ISIS Sudah Tumbang, Bagaimana Nasib Anak-Anak Mereka?  

Nasib-nasib anak-anak militan ISIS serba memicu dilema

VOA
Nasib-nasib anak-anak militan ISIS serba memicu dilema Gerakan ISIS (ilustrasi)
Rep: Fuji E Permana Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada Oktober 2020, seorang anak laki-laki berusia 16 tahun di Rusia ditembak mati setelah dia melukai seorang polisi ketika mencoba untuk membakar beberapa mobil polisi. Itu bukan pertama kalinya keluarganya berurusan dengan hukum.   

Baca Juga

Pada 2001, ayah tirinya telah dihukum 14 tahun penjara karena tindakan terorisme setelah dia mencoba meledakkan pipa gas, kemungkinan besar dia bagian dari organisasi Islam. 

Insiden itu menambah urgensi baru pada pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan dengan puluhan ribu anak yang berafiliasi dengan ISIS yang masih berada di kamp dan penjara di Irak dan Suriah.   

Namun, hampir semua orang yang terlibat dalam masalah repatriasi sibuk menggunakan anak-anak, yang sudah menjadi korban kekerasan dan ketidakstabilan, untuk memajukan agenda mereka sendiri. 

Dalam artikel yang ditulis Vera Mironova dan dipublikasikan laman Foreign Policy pada Rabu (25/11) dijelaskan, pada Oktober, beberapa pemerintah Barat termasuk Swedia dan Jerman mengirim delegasi ke kamp-kamp di Suriah untuk berbicara dengan warga negara yang dipenjara tentang apakah mereka ingin memulangkan anak-anak mereka. Tak satu pun wanita yang mereka ajak bicara setuju.   

Di akun media sosial dan saluran Telegram, banyak dari mereka mengatakan bahwa mereka membuat keputusan demi kesejahteraan anak-anak mereka sendiri, anak-anak harus dekat dengan ibu mereka. Namun secara pribadi, mereka menambahkan keprihatinan bahwa membiarkan anak-anak tersebut dipulangkan berarti pemerintah mereka akan melupakan ibu mereka sendiri dan meninggalkan mereka di kamp. 

Dalam wawancara, beberapa pejabat pemerintah Barat mencatat bahwa tujuan utama mereka adalah memulangkan anak-anak, mereka percaya hal itu aman untuk dilakukan, dan opini publik mendukung prakarsa semacam itu. Mereka tidak terlalu peduli tentang apa yang akan terjadi pada ibunya setelahnya.  

Bahkan jika salah satu wanita yang diajak berbicara oleh delegasi telah menyetujui pemulangan anak-anak mereka, masih belum pasti apakah itu akan terjadi. Kebijakan resmi Pasukan Demokrat Suriah yang mengawasi banyak kamp penahanan ISIS adalah bahwa hanya anak yatim piatu dan kasus medis (anak-anak yang sakit bersama ibunya) yang memenuhi syarat untuk dipulangkan.  

Para ibu mengaku mencoba menyamar sebagai anak yatim piatu, tetapi setidaknya beberapa telah tertangkap basah. Dalam sebuah wawancara, seorang wanita mengatakan bahwa para wanita itu diberitahu bahwa jika mereka mencoba melakukannya lagi, anak-anak mereka akan dibawa ke panti asuhan di Suriah.

Bagi Pasukan Demokrat Suriah, memiliki kendali atas banyak orang asing, dan anak-anak khususnya, di kamp-kamp berpotensi memberi mereka posisi yang lebih kuat dalam negosiasi dengan pemerintah. 

Bahkan anak yatim piatu pun tidak mudah dipulangkan. Wanita telah menggunakan anak yatim piatu untuk memeras kakek nenek di rumah, mengatakan bahwa jika kakek nenek mau membayar uang tebusan, cucu mereka bisa dipulangkan.

Satu kasus yang disebutkan beberapa wanita di kamp tersebut melibatkan afiliasi Negara Islam Chechnya berusia 56 tahun yang dikenal sebagai Kadidja yang dipenjara di Kamp al-Hol.  

Selama beberapa bulan, dia menyembunyikan empat anak yatim piatu Rusia sehingga mereka tidak akan dikirim kembali ke rumah. Di depan umum, dia mengatakan dia tidak ingin anak-anak tumbuh di negara non-Muslim dengan kakek-nenek yang dia anggap non-Muslim.

Namun, pada saat yang sama, dia dilaporkan telah memberi tahu setiap kerabat yatim piatu bahwa dia akan mengembalikan anak-anak itu jika mereka mau membayarnya untuk diselundupkan ke Turki.  

Dia membiarkan anak-anak pergi setelah ISIS memintanya melakukannya dan kelompok pendukung di luar negeri mengancam akan berhenti mengirim uang yang telah mereka berikan untuk perawatannya. Menurut anggota keluarga dan petugas kamp lainnya, kasus itu tidak unik. 

Bahkan dalam kasus yang jarang terjadi ketika seorang anak dipulangkan bersama dengan ibunya yang berafiliasi dengan ISIS, anak tersebut masih dapat digunakan. 

Dalam satu kasus di Asia Tengah, seorang ibu yang dipulangkan dengan anaknya secara palsu mengklaim bahwa ayah anak tersebut adalah seorang pria dari keluarga kaya yang meninggal di Suriah. 

Badan intelijen negara tahu dia berbohong, pria itu bertempur di daerah yang berbeda sembilan bulan sebelum anak itu lahir. Selama hampir setahun, seorang pejabat mengatakan dalam sebuah wawancara, mereka telah berdebat apakah akan mengatakan yang sebenarnya kepada kakek yang diduga anak itu. 

Apa yang harus dilakukan dengan anak-anak pejuang ISIS adalah pertanyaan penting tidak hanya dari perspektif kemanusiaan, tetapi juga dari sudut pandang keamanan.  

Pengungsi Suriah. Ilustrasi. - (Nabil Mounzer/EPA)

Di negara-negara dengan sejarah pemberontakan yang panjang, kasus anak-anak yang bergabung dengan ayah mereka dalam pertempuran tidak jarang terjadi. 

Sementara mayoritas negara masih berusaha untuk menjaga anak-anak dengan orang tua mereka yang teradikalisasi, beberapa negara melakukan hal yang sebaliknya, dengan harapan untuk mencegah pewarisan kepercayaan radikal kepada anak-anak.

Misalnya di Tajikistan yang baru-baru ini mengalami perang saudara berdarah, anak-anak yang berafiliasi dengan ISIS yang kembali dari Irak dan Suriah ditempatkan di panti asuhan.  

Pada saat yang sama, mereka adalah anak-anak, dan dunia tidak boleh menyerahkan mereka begitu saja. Mereka sudah berisiko menjadi wajah baru ISIS atau kelompok apa pun yang mengikutinya, dan semakin dunia meninggalkan mereka, semakin besar kemungkinan mereka merasa tidak punya pilihan lain. Itulah mengapa repatriasi, dengan perhatian yang cermat terhadap deradikalisasi dan reintegrasi adalah kuncinya.

 

Sumber: https://foreignpolicy.com/2020/11/25/islamic-state-isis-repatriation-child-victims/  

 
Berita Terpopuler