Mantan Polisi: Prancis Gagal Terapkan Multikulturalisme

Stigmatisasi terhadap Muslim tidak membantu memerangi terorisme.

AP Photo/Daniel Cole
Mantan Polisi: Prancis Gagal Terapkan Multikulturalisme. Polisi berjaga di Gereja Notre Dame di Nice, Prancis, setelah terjadi insiden serangan dengan pisau, Kamis (29/10). Seorang pelaku menggunakan pisau membunuh tiga orang di gereja kota Mediterania, Nice. Akibatnya PM Prancis mengumumkan negara dalam kondisi bahaya tingkat tinggi.
Rep: Andrian Saputra Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Mantan kepala kontraterorisme Inggris Chris Philipps berpendapat serangkaian serangan penikaman yang terjadi di Prancis merupakan hasil dari percobaan multikulturalisme yang gagal di negara itu. Ia mengatakan kekerasan mengikuti saat liberal yang dianut Barat bentrok dengan Islam.

Baca Juga

"Saya meyakini Prancis dan Barat membawa banyak hal ini pada diri mereka sendiri. Mereka telah mengundang orang datang ke negara mereka, dan mengizinkan orang datang ke negara mereka yang tidak memiliki proses berpikir untuk akhirnya berasimilasi. Budaya Prancis, Anda menerimanya atau tidak, dan orang-orang ini jelas tidak," kata Philipps kepada RT, Jumat (30/10).

Sebelumnya, penyerangan bersenjata kembali terjadi lagi di Prancis. Seorang bersenjata pisau membunuh tiga orang di sebuah gereja di kota Nice. Aparat kepolisian di Avigon menembak mati salah seorang lainnya, polisi juga menggagalkan serangan teroris lainnya di dekat gereja di Sartrouville, dekat Paris. Tak hanya terjadi di Prancis,  kepolisian di Arab Saudi juga menangkap seorang pria yang menikam seorang penjaga di luar konsulat Prancis di kota Jeddah. 

Pascapenyerangan yang terjadi di kota Nice, Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut pelaku penyerangan sebagai teroris Islam. Ia pun mengerahkan pasukan untuk menjaga gereja dan sekolah. Diketahui beberapa hari sebelumnya, Macron juga bersumpah menekan kejahatan yang disebutnya merupakan Islam radikal. Itu dikatakan Macron setelah seorang remaja Muslim memenggal kepala seorang guru karena menunjukkan karikatur Nabi Muhammad di kelasnya. 

Menurut Philipps pengerahan tentara yang dilakukan Macron memang bisa menyakinkan publik dalam jangka pendek. Tetapi, menurutnya, hampir tidak mungkin menyaring para pelaku yang potensial menyerang di masa depan. Bahkan menurutnya lebih sulit lagi mendeportasi atau menahan mereka, sebab menurutnya seperti pengalamannya selama menjabat di Inggris, banyak tersangka yang merupakan pelaku teror adalah warga Inggris juga.  

"Kami punya 20 atau 30 ribu orang yang menjadi perhatian di Inggris. Prancis mungkin punya lebih dari itu. Jika Anda pergi Nice, ada kontingen besar Afrika Utara di sana," katanya.

Media-media Prancis melaporkan pelaku penyerangan di kota Nice adalah seorang warga imigran Tunisia berusia 21 tahun.  Empat tahun lalu, seorang warga Tunisia juga menjadi aktor dibalik truk seberat 19 ton yang menerobos kerumunan, sedikitnya 84 orang tewas dan lebih dari 400 orang mengalami luka-luka

 

Hampir sembilan persen penduduk Prancis adalah Muslim, ini menjadi persentase tertinggi di Eropa. Dari 5,7 juta Muslim, tidak diketahui berapa banyak yang memiliki pandangan ekstrem. Namun pada 2016, tiga perempat dari semua tersangka radikal dalam daftar pantauan pemerintah adalah Muslim. 

Berdasarkan pengalamannya, Philipps terkejut dengan bertapa banyak Muslim moderat yang melihat kartun Nabi Muhammad sebagai perbuatan yang sangat ofensif dan mempunyai gagasan membalas dendam. Menurut Philipps inti masalahnya adalah ketidakcocokan Islam dan Barat yang liberal. 

"Ketika budaya bentrok begitu banyak, dan itu mengarah pada kekerasan semacam ini, pemerintah perlu membuat beberapa keputusan terkait masa depan multikulturalisme dan masyarakat terbuka," katanya.

Sementara itu penulis dan pengacara Muslim, Asif Arif menilai lebih optimistis. Menurutnya, perang melawan terorisme adalah perang yang panjang dan berat yang tidak akan dilakukan dengan senjata bersama. 

Menurutnya, daripada mengerahkan pasukan dan menutup organisasi-organisasi Islam seperti yang dilakukan Macron dalam beberapa hari terakhir, pemerintah Prancis dinilai harus lebih meningkatkan dana untuk penyelidikan kontraterorisme dan mengerahkan agen intelijen ke masjid dan organisasi Muslim untuk mengumpulkan informasi dan mengidentifikasi potensi ancaman. 

"Kami membutuhkan organisasi Muslim ini untuk memerangi terorisme. Stigmatisasi tidak akan pernah membantu," katanya.

 

https://www.rt.com/news/504921-france-attacks-failed-integration/

 
Berita Terpopuler