Soal Muslim Xinjiang, Mengapa Negara Timteng Seakan Diam?

Negara-negara Timur Tengah seakan diam sikapi Muslim Xinjiang.

AP Photo
Negara-negara Timur Tengah seakan diam sikapi Muslim Xinjiang. Kamp Vokasi Muslim Xinjiang.
Rep: Zainur Mahsir Ramadhan Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Beberapa tahun terakhir, otoritas Cina telah menahan lebih dari satu juta penduduk Muslim Uighur Xinjiang di beberapa kamp. Tindakan itu memicu pertentangan karena China diklaim membatasi hak kebebasan beragama dan memaksa penduduk Uighur untuk melakukan aborsi, menggunakan kontrasepsi dan lainnya.

Namun demikian, ada pemandangan unik ketika pemimpin Muslim di Bahrain, Mesir, Iran, Irak, Maroko, Pakistan, Palestina, Arab Saudi, Suriah, Uni Emirat Arab, dan Yaman ikut berpartisipasi dalam pernyataan Kuba pada 6 Oktober lalu. Padahal, pernyataan itu justru memuji tanggapan China pada ancaman teroris dan ekstremisme, serta tindakan yang diambilnya untuk melindungi HAM di semua kelompok etnis Xinjiang. 

"’Baru-baru ini pada Desember 2018, Komisi Hak Asasi Manusia Independen di Organisasi Kerjasama Islam (OKI), juga mengakui bahwa Muslim Uighur menjadi sasaran dan "dipaksa untuk mengikuti dan mengadopsi nilai-nilai serta praktik budaya yang bertentangan dengan keyakinan agama mereka,’’ kata asisten editor pengelola di The National Interest, Adam Lammon mengutip national interest, Ahad (25/10).

Lammon melanjutkan, hal itu bertentangan dengan pernyataan pada Maret lalu jika mengutip Alexandra Ma dari Business Insider. Menurutnya, OKI telah mengubah nadanya: organisasi tersebut malah memuji upaya hak asasi manusia China dan mengungkapkan keinginannya dalam "kerja sama di masa depan" dengan Beijing.

Jika menilik pada kepentingan beberapa negara di Xinjiang, ada gambaran tren yang serupa. 

Walaupun pada awalnya menteri urusan agama Pakistan telah mengkritik tindakan keras China di Xinjiang pada September 2018, Islamabad melakukan perubahan empat bulan kemudian ketika Kementerian Luar Negeri mengecam kekhawatiran internasional sebagai plot asing untuk "membuat sensasi masalah [Uighur].

Hal serupa juga ditegaskan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan, menurut dia, pihaknya lebih menyukai diskusi dengan China. Hal itu perlu diakui, karena baginya China telah membantu negaranya ketika berada di titik terendah.

Ungkapan Pakistan itu dinilai Lammon wajar. Pasalnya Beijing juga telah menjanjikan lebih dari USD 60 miliar untuk membangun Koridor Ekonomi China-Pakistan yang menghubungkan wilayahnya dengan Laut Arab. Hal serupa juga terjadi di Arab Saudi.

 

 

Lammon menambahkan, Arab Saudi menawarkan contoh yang lebih bernuansa. Setelah Riyadh menandatangani perjanjian kerja sama ekonomi senilai 28 miliar dolar AS dengan Beijing, Presiden China Xi Jinping mengatakan kepada Putra Mahkota Mohammed bin Salman bahwa sebagai "teman baik dan mitra untuk Arab Saudi," China ingin "memperkuat kerja sama internasional dalam deradikalisasi untuk 'mencegah infiltrasi dan penyebaran pemikiran ekstremis. "Riyadh menghormati dan mendukung hak China atas keamanan dan kontraterorisme.’’ kata putra mahkota itu beberapa waktu lalu.

Jauh di luar ekonomi dan kedaulatan, Beijing dan Timur Tengah yang otokratis memang memiliki kepentingan yang sama. Utamanya adalah kebencian terhadap Islam politik. "Banyak pemimpin Arab mengaitkan Islam politik dengan terorisme," tulis rekan Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat Haisam Hassanein tahun lalu. Oleh karenanya, ada simpati regional mengenai tindakan keras China di Uighur yang disebut kampanye kontra terorisme.

Sama seperti politik Islam, elit China dan Timur Tengah juga tidak mentolerir gerakan separatis dalam perbatasan mereka. Namun, tidak seperti ketidaksepakatan yang menjadi ciri pendekatan Timur Tengah terhadap Islam politik, sebagian besar negara memiliki kelompok agama atau etnis minoritas yang bergolak dan mencari otonomi atau kemerdekaan.

FILE - In this Nov. 4, 2017, file photo, Uighur security personnel patrol near the Id Kah Mosque in Kashgar in western Chinas Xinjiang region. - (AP Photo)

Menurut laporan Reuters yang mengutip dari buku putih pemerintah China, 458 orang telah tewas dan sedikitnya 2.540 luka-luka di Xinjiang sejak 1990. Berdasarkan pemaparan, pihak berwenang juga diketahui telah menangkap 12.995 teroris, menyita 2.052 alat peledak, menghukum 30.645 orang karena 4.858 kegiatan keagamaan ilegal, dan menyita 345.229 salinan materi agama ilegal antara 2014-2019. Hal itu disebut dilakukan untuk membendung ancaman militansi Islam. 

Namun demikian, hal itu dinilai terlalu berlebihan. Utamanya oleh Profesor Haverford College Barak Mendelsohn dari Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri (FPRI). Dirinya mengamati, jika kelompok-kelompok jihadis internasional “sebagian besar nyatanya diam” tentang Xinjiang, dan kekerasan jihadis regional agak sempit, serangannya sporadis serta para pelaku disebutnya tidak melakukannya berkelanjutan.

"China telah secara efektif membujuk perwakilan asing dan media tentang niat baiknya. Sehingga pada awalnya, pejabat Indonesia yang skeptis, menurut Wall Street Journal, juga menjadi "yakin" bahwa kamp pendidikan ulang China di Xinjiang adalah bagian dari "upaya yang bermaksud baik" untuk membantu orang Uighur.’’ ungkap Lammon.

 

Sumber: https://nationalinterest.org/feature/why-muslim-middle-east-supports-china%E2%80%99s-xinjiang-crackdown-171088

 
Berita Terpopuler