Kolumnis Ini Bela Macron Soal Ucapan Islam dalam Krisis

Sebagian kalangan mengiyakan ucapan Macron soal Islam sedang krisis.

Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Umat Islam membentangkan spanduk saat melakukan unjuk rasa di Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (2/11). Pada aksi tersebut mereka mengecam dan memprotes pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron yang dinilai menghina Islam dan Nabi Muhammad SAW. Republika/Putra M. Akbar
Rep: Dea Alvi Soraya Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—  Pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyebut Islam sedang dalam krisis, memancing banyak komentar dari pemimpin negara-negara Muslim, mulai dari Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan yang memintanya memeriksakan diri ke psikiater, mantan perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohammad, hingga Imran Khan dari Pakistan yang menulis khutbah dua halaman berisi imbauan pendidikan ulang Barat tentang Islam.

Baca Juga

Namun ada yang berpendapat bahwa reaksi yang ditunjukkan para pemimpin terkemuka dari negara-negara Muslim kuat dan padat penduduk ini seolah membenarkan adanya 'krisis'.

"Jika puluhan juta Muslim di seluruh dunia merasa bahwa mereka adalah korban Islamofobia massal, itu adalah perasaan terkepung dan krisis," tulis Shekhar Gupta yang ditampilkan di The Print, Senin (2/11).

Menurut Gupta, seluruh agama bersifat politis, dan Islam adalah agama yang paling sering dipolitisasi. Ditambah lagi dikaitkannya Islam dengan kelompok-kelompok teroris seperti Alqaeda, ISIS hingga kelompok brutal lainnya.  

Islam merupakan agama terbesar kedua di dunia, dengan hampir 200 juta penganut, selisih 20 persen dari Kristen.

Tetapi tidak seperti orang Kristen yang mayoritas tinggal di negara demokratis, hanya sedikit negara Muslim yang menganut sistem demokrasi.

"Penting untuk dicatat, sekitar 60 persen dari semua Muslim berada di Asia dan empat dari populasi terbesar mereka di dunia hidup di bawah derajat demokrasi yang berbeda, antara India, Indonesia, Bangladesh dan Pakistan," tulis Gupta.

Memperluas argumen ini lebih jauh, di negara-negara di mana Muslim memiliki mayoritas, sekularisme umumnya merupakan kata yang buruk. Tetapi di negara-negara demokratis di mana Muslim adalah minoritas, mereka terus menguji sistem sekuler, seperti Prancis, Inggris, Amerika Serikat, Belgia, dan Jerman,

 

 

Gupta juga menyorot adanya ketegangan yang belum terselesaikan di antara populasi dan bangsa Muslim antara nasionalisme dan pan-nasionalisme. Fakta menariknya adalah, lebih banyak perang yang terjadi antara Muslim dan negara Muslim dibandingkan dengan yang lain. 

"Perang Iran-Irak adalah yang terlama, sejumlah besar negara Islam bergabung dengan koalisi melawan Saddam di bawah Amerika Serikat, dimana Muslim hanya membunuh Muslim lainnya," tulisnya. 

"Ironi terbrutal tentang pan-Islamisme adalah teror multi-nasional oleh Alqaeda dan ISIS yang benar-benar merupakan organisasi pan-Islam yang kebanyakan justru menargetkan negara-negara Muslim," sambungnya. 

Terdapat batas-batas negara yang memisahkan populasi dan kekayaan Muslim. Sebagian besar populasi, di Asia dan Afrika, hidup dalam ekonomi yang miskin, sementara negara-negara terkaya di dunia, Teluk Arab, memiliki populasi yang relatif kecil. Meski begitu, mereka tidak akan mendistribusikan kekayaan mereka secara merata kepada yang lain dalam semangat pan-Islamisme.

Selain itu, karena defisit demokrasi, kebanyakan negara Islam tidak bisa memprotes, mengungkapkan kebencian mereka terhadap rezim yang berkuasa. Dimana pilihan untuk meneriakkan protes akhirnya terbungkam untuk menghindari risiko dipenjara atau bahkan dibunuh.

Orang-orang berkumpul untuk pawai berjaga, dijuluki Marche Blanche (White March) untuk memberi penghormatan kepada guru Samuel Paty yang dibunuh di Conflans Saint-Honorine, dekat Paris, Prancis, 20 Oktober 2020. Guru sekolah Prancis Samuel Paty di 16 Oktober dipenggal di Paris, Prancis, oleh penyerang berusia 18 tahun bernama Abdoulakh Anzorov yang ditembak mati oleh polisi. Paty adalah seorang guru sejarah yang baru-baru ini menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelas. - (EPA-EFE/JULIEN DE ROSA)

Sebagai contoh, merujuk pada pembunuhan Samuel Paty di Prancis. Pembunuhnya adalah Abdoullakh Anzorov, 18 tahun dari keluarga pengungsi Chechnya. Chechnya adalah republik Rusia kecil di Kaukasus Utara dengan lebih dari satu juta orang, 95 persen dari mereka Muslim. Rusia menundukkan pemberontakan separatis mereka setelah dua perang brutal. Tapi, pada saat 'keadaan normal' datang, setengah dari populasi kecil itu tinggal di kamp pengungsian. Banyak yang mencari kehidupan yang lebih baik di negara demokrasi Barat, begitu juga dengan keluarga remaja pembunuh bayaran ini.

"Pan-Islamisme menyebabkan kematian, kehancuran, dan kemelaratan massal orang-orang Chechnya. Puluhan ribu melarikan diri ke demokrasi liberal demi keamanan, kehidupan yang lebih baik, dan perdamaian," tulis Gupta. 

"Mereka juga menginginkan kepatuhan dengan nilai-nilai sosial dan agama mereka di sana. Untuk memutuskan apa yang dapat digambar kartunis dan diajarkan seorang guru. Renungkan hal ini dan diskusikan apakah ini masuk akal atau tidak," pungkasnya.

 

Sumber: https://theprint.in/national-interest/5-reasons-for-the-crisis-in-global-islam/534270/ 

 
Berita Terpopuler