkan oleh pemerintah dalam proyek-proyek seperti itu. Sebab, mereka dapat melakukan banyak hal dalam menyebarkan versi pencerahan Islam di jejaring sosial, yang tidak dapat dilakukan pemerintah.

Senada dengan El-Karoui, Olivier Roy juga berpandangan tanpa dukungan dari Muslim di akar rumput, piagam baru itu akan sulit untuk diterapkan. "Anggaplah komunitas Muslim lokal memutuskan mengabaikan CFCM dan menunjuk imamnya sendiri. Apa yang akan dilakukan pemerintah? Apakah kami mengubah konstitusi dan melepaskan konsep kebebasan beragama atau pemerintah tidak dapat memaksakan imam bersertifikat pada komunitas Muslim lokal," kata Roy.

 

https://www.bbc.com/news/world-europe-55132098

 
Berita Terpopuler