Apakah perang Nagorno-Karabakh benar-benar sudah berakhir?

Bernakah perang Nagorno-Karabakh benar-benar sudah berakhir?

Google.com
Perang Azerbaijan
Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, IHRAM.CO.ID, -- Hanya dalam 40 hari, Azerbaijan mendapatkan kemenangan atas Nagorno-Karabakh. Apa yang selama ini telah diperjuangkannya di lereng bukit yang sunyi dan terik matahari dan di konferensi diplomatik selama hampir 30 tahun, kini terwujud.

Kemudian muncul kesepakatan yang ditandatangani dengan tergesa-gesa antara negara Kaspia yang kaya minyak itu dan tetangganya yang miskin, miskin sumber daya, dan musuh lamanya, Armenia. Dan secara tiba-tiba pula konflik enam minggu atas Nagorno-Karabakh yang berada daerah kantong pegunungan yang didominasi oleh etnis Armenia yang berlangsung sejak itu awal 1990-an berakhir.

Menurut gencatan senjata yang ditengahi Rusia, pasukan Armenia akan mundur dari wilayah yang masih mereka kuasai dalam distrik Azerbaijan di sekitar Nagorno-Karabakh.

Azerbaijan akan mempertahankan semua wilayah yang direbutnya kembali sejak konflik berkobar pada 27 September lalu. Ini termasuk Shusha, kota terbesar kedua di kawasan itu, yang dikenal orang Armenia sebagai Shushi.

Penjaga perdamaian Rusia akan menjaga rute yang menghubungkan Armenia dan Nagorno-Karabakh.

Lebih penting lagi - dan memalukan bagi Armenia - Yerevan setuju untuk memberi Baku koridor transit baru melalui Armenia selatan ke eksklave Nakhichevan di barat daya Azerbaijan. Wilayah ini tempat kelahiran banyak politisi penting, termasuk mendiang Presiden Haidar Aliyev, yang digantikan oleh putranya Ilham.

Keterangan foto: (Kiri), Para pengunjuk rasa bereaksi di dalam parlemen setelah Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengatakan dia telah menandatangani perjanjian dengan para pemimpin Rusia dan Azerbaijan untuk mengakhiri perang pada hari Selasa, di Yerevan, Armenia.

(Kanan), Orang-orang mengambil bagian dalam perayaan di jalan setelah penandatanganan kesepakatan untuk mengakhiri konflik militer di wilayah Nagorno-Karabakh di Baku, Azerbaijan [Reuters]

Akibatnya, Yerevan, oleh pengunjuk rasa yang marah menyerbu kediamannya, gedung parlemen dan menjarah kantor-kantor pemerintah pada Senin malam. Mereka menuntut pengunduran dirinya.

Rusuh ini membuat seorang pejabat tinggi Armenia memperingatkan para pengunjuk rasa di Yerevan untuk tidak melakukan "upaya kudeta".

"Jika perlu, pemerintah ini akan pergi, pemerintah baru akan dipilih, tetapi tim kami dan saya secara pribadi tidak dapat mengizinkan upaya kudeta," kata Wakil Perdana Menteri Tigran Avinian dalam sambutan yang disiarkan televisi pada hari Rabu lalu.

Jika Pashinyan yang berhaluan Barat mundur, penggantinya dapat melanjutkan konflik, beberapa pengamat memperingatkan. "Orang yang menggantikannya akan berkuasa melalui sentimen anti-Azerbaijan, dan karena itu, akan mencoba untuk melanggar kesepakatan yang telah dicapai," kata Emil Mustafayev, seorang analis yang berbasis di ibu kota Azerbaijan, Baku, kepada Al Jazeera.

Tetapi terlepas dari apakah Pashinyan tetap atau pergi, banyak orang di Armenia menganggap kesepakatan perdamaian baru itu berjangka panjang dan stabil.

Keterangan foto: Mengenakan masker pelindung mulut dan hidung, orang-orang melakukan protes selama unjuk rasa menentang perjanjian negara untuk mengakhiri pertempuran dengan Azerbaijan atas wilayah Nagorno-Karabakh yang disengketakan di luar markas besar pemerintah di Yerevan pada 11 November 2020 [Karen Minasyan / AFP]

"Bahkan jika [Pashinyan] kehilangan kekuasaan, orang yang akan menggantikannya secara praktis akan tetap berpegang pada perjanjian," kata Boris Navasardian, seorang analis yang berbasis di Yerevan, kepada Al Jazeera.

Kesepakatan damai telah meningkatkan pengaruh Rusia di wilayah Kaukasus Selatan, mengurangi peran Turki di halaman belakangnya sendiri yang pernah didominasi oleh Kekaisaran Ottoman.

Rusia tiba di wilayah itu dua abad lalu, secara bertahap mencaplok papan catur komunitas Georgia, Azerbaijan, dan Armenia.

Setelah Soviet runtuh, Moskow berusaha mendapatkan kembali pengaruhnya di Kaukasus Selatan. Mereka mendukung separatis di dua provinsi separatis di Georgia, mengakui kemerdekaan mereka setelah perang 2008 dengan Georgia dan menempatkan kontingen militer yang cukup besar di sana.

Moskow sudah memiliki pangkalan militer di Armenia, dan kemudian ditambah dengan kedatangan pasukan penjaga perdamaian Rusia di Nagorno-Karabakh dan Armenia selatan. Maka ini berarti ketiga negara bekas Soviet di Kaukasus Selatan akan menjadi tuan rumah bagi militer Rusia.

"Pasukan ini tidak akan pergi dalam lima, 10 atau 20 tahun," kata peneliti Nikolay Mitrokhin dari Universitas Bremen Jerman kepada Al Jazeera.

"Armenia tidak akan - dalam waktu dekat - mengangkat masalah penarikan pasukan Rusia dan kedatangan beberapa pelindung lainnya, mengingat tidak ada yang ingin pergi ke sana," katanya.

Kehadiran militer Rusia ini mengakhiri aspirasi pro-Barat Armenia. Negara berpenduduk tiga juta yang terkurung daratan dan miskin sumber daya itu secara sporadis mencoba mencari hubungan ekonomi dan politik yang lebih dekat dengan Uni Eropa.

Pada 2013, Yerevan hampir menandatangani kesepakatan perdagangan bebas dan perjanjian asosiasi dengan UE, yang secara luas dipandang sebagai langkah pertama menuju integrasi politik dengan blok tersebut.

Tetapi Presiden Serzh Sargsyan saat itu menarik diri dari kesepakatan. Dia mengatakan Armenia malah akan bergabung dengan Uni Ekonomi Eurasia, blok negara-negara bekas Soviet yang didominasi Moskow yang banyak dianggap sebagai upaya untuk mereinkarnasi Uni Soviet.

Adanya kesepakatan baru tersebut memungkinkan Armenia meningkatkan ekspor ke Rusia dan memberi kesempatan kepada pekerja migran Armenia yang bekerja di sana untuk menghindari rintangan birokrasi.

Dan kebijakan ini didukung jutaan diaspora Armenia. Mereka sangat mendukung peran Rusia dalam menengahi konflik Nagorno-Karabakh dan meminta secara terbuka agar Pashinyan dicopot.

"Setiap orang Armenia yang berani mengkritik Rusia sekarang, harus pergi dan memotong lidah kotornya," Margarita Simonyan, seorang etnis Armenia dan kepala jaringan televisi RT yang didanai Kremlin, tweet pada hari Selasa.

“Warga negara Armenia seharusnya hanya mengkritik diri mereka sendiri. Untuk memberikan kekuasaan kepada pengkhianat nasional yang berselisih dengan satu-satunya pendukung rakyat Armenia dan menciptakan kondisi untuk perang ini, ”tulisnya di tweet lain.

Revolusi Beludru

Mantan humas Pashinyan kemudian berkuasa setelah serangkaian protes damai di Yerevan pada tahun 2018 yang dijuluki "Revolusi Velvet".

Protes memuncaki pemerintah Sargsyan. Penduduk asli Nagorno-Karabakh dan salah satu pemimpin yang disebut Gerakan Karabakh pada akhir 1980-an yang mencoba meyakinkan pemimpin terakhir Soviet Mikhail Gorbachev untuk menjadikan daerah kantong Azerbaijan yang didominasi Armenia, menjadi bagian dari Soviet-Armenia.

Sargsyan, yang kemudian menjabat sebagai pejabat pertahanan wilayah yang memisahkan diri. Dia memimpin pasukan pemberontak serta kemudian naik menjadi presiden dan perdana menteri Armenia.

Akibatnya, Sargyan dan komandan lapangan berpengaruh lainnya dari Nagorno-Karabakh menjadi elit politik Armenia yang secara luas dituduh tunduk pada Moskow dan korupsi.

Etnis Azeri yang membentuk hampir seperempat populasi Nagorno-Karabakh sebelum perang terbuka pertama antara dua republik bekas Soviet pecah pada awal 1990-an, terkena getahnya. Pemberontak pun kemudian mengusir mereka dari daerah kantong dan tujuh distrik yang berdekatan, dan banyak di antaranya menjadi pengungsi di Rusia.

Nah, di bawah gencatan senjata baru, Baku berencana untuk mengembalikan beberapa pengungsi ke distrik tersebut. Presiden Azerbaijan Aliyev mengumumkan "pembebasan" 71 desa, kota Shusha dan "delapan wilayah lainnya di ketinggian strategis" yang memungkinkan pasukannya untuk mengontrol daerah yang dikuasai pemberontak.

Kini tiga pun gencatan senjata sebelumnya yang ditengahi oleh Rusia, Prancis, dan Amerika Serikat, runtuh dalam beberapa jam. Apakah perang di Nagorno-Karabakh akan berakhir?

 
Berita Terpopuler