Erdogan: Istilah 'Islam Prancis' adalah Serangan pada Muslim

Erdogan mengkritik inisiatif Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk reformasi Islam.

Turkish Presidency via AP, Pool)
Erdogan: Istilah 'Islam Prancis' adalah Serangan pada Muslim. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyebutkan istilah populer baru-baru ini seperti 'Islam Prancis, 'Islam Eropa', dan 'Islam Austria' adalah contoh terbaru dari upaya serangan terhadap Islam dan Muslim. "Ada upaya membuat profil warga Muslim yang tidak mengangkat suaranya ke kebrutalan, tetap diam terhadap kekejaman, yang pasif, malu-malu, penakut dan sederhana," Erdogan lebih lanjut memperingatkan.

Baca Juga

Menurut Erdogan, mereka mencoba memiliki sistem anti-Islam di mana agama hanya tinggal di dalam rumah, tanpa kelonggaran terhadap berbagai simbol dan prinsip agama di jalan-jalan, pasar, dan kehidupan sosial. Ia mengatakan, sistem tersebut dengan agama di bawah kendali negara diambil di bawah tekanan dan berusaha dibentuk.

Hal itu menurutnya bukanlah demokrasi, melainkan totalitarianisme. Ia lantas menegaskan tidak seorang pun, terutama negara-negara Muslim, yang bisa membiarkan ketidakpedulian semacam itu.

Dia juga mengkritik inisiatif Presiden Prancis Emmanuel Macron untuk mereformasi Islam. Ia menyebut Macron menggunakan krisis yang menjadi tanggung jawab negaranya sebagai alasan untuk menyerang agama.

"Tujuan utama inisiatif yang dipimpin Macron adalah menempatkan alasan lama dengan Islam dan Muslim," kata Erdogan dalam pidatonya yang direkam untuk KTT Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada Selasa, dilansir di Daily Sabah, Rabu (17/10).

"Orang-orang yang terganggu dengan kebangkitan Islam menyajikan krisis yang mereka ciptakan sendiri sebagai alasan menyerang agama kita. Retorika anti-Muslim, Islam saat ini adalah alat paling berguna dari politikus Barat untuk menutupi kegagalan mereka sendiri," ujarnya.

Pekan lalu, Macron berpendapat separatisme Islam adalah masalah. Ia mengatakan, masalahnya adalah ideologi yang mengklaim hukumnya sendiri harus lebih unggul dari yang ada di republik Prancis.

Pada 2 Oktober 2020, Macron mengeluarkan undang-undang baru yang akan memperpanjang larangan lambang agama, yang terutama mempengaruhi wanita Muslim yang mengenakan jilbab atau kerudung, kepada karyawan sektor swasta yang menyediakan layanan publik. Negara bagian juga akan memiliki kekuasaan mengambil langkah di mana otoritas lokal membuat konsesi yang tidak dapat diterima bagi Muslim. Misalnya, kata dia, 'menu religius' di kantin sekolah atau akses terpisah ke kolam renang.

RUU tersebut mengusulkan pembatasan homeschooling untuk menghindari anak-anak 'diindoktrinasi' di sekolah tidak terdaftar yang diduga menyimpang dari kurikulum nasional. RUU tersebut diperkirakan akan dikirim ke parlemen awal bulan ini.

Pidato Macron tersebut dikecam secara luas oleh Muslim Prancis. RUU itu akan diajukan ke parlemen pada Desember mendatang. Mereka khawatir RUU tersebut dapat memicu penyalahgunaan hak-hak mereka.

Menurut rencana kontroversial tersebut, beberapa organisasi non pemerintah (LSM) atau organisasi yang 'bertindak melawan hukum dan nilai-nilai negara' mungkin ditutup atau menghadapi audit keuangan yang ketat. Hal ini telah menuai kritik di mana beberapa perwakilan komunitas Muslim menggambarkan langkah tersebut sebagai islamofobia dan diskriminatif.

 

 

 

Prancis memiliki minoritas Muslim terbesar di Eropa, yang diperkirakan mencapai lima juta atau lebih dari populasi 67 juta orang. Prancis menjadi tempat dimana agama dan simbol keagamaan yang digunakan di tempat umum menjadi bahan kontroversi.

Selama bertahun-tahun, kelompok hak asasi berpendapat undang-undang sekuler Prancis menumbuhkan kebencian anti-Muslim dan mendiskriminasi wanita Muslim. Prancis melarang anak sekolah mengenakan pakaian yang khas secara agama pada 2004, menyusul kontroversi mengenai siswi Muslim yang mengenakan jilbab.

Negara ini juga menjadi negara pertama di Eropa yang melarang cadar, seperti burqa dan niqab, di tempat umum pada 2010. Pada 2014, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa mendukung larangan tersebut, nemun mereka mengatakan undang-undang tersebut dapat terlihat berlebihan dan mendorong stereotip.

Prancis juga terlibat dalam perselisihan tentang larangan burkini, pakaian renang yang membalut seluruh tubuh yang dikenakan wanita Muslim di resor di sekitar Riviera. Erdogan juga menyoroti kebutuhan Muslim mengesampingkan perbedaan dan fokus pada masalah bersama untuk menyelesaikan masalah kritis yang telah menghancurkan negara-negara Muslim. Erdogan lantas mengkritik konsep Islam Eropa yang baru dibentuk karena berusaha menutup suara rakyat.

"Umat Muslim dapat mengesampingkan perbedaan pendapat mereka dan mencoba menghasilkan solusi dengan memanfaatkan konsep konsultasi," kata Erdogan.

Dia berpendapat umat Islam dapat dengan mudah mengatasi masalah mereka dengan fokus pada kesamaan dan masalah bersama daripada perbedaan. Hampir 1.000 Muslim terbunuh setiap hari akibat terorisme atau kekerasan secara global.

Karena itu, Erdogan mengatakan konsep seperti rasialisme, nasionalisme, sektarianisme, dan terorisme menghancurkan Islam dari dalam. Namun demikian, ia menegaskan Turki tidak akan membiarkan imperialis memecah belah Islam dengan menggunakan label Sunni-Syiah, hitam-putih, Turki-Kurdi dan Arab-Persia.

"Umat agama yang memandang membunuh satu orang sama dengan membunuh manusia secara keseluruhan tidak dapat melakukan pembantaian apa pun," ujarnya.

Dalam Islam, keutamaan terletak pada kedekatan dengan Allah dan bukan pada kekayaan atau ras. Karena itu, Erdogan mengatakan debat politik sehari-hari tidak boleh menutupi solidaritas komunitas Muslim.

 

"Jika orang tidak memenuhi kebutuhan agamanya dari sumber yang kredibel, mereka akan terjebak dalam kelompok bidat yang tidak ada hubungannya dengan Islam, seperti Daesh, FETO (Gulenist Terror Group), al-Shabaab dan Boko Haram," katanya. 

https://www.dailysabah.com/politics/diplomacy/erdogan-macron-aims-to-settle-old-scores-with-islam-muslims

 

 
Berita Terpopuler