Benarkah Negara Teluk tak Lagi Berpihak ke Rakyat Palestina?

Bukankah penderitaan rakyat Palestina merupakan penderitaan umat Islam sedunia?

Ist
Bendera Palestina (Ilustrasi)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mulawarman Hannase, Pengamat Timur Tengah dan Dosen Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia

Dalam dua dekade terakhir, dapat diidentifikasi pola baru konstelasi politik di Timur Tengah (Timteng), khususnya di negara Teluk. Ini terkait hubungan Teluk dengan Israel. Hampir semua negara Teluk terindikasi memiliki kesediaan menjalin hubungan baik dengan Israel.

Beberapa tahun terakhir, Arab Saudi bekerja sama dengan Tel Aviv di bidang intelijen. Qatar pun salah satu mitra dagang terpenting Israel sejak 2000-an. Baru-baru ini, mantan penguasa Oman, Sultan Qabus, menyambut Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.

Uni Emirat Arab (UEA) menandatangani beberapa kesepakatan dengan perusahaan keamanan Israel dan bekerja sama dengan Israel di banyak bidang dan diformalkan dengan dibangunnya hubungan diplomatik baru-baru ini.

Setelah UEA, satu lagi negara Teluk yang membangun hubungan diplomatik dengan Israel, yaitu Bahrain. Presiden AS Donald Trump pada Jumat (11/9), mengumumkan, Israel dan Bahrain menyetujui hubungan diplomatik penuh.

Keputusan Hamad bin Isa al-Khalifa sebagai penguasa wilayah paling kecil di kawasan Teluk ini, kontroversial. Kecaman dunia Islam pasti mengalir kepadanya. Teriakan penolakan lambat laun akan bergemuruh. Tensi politik di Timur Tengah pun akan kian panas.

Mengingat, opini publik yang berkembang sampai saat ini, khususnya di dunia Islam, menolak segala bentuk kerja sama dengan Israel karena dianggap pengkhianatan terhadap rakyat Palestina. Bisa dipastikan, narasi paling banyak muncul merespons langkah politik ini, negara Teluk tidak lagi berpihak pada rakyat Palestina. Bukankah penderitaan rakyat Palestina merupakan penderitaan umat Islam sedunia?

Berbagai analisis muncul untuk menguak motif Bahrain menjalin hubungan dengan Israel. Salah satunya, dari perspektif sektarianisme. Variabel Suni-Syiah berpengaruh pada mengkristalnya konflik di Timteng saat ini.

Cara pandang negara Teluk dalam meng ambil langkah politik, ditentukan kedua variabel ini. Dalam konflik Yaman, misalnya, Iran berandil cukup besar, dengan mendukung kelompok bersenjata Houthi.

Begitu pula di Lebanon. Hizbullah yang memiliki kekuatan militer sangat besar disokong Iran. Fakta-fakta ini membuat negara Teluk dan aliansinya berpikir keras menghentikan dominasi Iran dan jaringan Syiahnya di Timteng. Berdasarkan model analisis di atas, bisa dibaca langkah negara Teluk, meliputi Arab Saudi, UEA, dan Bahrain adalah langkah pragmatis untuk menghadapi dominasi Iran.

Di surat kabar Times of Israel, disampaikan menteri luar negeri Bahrain, "Dalam sejarah politik terakhir, tantangan paling berbahaya kita hadapi adalah Iran". Bahkan menurut dia, Iran ancaman besar bagi Timur Tengah dibandingkan Israel dan masalah Palestina.

Selain merespons Iran, pasca-Musim Semi Arab, ketakutan terhadap potensi jaringan Ikhwanul Muslimin naik ke tampuk kekuasaan di negara besar Timur Tengah, seperti Mesir, Libya, dan Tunis melahirkan aliansi baru yang dipimpin Saudi dan Mesir. Kekuatan baru kelompok Islam politik yang disokong Turki juga menjadi alasan negara anggota Gulf Cooperation Council (GCC) dan Israel untuk lebih sejalan. Selain sektarian, Bahrain memperhitungkan aspek lain, yaitu ekonomi.

Di wilayah yang bergejolak secara politik dan tidak stabil secara ekonomi ini, Bahrain meng alami masa sulit. Dalam beberapa ta hun terakhir, Bahrain di-bail out dengan paket stimulus 10 miliar dolar AS, yang dikirim bertahap oleh Saudi, UEA, dan Kuwait.

Kalau ditarik ke belakang, sebelum menormalisasi hubungan dengan Israel, Bahrain negara paling antusias di kawasan Teluk yang akan melakukan normali sasi setelah UEA. Banyak yang memperkirakan, itu dilakukan beberapa saat setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo dan sebelum pemilu AS pada November. Karena itu, keinginan Bahrain berhubungan diplomatik dengan Israel tidak lepas dari peran AS.

Di sisi lain, faktor utama normalisasi Teluk-Israel adalah poros aliansi UEA-Saudi yang terbangun melalui penguasa de facto kedua negara, yaitu Mohammed bin Zayed dan Mohammed bin Salman. Langkah Bahrain tak dapat dipisahkan dari poros UEA-Saudi. Bahrain berhitung, normalisasi menguntungkan secara politik dan ekonomi daripada netral atau pro ke kubu lainnya.

Pada kenyataannya, terbentuk pola hubungan baru antara negara Teluk-Israel dengan berbagai motif. Namun, tidak jelas bagaimana penguasa Teluk mengatasi risiko yang muncul dengan kedekatannya dengan Israel.

Harus menjadi catatan penting bagi aliansi ini, opini publik tidak bisa dipisahkan dari keprihatinan terhadap nasib bangsa Palestina. Persoalan Israel-Palestina yang dipahami khalayak adalah persoalan kema nusiaan, kedaulatan, dan hak asasi manusia. Jangan sampai karena pragmatisme sektarian, ekonomi, dan politik lalu melupakan perannya membebaskan rakyat Palestina dari penderitaan dan penindasan hak-haknya.

 
Berita Terpopuler