Hinaan terhadap Islam dan Teror di Prancis, Kapan Berakhir?

Hinaan terhadap Islam beriringan dengan teror yang muncul di Prancis

Eric Gaillard/Pool via AP
Polisi Prancis berjaga di dekat Gereja Notre Dame di Nice, selatan Prancis, Kamis, 29 Oktober. Presiden Prancis Emmanuel Macron menambah hingga 7.000 tentara untuk berjaga usai serangan pisau yang menewasakn tiga orang, Kamis.
Rep: Kiki Sakinah Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Seiring dengan langkah Prancis yang menyatakan 'perang melawan Islamis' berlanjut, lebih banyak serangan teror pun tak terelakkan terjadi di negara itu. 

Baca Juga

Setelah insiden pemenggalan terhadap seorang guru di Prancis karena mempertunjukkan karikatur Nabi Muhammad SAW di kelas, dua pekan kemudian terjadi aksi penyerangan di sebuah gereja di Nice, Prancis. Insiden itu menewaskan tiga orang, dengan satu wanita digorok lehernya dengan pisau. Pelaku kemudian ditembak oleh polisi. 

Rentetan insiden yang disebut pemerintah Prancis 'serangan terorisme Islam' itu kian memperburuk ketegangan antara Prancis dan komunitas Muslim. Prancis secara terbuka menyatakan perangnya melawan ideologi Islam radikal. 

"Kami sedang berperang melawan musuh yang ada di dalam dan di luar. Kita perlu memahami bahwa telah dan akan ada peristiwa lain seperti serangan mengerikan ini," kata Menteri Dalam Negeri Prancis, Gerald Darmanin, kepada radio RTL, dilansir di Newsweek, Sabtu (31/10).

Baru-baru ini, Prancis meningkatkan upayanya, dengan seruan jelas untuk regulasi media sosial dan memperkenalkan undang-undang nasional khusus untuk memerangi Islam radikal. Tidak hanya itu, pemerintah setempat juga menutup masjid dan mengusulkan untuk melarang sejumlah kelompok Muslim yang dianggap ekstrim oleh pihak berwenang. Menurut Darmanin, langkah itu dilakukan untuk mempertahankan negara sekuler Prancis dari campur tangan agama apapun.

Pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron semakin menambah ketegangan dengan dunia Muslim. Ia menegaskan bahwa Prancis tengah diserang. Dengan meningkatnya ketegangan, ia juga memperingatkan tentang peningkatan kekerasan.

Pada 2015, setelah majalah satir Prancis, Charlie Hebdo, menerbitkan karikatur Nabi Muhammad, terjadi setidaknya 36 serangan teror di negara itu dan menewaskan 161 orang. 

Dosen senior hubungan internasional di King's College, London, Frank Foley, mengatakan bahwa suhu politik tengah meningkat dan tanggapan pemerintah Prancis adalah bagian dari itu.

"Pendekatan ekspansif dalam menangani Islam radikal, dengan definisi yang sangat luas, hasilnya tidak terlalu baik. Masalah ekstremisme Prancis seburuk yang pernah terjadi sebelumnya," kata Foley.

Ketegangan semakin diperburuk negara-negara mayoritas Muslim yang menyebut Prancis telah melampaui batas dengan tanggapannya terhadap ekstremisme. 

Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, misalnya, menyebut Macron tengah menyerang Islam dan dengan sengaja memprovokasi Muslim serta mendorong Islamofobia.

Sementara itu, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan pemboikotan terhadap barang-barang Prancis. Erdogan menyebut Macron harus memeriksakan kesehatan mentalnya karena pidatonya tentang Islamisme radikal.

Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad tidak ketinggalan merespons sikap pemerintah Prancis. Ia mengatakan, Muslim memiliki hak untuk marah dan membunuh jutaan orang Prancis, sebab dalam sejarahnya Prancis telah membunuh jutaan orang di masa lalu. 

Prancis memiliki populasi minoritas Muslim terbesar di Eropa Barat, dengan sekitar 5 juta atau antara 9 dan 10 persen dari populasi. Namun, Prancis bersikap lebih keras terhadap Muslim dengan melarang jilbab dan simbol agama yang dinilai mencolok di sekolah dan kantor publik pada 2004. Selanjutnya, Prancis menjadi negara Eropa pertama yang melarang niqab dan burka, penutup wajah penuh untuk wanita, pada 2011. 

Peningkatan ketegangan antara pemerintah dan komunitas Muslim di Prancis memang bukan hal baru dan telah berakar sejak abad pertengahan. Namun, kondisi demikian kian terlihat ketika pada 2006, majalah Charlie Hebro menerbitkan kartun Nabi Muhammad, dan diikuti serangan teror di kantornya pada 2015. 

Serangan teror terbaru terjadi setelah majalah tersebut menerbitkan ulang karikatur Nabi SAW pada awal September 2020, ketika persidangan tersangka kaki tangan dalam serangan 2015 dimulai. 

Macron memilih untuk membela karikatur Nabi SAW dan media tersebut. "Tidak pernah menjadi tempat seorang presiden republik untuk memberikan penilaian atas pilihan editorial jurnalis atau ruang redaksi, tidak pernah, karena kami memiliki kebebasan pers," kata Macron pada saat kartun Nabi SAW diterbitkan ulang.

Kartun yang sama lantas diperlihatkan di kelas oleh guru bernama Samuel Paty. Hingga kemudian terjadi insiden pemenggalan terhadap Paty oleh seorang remaja ekstremis. Serangan lain muncul di luar kantor lama Charlie Hebdo, yang menyasar dua orang korban. Selanjutnya, terjadi penyerangan dengan pisau di sebuah gereja di kota Nice, yang menewaskan tiga orang.

Foley mengatakan, metode serangan mereka (ekstremis) itu mengerikan. Menurutnya, pemenggalan di gereja sangat simbolis dan dirancang agar membuat Prancis merespon.

"Itulah yang dilakukan pemerintah Prancis, menanggapi secara tidak proporsional terhadap potensi ancaman. Serangan-serangan ini masih mengerikan, tetapi tingkatnya rendah dibandingkan dengan apa yang terjadi pada 2015. Tetapi pemerintah Prancis ingin mengubahnya menjadi hal yang besar. Macron tampaknya ingin menekankan hal-hal ini, tentang kebebasan berbicara dan tidak ingin mundur," ujar Foley.

Police officers stand guard near Notre Dame church in Nice, southern France, Thursday, Oct. 29, 2020. An attacker armed with a knife killed at least three people at a church in the Mediterranean city of Nice, prompting the prime minister to announce that France was raising its security alert status to the highest level. It was the third attack in two months in France amid a growing furor in the Muslim world over caricatures of the Prophet Muhammad that were re-published by the satirical newspaper Charlie Hebdo. (AP Photo/Daniel Cole) - (AP/Daniel Cole)

Serangan teror demikian disebut menular. Penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Conflict Management and Peace Science, misalnya, menemukan bahwa sekali satu serangan terjadi, sebuah 'lokasi fisik' dibuat dengan kemungkinan serangan lebih lanjut. Para ahli sangat ingin memperingatkan Prancis agar tidak mengambil tindakan apapun yang terlalu kejam saat ketegangan meningkat.

Profesor Fionnuala Ni Aolain, pelapor khusus PBB untuk promosi dan perlindungan hak asasi manusia serta melawan terorisme, mengatakan bahwa tanggapan di Prancis tidak benar-benar berhasil dan berfungsi untuk mencegah siklus kekerasan dan mengatasi kondisi yang kondusif bagi produksi kekerasan itu. 

Ia memiliki bukti tandingan bahwa tindakan di Prancis ini meningkatkan kekerasan dan keterasingan pusat komunitas ini untuk memperbaiki masalah.

"Salah satu warisan pasca 9/11 adalah gagasan bahwa 'lebih banyak adalah lebih banyak' dalam skenario ini. Lebih banyak tidak lebih, kita harus tahu ini. Kuncinya di sini adalah melibatkan komunitas, para korban, tentu, tetapi komunitas Muslim adalah mitra terbaik Anda untuk memperbaikinya," katanya.

Para pemimpin Muslim di Prancis sebenarnya dengan segera menyerukan persatuan dan kerukunan. Namun, serangan balasan telah dimulai. Misalnya, dengan adanya insiden seorang pria ditembak mati setelah mengancam orang dengan pistol di Avignon, Prancis tenggara.

Awalnya dilaporkan secara keliru bahwa ia juga meneriakkan "Allahu Akbar", tetapi ternyata mengenakan pakaian yang menunjukkan logo "Pertahankan Eropa", yang mengacu pada operasi anti-pengungsi yang dilakukan kelompok nasionalis kulit putih pan-Eropa, Generation Identity atau Generation Identitaire dalam bahasa Prancis.

Namun, kelompok itu membantah bahwa ia adalah anggotanya dan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka selalu menjauhkan diri dari teror dan kekerasan dan mengikuti prinsip aktivisme tanpa kekerasan. 

Tidak bisa diprediksikan kapan ketegangan yang meningkat di Prancis akan berakhir. Namun, para pejabat berharap perang melawan Islamis itu tidak akan memunculkan konflik lebih banyak lagi.

"Jika langkah-langkah ini benar-benar tidak berhasil, maka diperlukan kecakapan politik yang berbeda, visi yang berbeda tentang bagaimana Anda terlibat dalam kekerasan dan bagaimana Anda melibatkan komunitas tersebut untuk menjadi mitra Anda dalam mengakhiri. Sulit untuk melihatnya saat ini, tetapi ya, saya pikir itu mungkin," kata Ni Aolain. 

 

Sumber: https://www.newsweek.com/more-terror-attacks-inevitable-france-war-islamists-continues-1543653?piano_t=1  

 
Berita Terpopuler