Arti Lawatan Prancis ke Mesir, Berdamai dengan Dunia Islam?

Prancis mengunjungi Mesir menyikapi protes dunia Islam.

Antara/Syifa Yulinnas
Prancis mengunjungi Mesir menyikapi protes dunia Islam .Massa berunjuk rasa di Meulaboh, Aceh Barat, Aceh, Jumat (6/11/2020).
Rep: Meiliza Laveda Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Presiden Prancis Emmanuel Macron bertemu perwakilan Dewan Agama Muslim Prancis (CFCM) dan mendesak mereka mengadopsi piagam nilai-nilai Republik dalam waktu 15 hari pada (18/11) lalu. CFCM setuju membentuk dewan imam nasional agar mengawasi akreditasi resmi para penceramah Islam.

Baca Juga

Pada Oktober, Prancis dihebohkan pemenggalan kepala guru bahasa Prancis Samuel Paty dan serangan penikaman brutal terhadap umat paroki di Basilika Notre-Dame di Nice. Menurut pihak berwenang negara, keduanya dilakukan  simpatisan radikal.

Presiden Prancis mengumumkan tindakan keras terhadap radikal dalam pidatonya di Les Mureaux pada 2 Oktober. "Yang harus kita tangani adalah separatisme Islam,” kata Macron. Pidato itu disampaikan di tengah persidangan penyerang Charlie Hebdo dan mengikuti publikasi ulang kartun Nabi Muhammad.

Retorika Macron yang keras dan dukungannya terhadap kartun-kartun tersebut dianggap menghujat dalam Islam. Ini disambut dengan kebencian oleh umat Islam, baik di dalam maupun luar negeri. Ketegangan meluas ke negara-negara mayoritas Muslim lainnya dengan beberapa dari mereka menyerukan pemboikotan barang-barang Prancis.

"Saya pikir alasan ketegangan ini adalah kesalahan persepsi antara kedua pihak dan kegagalan untuk menerka situasi dengan beberapa akurasi. Prancis memang membedakan antara istilah 'agama Islam' yang mengacu pada agama dan 'Islamisme' yang mengacu pada arus politik Islam dan arus ekstremisme dan terorisme", kata peneliti politik Mesir dan anggota Yayasan Pemuda Mediterania, Mohammad Fawzi.

Pujian Macron tentang kartun provokatif pada kenyataannya menutupi pesan Macron yang menargetkan Islam politik, arus ekstremisme, dan terorisme. Ini diwakili Alqaeda, Ikhwanul Muslimin, dan sejumlah arus salafi internasional, yaitu menyebarkan gagasan radikal di seluruh Eropa dan di Prancis.

Selain berusaha membebaskan pemuda Muslim Prancis dari pengaruh radikal, Presiden Prancis mengusulkan agar lebih banyak mengajarkan bahasa Arab di sekolah. “Macron gagal untuk membedakan dengan tepat antara masalah kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap simbol agama. Hal ini mendorong beberapa orang untuk berdebat," ujar Fawzi.

Untuk meredakan ketegangan, Paris berusaha berdamai dengan dunia Muslim. Pada 8 November, Menteri Luar Negeri Prancis Jean-Yves Le Drian memulai misi diplomatik ke Mesir.

Menyusul pertemuannya dengan Presiden Mesir Abdul Fattah al-Sisi dan Menteri Luar Negeri Sameh Shoukry Le Drian mengatakan kepada wartawan, Prancis memiliki penghormatan tertinggi untuk Islam dan pertempuran melawan radikalisme Islam adalah pertempuran bersama.

Menurut Fawzi, kunjungan tersebut membuka prospek dialog antara semua pihak. Dia menyoroti menteri luar negeri Prancis juga bertemu dengan Imam Besar Al-Azhar Syekh Ahmed al-Tayeb.

"Selama pertemuan, kedua belah pihak menekankan perlunya memerangi terorisme dan pada saat yang sama, menghormati kesucian agama," ujar Fawzi, dilansir Sputnik News, Ahad (22/11).

Dia menambahkan sama pentingnya untuk tidak menggambarkan agama tertentu sebagai sumber terorisme. Faktanya, banyak Muslim yang setia dan telah menjadi sasaran kelompok teroris Alqaeda dan Daesh.

Sebelum Macron mengumumkan tindakan keras terhadap Islamisme, senat prancis mengeluarkan laporan yang meningkatkan kewaspadaan atas penyebaran ide-ide ekstremis dalam komunitas Muslim selama 20 tahun terakhir. 

Menurut dokumen itu, Ikhwanul Muslimin menguasai sekitar 10 persen dari semua masjid dan setidaknya 600 asosiasi di Prancis. Dalam hal ini, Prancis menghadapi masalah yang sama dengan Mesi 

"Selain organisasi teroris tradisional seperti al-Qaeda dan Daesh, sejumlah organisasi bersenjata muncul dari Ikhwanul Muslimin, seperti Brigade Revolusioner yang melakukan banyak operasi teroris di Mesir,” ujar dia.

Logo ikhwanul muslimin - (tangkapan layar wikipedia.org)

Mesir telah mengadopsi strategi komprehensif untuk mengatasi ekstremisme agama. Dia menjelaskan selain kegiatan pengawasan dan kontra-teror militer, Mesir bekerja di front intelektual untuk menghadapi ide-ide ekstremis di media negara, lembaga budaya, dan penelitian.

Universitas Al-Azhar memainkan peran penting dalam upaya ini yang secara khusus pada pendirian observatorium Al-Azhar untuk memerangi ekstremisme.

Fawzi percaya ada peluang besar untuk kerja sama antara Mesir dan Prancis dalam perang melawan ekstremisme dan terorisme. Lebih lanjut, dalam konteks yang lebih luas, penting juga untuk mengembangkan kerja sama Arab-Eropa.

"Hubungan Arab-Eropa penting bagi kedua belah pihak, mengingat banyaknya kesamaan kepentingan politik, budaya, ekonomi dan perdagangan dan masalah antara kedua pihak. Serta ancaman bersama, terutama ancaman terorisme lintas batas, masalah perubahan iklim, dan migrasi," jelas dia.

Kepentingan dan ancaman bersama antara Eropa dan dunia Arab mendorong mereka untuk mengembangkan dan memperkuat hubungan seperti KTT Arab-Eropa pada Februari 2019. Pertemuan tersebut menjadi pertemuan puncak pertama yang pernah diadakan antara kedua kawasan yang mempertemukan para pemimpin dari sekitar 40 negara.

Peneliti berharap pendekatan inklusif dan upaya diplomatik yang ditingkatkan dapat membantu Eropa dan dunia Muslim menyelesaikan perselisihan dan memahami satu sama lain lebih baik.

Sumber:  https://sputniknews.com/europe/202011211081235506-macron-vs-islamism-how-france--muslim-world-can-overcome-their-spat-team-up-to-combat-radicalism/

 
Berita Terpopuler