50 Ribu Ton Garam Petambak di Jabar Belum Terserap

Harga garam petambak saat ini berada dikisaran Rp 250 per kg.

ANTARA/Dedhez Anggara
Petani memeriksa kolam garam yang menggunakan plastik tunel di Luwunggesik, Krangkeng, Indramayu, Jawa Barat. Petani garam mengaku mengalami kerugian akibat harga garam yang turun drastis mencapai Rp 200 per kilogram sehingga tidak menutup biaya produksi.
Rep: Lilis Sri Handayani Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Sedikitnya 50 ribu ton garam produksi petambak di Jabar hingga kini belum terserap. Pemerintah diminta untuk membantu peningkatan kualitas garam petambak dengan penerapan geo membran.

"50 ribu ton garam petambak yang belum terserap itu merupakan sisa produksi 2019 kemarin," ujar Ketua Asosiasi Petani Garam (Apgasi) Jawa Barat, M Taufik, kepada Republika, Selasa (13/10).

Taufik menyebutkan, pada 2019 lalu, produksi garam petambak di Jabar mencapai sekitar 300 ribu ton. Jumlah itu terhitung tinggi menyusul musim kemarau panjang yang terjadi pada tahun lalu.

Taufik mengakui, tingginya produksi garam itu tak diimbangi dengan kualitasnya. Menurutnya, kualitas garam petambak memang kurang, sehingga kalah bersaing. Apalagi, tata niaga garam dikuasai oleh para bakul yang ingin mencari keuntungan.

Selain tak terserap, lanjut Taufik, harga garam petambak juga rendah. Bahkan, harganya di kisaran Rp 250 per kg.

Tak terserapnya garam maupun rendahnya harga garam, lanjut Taufik, akhirnya membuat minat petambak untuk memproduksi garam pada tahun ini jadi menurun. Dia menyebutkan, dari luas lahan tambak garam sekitar 5.500 hektare di Cirebon dan Indramayu, yang digarap pada tahun ini hanya sekitar 40 persennya.

"Karenanya, produksi garam pada tahun ini hanya sekitar 20 ribu ton. Yang ini sudah terserap," kata Taufik.

Taufik menambahkan, produksi garam di Jabar sekarang ini sebagian sudah mulai berhenti. Pasalnya, hujan sudah mulai turun.

Kondisi itu seperti yang terlihat di daerah Losari-Mundu, Kabupaten Cirebon. Sedangkan untuk Mundu-Bungko, sekitar sepuluh persen yang masih berjalan. Untuk wilayah Losarang, Kabupaten Indramayu, juga masih berjalan.

Hal itu dibenarkan salah seorang petambak garam di Kecamatan Losarang, Robedi. Dia mengatakan, produksi garam di wilayahnya hingga kini masih berjalan. "Tapi, tidak maksimal karena hujan sudah mulai turun," ujar Robedi.

Robedi mencontohkan, untuk lahan garamnya seluas 30 hektare, hanya mampu menghasilkan 70 ton untuk empat hari produksi. Sedangkan tahun lalu, selama empat hari itu bisa menghasilkan 100 ton.

"Minggu kemarin produksi itu sudah terlihat bagus. Tapi saat hendak dipanen, hujan turun sehingga akhirnya gagal," tutur Robedi.

Selain faktor cuaca yang menyebabkan produksi garam tahun ini berkurang, lanjut Robedi, minat petambak garam di wilayahnya pada tahun ini juga menurun. Dia menyebutkan, luas lahan garam di wilayah Kecamatan Losarang ada sekitar 2.500 hektare. 

Namun tahun ini, lahan yang diolah menjadi tambak garam hanya 50 persennya. Pemicu utamanya, rendahnya harga garam di tingkat petambak. Selain itu, tidak terserapnya seluruh garam yang mereka produksi pada tahun lalu. "Harga garam sempat Rp 200 per kg," tutur Robedi.

Robedi menyebutkan, untuk garam produksi 2019 di wilayahnya yang belum terserap, ada sekitar 4.000 ton. Garam tersebut saat ini masih menumpuk. Petambak tak mau melepas garam tersebut karena ditawar dengan harga yang murah. "Petambak inginnya diatas Rp 400 per kg," cetus Robedi.

Sementara itu, Taufik mengungkapkan, untuk meningkatkan harga garam di tingkat petambak, maka kualitas garam harus ditingkatkan. Caranya, dengan penerapan sistem geo membran.

Taufik menyatakan, pemerintah harus membantu petambak untuk menerapkan geo membran. Namun, bantuan itu harus pula diiringi dengan pembinaan dan diberikan kepada yang benar-benar membutuhkannya.

"Jangan seperti 2015. Geo membran diberikan, tapi tidak ada pembinaan sehingga petambak tidak mengerti penggunaannya," tandas Taufik. 

 

 

 
Berita Terpopuler