Kisah Muslim Rohingya Dirampas Hak Asas oleh Rezim Mynmar

Kami tidak masalah: Muslim Rohingya dirampas dalam pemilihan Myanmar

Dok ACT
Pengungsi Rohingnya yang tiba di Biureun, Aceh Jumat (20/4)
Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID,-- Mohammad Yusuf memberikan suara di hampir setiap pemilihan Myanmar dari tahun 1974 hingga 2010 - kala terakhir kali etnis Rohingya diizinkan memberikan suaranya. Nasib terlunta  setelah melarikan diri tiga tahun lalu setelah serangan militer Mynmar yang brutal.

Ketika Myanmar mengadakan pada hari Minggu lalu, pemilihan demokratis keduanya setelah beberapa dekade pemerintahan militer, Yusuf akan berada di antara ratusan ribu sebagian besar Muslim Rohingya yang dicabut hak suaranya. Keadaan ini membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa memperingatkan bahwa pemilihan di Mynmar tidak akan bebas atau adil.

“Tidak bisa memilih membuat saya merasa sangat sedih. Rasanya seolah-olah kami sudah mati dan kami tidak penting," kata Yusuf, (65 tahun). Dia kini tinggal di pemukiman pengungsi terbesar di dunia di Bangladesh. Kisah hidupnya ini diceritakan kepada Thomson Reuters Foundation melalui telepon.

“Hak-hak ini penting. Kami ingin anak-anak kami menjadi insinyur dan pengacara suatu hari nanti. Tapi saya tidak melihat ini terjadi kapan pun di masa mendatang. Saya tidak memiliki kepercayaan diri. Saya tidak tahu apakah kita bisa memberikan suara pada tahun 2025,'' keluhnya lagi seperti dilansir laman Al Jazeera.com.

Meski ada suara dari etnis Rohngnya, Komisi Pemilihan Uni Myanmar tidak segera menanggapi ungkapan mereka. Duta besar Myanmar untuk PBB mengatakan bahwa pemilu akan bebas dan adil dan semua warga negara dapat ikut serta.

Myanmar tidak mengakui Rohingya sebagai kelompok etnis Pribumi, mencemooh mereka sebagai “Bengali”. Nama ini dientik dengan tuduhan pejoratif kepada pendatang ilegal dari Bangladesh, meskipun komunitas tersebut menelusuri sejarah mereka telah berada di Myanmar selama berabad-abad.

Sekarang, lebih dari 730.000 Rohingya melarikan diri dari tindakan keras tentara pada tahun 2017 yang menurut PBB memiliki "niat genosida". Mereka kebanayakan bergabung dengan pengungsi lain yang melarikan diri dari kekerasan etnis sebelumnya dan memilih tinggal di kamp-kamp sempit di Bangladesh, salah satu negara termiskin di Asia.

Myanmar pun tetap membantah tuduhan tersebut, dengan mengatakan apa yang dilakukan tentaranya adalah untuk memerangi kelompok bersenjata.  Maka, warga Rohingya dilucuti dokumen identitasnya.

Saat ini, ada pandemi virus corona baru telah membuat kondisi bagi sekitar 850.000 pengungsi Rohingya di kamp-kamp Bangladesh menjadi lebih sulit hidupnya. Banyak diantara pengungsi sudah skeptis bahwa mereka akan dapat kembali ke rumah.

 

Keterangan foto:Lebih dari 730.000 Rohingya melarikan diri dari tindakan keras militer pada tahun 2017 yang menurut PBB memiliki 'niat genosida' [File: Mohammad Ponir Hossain / Reuters]

 

“Myanmar tidak tertarik untuk menerima kami kembali,” kata Mohammad Ismail, seorang Rohingya berusia 35 tahun di kamp Kutupalong.

“Bahkan jika kita kembali suatu hari nanti, bagaimana jika mereka tidak mengizinkan kita untuk memilih lagi? Kami punya anak. Apa yang akan terjadi pada mereka? Jika mereka tidak mendapatkan hak dan kewarganegaraan, bagaimana mereka akan bertahan?'' runtuknya lagi.

Pemerintahan militer berturut-turut di Myanmar telah melucuti dokumen identitas Rohingya, membuat banyak orang tidak memiliki bukti asal-usul mereka.

Keterangan foto: Pemerintah militer berturut-turut di Myanmar telah melucuti dokumen identitas Rohingya, sehingga banyak yang tidak memiliki bukti asal-usul mereka [Mohammed Jamjoom / Al Jazeera]

Kartu identitas sementara mereka dibatalkan sebelum pemilu 2015, meski itu juga merupakan pemilu pertama yang diperebutkan secara terbuka dalam 25 tahun. Di sini ada sosok yang disebut pejuang Ham dan kemudian membawa juru kampanye lama pro-demokrasi Liga Nasional untuk Demokrasi Aung San Suu Kyi ke tampuk kekuasaan.

Politisi Rohingya sebagian besar dilarang ikut serta dalam pemilihan umum. Kelompok-kelompok hak asasi menuduh pemerintah Myanmar mencabut hak pemilih Rohingya secara massal.

"Tidak ada perubahan apa pun sejak 2015," kata Ismail, seraya menambahkan bahwa menurutnya pemilu tidak akan membawa perbaikan dalam kehidupan Rohingya.

"Jika pemerintah Myanmar memiliki kemauan, mereka itu bisa mengatur sistem pemungutan suara untuk semua pengungsi di Bangladesh," kata Nay San Lwin, salah satu pendiri Koalisi Rohingya Bebas, yang melobi untuk tanah air yang dilindungi di Myanmar.

“Tapi (memilih dan kembali pulang ke rumah) ini adalah sesuatu yang di luar imajinasi.”

 

 
Berita Terpopuler