Mengerem PHK dengan Restrukturisasi Kredit

Tanpa restrukturisasi kredit diperkirakan makin banyak pegawai yang jadi korban PHK.

Daan Yahya/Republika
Restrukturisasi Kredit guna menekan PHK selama pandemi Covid-19
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Agus Sugiarto, Advisor Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

Sekitar delapan bulan pandemi covid-19 telah berlangsung, kondisi ekonomi kita terus mengalami kemerosotan yang pada akhirnya menuju ke zona resesi. Dampak yang ditimbulkan dari pandemi tersebut sangat luar biasa dari sisi ekonomi, salah satunya adalah turunnya daya beli dan konsumsi masyarakat. Dengan situasi seperti ini, sebagian korporasi harus mengurangi produksi, sebagian lagi harus menghentikan mesin-mesin pabriknya untuk sementara waktu, bahkan tidak sedikit yang mengalami kebangkrutan.

Hasil survei BPS baru-baru ini menunjukkan 82,85 persen korporasi mengalami kemerosotan pendapatan selama ada pandemi. Dampak turunan dari merosotnya pendapatan tersebut, memaksa korporasi untuk melakukan PHK untuk mengurangi beban operasional kegiatan usaha mereka agar terus bisa beroperasi. Sebagian lagi kemungkinan akan menutup kegiatan usahanya secara permanen sehingga gelombang PHK sudah tidak terhindarkan lagi.

Menurunnya kinerja korporasi tersebut baik itu korporasi besar maupun UMKM, bukan hanya berpotensi menciptakan PHK, tetapi juga membawa efek negatif lainnya yaitu munculnya potensi gagal bayar utang-utang mereka. Utang-utang tersebut merupakan bagian dari mekanisme produksi korporasi, di mana korporasi membutuhkan modal kerja dalam bentuk dana segar yang biasanya diberikan industri perbankan maupun perusahaan pembiayaan.

Peran lembaga keuangan tersebut bukan hanya memberikan kredit modal kerja saja, melainkan juga memberikan pembiayaan untuk kegiatan investasi dari korporasi, seperti untuk perluasan pabrik ataupun membeli mesin-mesin baru. Dengan menurunnya kinerja ekonomi secara keseluruhan, dikhawatirkan korporasi bukan hanya mengalami risiko gagal bayar saja, melainkan juga terpaksa harus melakukan PHK pegawainya secara besar-besaran.

Potensi PHK

Banyaknya korporasi yang harus mengurangi atau menghentikan kegiatan usahanya, memaksa mereka untuk mengistirahatkan sebagaian atau seluruh karyawannya baik untuk sementara waktu atau selamanya. Berbagai sumber menyebutkan perkiraan jumlah pegawai yang terkena PHK sebagai akibat dampak covid-19 mencapai 3,5 juta orang. Angka ini akan semakin bertambah apabila pandemi terus berlangsung sampai akhir tahun 2020.

Dengan bertambahnya pegawai yang terkena PHK ini, maka jumlah pengangguran akan terus bertambah. Menurut catatan BPS, sebelum pandemi terjadi, tepatnya pada bulan Februari 2020 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 6,88 juta orang. Dengan tambahan jumlah pegawai yang terkena PHK tersebut maka jumlah pengangguran akan mencapai sekitar 10 sampai 11 juta orang.

Solusi restrukturisasi kredit

Lembaga keuangan seperti perbankan dan perusahaan pembiayaan termasuk perusahaan leasing, selama ini telah menjadi penyedia likuiditas dan barang modal untuk mendukung jalannya kegiatan usaha korporasi. Dengan menurunnya kinerja korporasi, dikhawatirkan potensi kredit macet akan semakin besar sehingga akan mengganggu kinerja bank dan perusahaan pembiayaan.  

Bank maupun perusahaan pembiayaan berpotensi mengalami risiko likuiditas apabila korporasi tidak bisa membayar kembali utang-utang mereka. Tingginya risiko kredit dan risiko likuiditas yang dialami oleh bank dan perusahaan pembiayaan dapat menghentikan kegiatan operasional lembaga keuangan tersebut, mengingat likuiditas merupakan urat nadi bagi bank dan perusahaan pembiayaan. Melihat realitas tersebut, restrukturisasi kredit menjadi suatu “win-win solution” bagi kedua belah pihak, baik itu korporasi sebagai debitur maupun bank dan perusahaan pembiayaan sebagai kreditur.

Merespon kondisi yang tidak menguntungkan tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit untuk bank dan perusahaan pembiayaan, melalui POJK Nomer 11 Tahun 2020. Dengan kebijakan restrukturisasi kredit ini, debitur diberikan keringanan pembayaran cicilan pinjamannya ke bank atau perusahaan pembiayaan.

Dengan kebijakan ini diharapkan kegiatan usaha di sektor riil dapat terus berjalan, sehingga mengurangi potensi terjadinya PHK yang lebih besar. Tanpa adanya restrukturisasi kredit diperkirakan semakin banyak pegawai yang menjadi korban PHK.

Relaksasi ketentuan tersebut telah mendapat tanggapan yang positif dari debitur maupun perbankan dan perusahaan pembiayaan. Tercatat jumlah debitur yang telah mendapatkan fasilitas restrukturisasi kredit sampai awal September 2020 telah mencapai 7,38 juta debitur, dengan nilai pinjaman yang telah direstrukturisasi sekitar Rp 878 triliun.

Manfaat untuk UMKM

Sebagian besar dari korporasi yang mendapatkan restrukturisasi kredit tersebut adalah kegiatan usaha UMKM, yang terkena dampak paling berat dari pandemi covid-19 ini. Selama ini UMKM telah menjadi tulang punggung penyerapan angkatan kerja di Indonesia, di mana 97 persen dari sekitar 137 juta angkatan kerja di Indonesia adalah pekerja di sektor UMKM. Jumlah UMKM yang mendapatkan keringanan sebanyak 5,82 juta debitur, dengan total pinjaman mencapai Rp 359 triliun yang direstrukturisasi, atau rata-rata sebesar Rp 62 juta per debitur.

Angka pinjaman ini sebenarnya relatif kecil, tetapi memiliki dampak yang berarti bagi UMKM untuk terus mampu menjalankan kegiatan usahanya. Andaikan setiap UMKM yang mendapatkan restrukturisasi kredit tersebut memperkerjakan 5 orang pegawai saja, maka jumlah pegawai yang bisa diselamatkan bisa mencapai sekitar 25 juta orang dari sekitar 132 juta angkatan kerja di sektor UMKM. Dengan menyelamatkan 25 juta pekerja di sektor UMKM tersebut, diharapkan 75 juta orang mampu tetap hidup secara normal sebagai bagian dari keluarga UMKM tersebut, dengan asumsi seorang pekerja memiliki seorang istri dan seorang anak.

Prospek ke depan

Ketidakpastian situasi ekonomi ke depan yang masih terus berlanjut diperkirakan masih menyimpan potensi risiko kredit dan risiko likuiditas yang cukup besar bagi dunia usaha. Potensi terjadinya PHK secara besar-besaran masih mungkin terjadi di tengah krisis kemanusiaan dan resesi ekonomi yang belum bisa diramalkan kapan akan berakhir.

Karena itu, rencana OJK untuk memperpanjang pemberlakuan program restrukturisasi kredit untuk debitur bank maupun perusahaan pembiayaan perlu diapresiasi dan didukung. Kebijakan perpanjangan waktu restrukturisasi kredit ini menjadi salah satu langkah untuk mencegah dunia usaha dari ancaman kebangkrutan, maupun PHK besar-besaran. Namun, bank dan perusahaan pembiayaan tetap harus melakukan monitoring yang ketat untuk menjaga kinerja debitur mereka agar mampu bangkit beropersi secara normal dan melunasi utang-utangnya.

 
Berita Terpopuler