Legislator: Pepres Pelibatan TNI Harus Sesuai UU Induknya

UU 34/2004 tentang TNI dan UU 5/2018 tentang Tindak Pidana aksi Teroris

Republika/Putra M. Akbar
Anggota Komisi I DPR TB Hasanuddin
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, menyampaikan, DPR dan pemerintah tengah melakukan pembahasan substansi pada pasal-pasal yang ada pada Peraturan Presiden (Perpres) tentang pelibatan TNI salam menanggulangi terorisme. Pembahasan dilakukan terhadap pasal yang dianggap penting untuk memastikan Perpres itu sesuai dengan Undang-Undang (UU) induknya.

“Pepres ini harus sesuai dengan kedua UU induknya, yaitu UU 34/2004 tentang TNI dan UU 5/2018 tentang Tindak Pidana aksi Terorisme," ujar Hasanuddin dalam keterangannya kepada Republika, Sabtu (24/10).

Dia menyampaikan, draft Perpres tentang pelibatan TNI dalam menanggulangi aksi terorisme telah dibahas oleh DPR bersama dengan pemerintah. Pembahasan ini mendapatkan perhatian oleh berbagai kalangan, termasuk Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sriwijaya (Unsri) yang melaksanakan kegiatan Webinar bertajuk “Pelibatan TNI dalam Kontra Terorisme”.

Hasanuddin memberikan catatan pada Pasal 5 mengenai kegiatan dan operasi penangkalan yang ditetapkan oleh Panglima. Dia menyarankan, operasi penangkalan selain ditetapkan oleh Panglima tetapi juga berdasarkan Perintah Presiden setelah berkonsultasi dengan DPR RI. Sedangkan pasal penindakan dan pemulihan, Hasanuddin setuju dengan pengaturan tesebut karena telah sesuai dengan UU Nomor 34/2004 dan UU Nomor 5/2018.

 

Hasanuddin dalam webinar itu juga mengatakan, dalam Pasal 2 Perpres tersebut dikatakan, dalam mengatasi aksi terorisme sebagaimana dimaksud pada ayat (1) TNI melaksanakan fungsi penangkalan, penindakan, dan pemulihan. Menurut dia, fungsi tersebut murni operasi militer, padahal pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme termasuk ke dalam operasi militer selain perang berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.

"Kalau untuk menghadapi aksi terorisme acuannya menggunakan UU Nomor 5 tahun 2018, itu hanya tiga bentuk operasinya, yaitu pencegahan, kontraradikalisasi, dan deradikalisasi. Dari tiga poin ini sangat berbeda dengan penangkalan, penindakan, dan pemulihan," kata Hasanuddin.

Kemudian, dalam Pasal 3 Perpres itu, penangkalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a itu dilaksanakan oleh TNI melalui operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi, dan operasi lainnya. Itu juga ia lihat sebagai aturan yang bermasalah.

Operasi intelijen, kata dia, durasinya sepanjang masa karena untuk menghadapi pasukan musuh operasi itu harus dilakukan terus. Hasanuddin mengatakan, operasi ini dilakukan untuk kegiatan perang, bukan operasi militer selain perang sebagaimana pemberantasan terorisme oleh TNI berada.

"Lalu operasi teritorial, operasi informasi, dan yang agak aneh adalah (poin) operasi lainnya, itu seperti apa, ini perlu penjelasan secara hukum itu apa," ujar dia.

Operasi-operasi itu juga ia sebut cukup membutuhkan ruang dan waktu yang relatif lama. Sementara berdasarkan Pasal 7 UU TNI, operasi yang dilakukan oleh TNI dalam memberantas terorisme bersifat temporer. Dalam UU TNI, pelibatan TNI dalam memberantas terorisme harus dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara, yakni atas keputusan presiden dan persetujuan DPR.

 

Ada lima parameter yang presiden dan DPR perlu diskusikan dalam melakukan itu, yakni tujuan operasi, model operasi yang akan dilaksanakan, durasi, pembatasan penggunaan senjata, dan anggaran. Kalau melihat Pasal 3 Perpres tersebut, maka berbeda dengan ketentuan yang ada di UU TNI.

 
Berita Terpopuler