Eks Marinir Muslim Amerika Serikat: AS Nihil tanpa Islam

Eks Marinir Muslim Amerika Serikat menyatakan loyalitas mereka ke negara.

Antara
Eks Marinir Muslim Amerika Serikat menyatakan loyalitas mereka ke negara. Ilustrasi tentara Marinir Amerika Serikat.
Rep: Dea Alvi Soraya Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Insiden 11 September merupakan angka bersejarah bagi Mansoor T. Shams, seorang veteran Marinir Amerika Serikat Muslim, sekaligus pendiri MuslimMarine.org, dan hampir seluruh warga Amerika lainnya. Tepat hari ini, 19 tahun lalu, Twin Towers menjadi salah satu sasaran dari serangan bunuh diri yang dilakukan Al-Qaeda.

Baca Juga

"Setahun sebelum kejadian itu terjadi, saya telah membuat salah satu keputusan terberat yang dapat dibuat setiap pemuda Amerika berusia 18 tahun, saya mengangkat tangan untuk "mendukung dan membela Konstitusi Amerika Serikat melawan semua musuh asing dan domestik dan menjadi seorang marinir Amerika Serikat," tulisnya yang dikutip di CNN, Jumat (11/9).

Dalam artikelnya, Shams menuliskan detail perasaan yang dialaminya ketika menyaksikan langsung ledakan yang meluluhlantakkan Twin Towers 11 September 2001. Kengerian, bingung dan frustasi bercampur menjadi satu kali cuplikan hancurnya Twin Towers mulai bergulir, tulisnya. 

"Tak satupun dari kami, Marinir, yang tahu apa yang sedang terjadi. Tapi saat menit dan jam terus berlalu, kepemimpinan dasar kami di Camp Johnson di North Carolina memutuskan untuk beralih ke mode kuncian. Semua jalan masuk yang tidak penting ke pangkalan dihentikan. Tidak ada Marinir yang bisa meninggalkan pangkalan juga. Saya baru berada di Korps Marinir selama setahun, dan saya belum pernah menyaksikan yang seperti ini," ujarnya.

Seiring berlalunya waktu, penemuan bukti pelaku serangan mulai terkuak, yang diduga berasal dari Afghanistan, negara yang berbatasan langsung dengan Pakistan, negara tempat Shams dilahirkan.

"Fakta itu sangat menyayat hati saya. Jauh di lubuk hati saya mulai bertanya-tanya mengapa harus orang-orang yang saya bagikan warisan, dan, lebih buruk, iman yang sama. Mengapa bukan orang lain? Mengapa tidak beberapa kelompok lain? Mengapa teroris harus orang-orang yang mengaku mengikuti Islam saya yang indah?" sambungnya.

Meskipun Korps Marinir adalah jenis persaudaraan unik yang membanggakan nilai-nilai inti tertentu seperti kehormatan, keberanian, dan komitmen, sejak saat itu Shams mulai mengalami diskriminasi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.

"Saya pernah mendengar cerita tentang diskriminasi yang terjadi di sipil Amerika, tetapi di Marinir? Saya tidak akan membayangkan itu terjadi di antara kelompok yang dalam banyak hal telah menjadi saudara saya," tulisnya menambahkan.

Salah satu kejadian yang masih jelas dalam ingatannya, ketika dia mendapatkan tatapan janggal dari kawan sesama marinir. Beberapa dari mereka juga mengungkapkan candaan yang menyinggung Taliban, teroris, dan Osama bin Laden.

"Pada awalnya, saya akan mencoba mengabaikannya atau hanya menertawakannya, tetapi seiring berjalannya waktu, saya bisa merasakan hal-hal mulai memengaruhi saya. Saya mengajukan keluhan kepada kepemimpinan saya, tetapi mereka tidak berbuat banyak untuk campur tangan," keluhnya.

Dia juga mengatakan sangat mengingat penolakan yang diterimanya ketika mengajukan penundaan tes kebugaran fisik yang terdiri dari lari berjangka waktu tiga mil, pull up, dan crunch maksimum dalam dua menit hingga akhir Ramadhan. Meski angkatan bersenjata merupakan lembaga yang ketat, namun Shams merasa penolakan tersebut adalah bagian dari tindakan diskriminasi. "Untungnya, saya berhasil lulus tes kebugaran jasmani saya tanpa pingsan," tambahnya.

Mengalami ketidakadilan dan marginalisasi membuat usahanya untuk menyesuaikan diri dengan gaya hidup Korps Marinir menjadi semakin berat. Meski begitu, beberapa bulan kemudian, Shams berhasil mendapatkan promosi sebagai Kopral dan mengantongi penghargaan Marine of the Quarter.

"Saya harus mengakui, rasisme dan kefanatikan juga ada di dalam angkatan bersenjata karena semua kekacauan sedang terjadi, tapi entah bagaimana saya masih bisa tetap setia pada siapa saya dan sumpah yang saya ambil sebagai seorang Marinir Amerika Serikat," ujarnya.

Marinir Amerika Ilustrasi (AP)

Seiring berjalannya waktu, keunikan latar belakang Shams mulai diakui, kemampuannya yang dapat menguasai berbagai bahasa seperti bahasa Urdu, Punjabi, Hindi, hingga kecakapannya, membuat Shams kerap diandalkan dalam medan pertempuran.

"Saya siap mati untuk negara saya. Ini adalah pola pikir saya. Ini adalah tingkat cinta dan dedikasi yang saya miliki untuk Amerika Serikat. Dalam banyak hal, yang saya lakukan adalah Islam dalam tindakan, karena cinta dan pengabdian kepada negara tempat tinggal adalah bagian dari iman Islam saya seperti yang diajarkan pendiri Islam, Nabi Muhammad," kata dia. 

Meski harus mendapatkan diskriminasi dan ketidakadilan karena perbedaan ras, namun Shams meyakinkan bahwa dengan bangga menunjukkan diri sebagai Muslim, baik dengan berjenggot, mengenakan sorban, atau mengenakan jilbab bagi para muslimah, dapat membuatnya atau saudara seiman lainnya memahami pengalaman menjadi Muslim sesungguhnya.

Sembilan belas tahun telah berlalu sejak 9/11, namun setiap kali kita memperingati para korban 9/11 melalui berbagai program, seperti tren #NeverForget, yang tidak hanya berfungsi sebagai pengingat untuk mengingat 3.000 nyawa yang diambil dengan kejam, tetapi untuk mengingatkan orang Amerika Serikat bahwa teroris adalah Muslim.

"Sudah sampai pada titik bahwa sebagian dari Muslim harus hampir bersembunyi pada hari ini karena takut akan pergaulan dan akibat yang tidak pantas. Beberapa dari kita merasa seolah-olah kita bahkan tidak diizinkan untuk berduka atau menghormati nyawa tak berdosa yang hilang," tulis Shams.

Tahun lalu dalam sebuah acara, Perwakilan Demokrat Minnesota Ilhan Omar menerima kritikan karena mengungkapkan ketidaknyamanan yang dialami warga Muslim sebagai warga negara kelas dua. Omar kemudian berbicara tentang Council on American-Islamic Relations (CAIR), yang mengakui Muslim mulai kehilangan akses kebebasan sebagai warga sipil.  "Alih-alih melihat komentarnya dari kacamata seorang Amerika, dia justru dikritik," ujar Shams menambahkan.

Tak lama setelahnya, Trump langsung mengambil tindakan dan mengomentari perkataan Omar secara keliru, dan mengatakan bahwa Omar telah memuji tindakan Al Qaeda.

"Saya pikir Islam membenci kita" ujar Trump di siaran langsung televisi ketika dia menjadi calon presiden. Padahal Trump pula lah yang secara sepihak mengeluarkan larangan bepergian ke negara-negara, yang sebagian besar didominasi Muslim.

"Umat Islam harus menanggung diskriminasi, penganiayaan, kebencian dan kefanatikan yang mengerikan karena tindakan 19 teroris. Jadi ya, beberapa orang melakukan sesuatu dan secara tidak adil mengasosiasikan semua Muslim dengan kekejaman," kata Shams.

"Ini adalah jenis pertempuran yang sama yang dihadapi Black America hari ini, jika satu orang kulit hitam melakukan sesuatu yang salah, maka ribuan orang Afrika-Amerika sekarang secara otomatis dilihat sebagai penjahat," sambungnya.

Namun jika melihat kenyataan di lapangan, mayoritas penembakan massal dilakukan oleh pemuda kulit putih. Bayangkan jika saja seluruh orang kulit putih diperlakukan dan diasumsikan sebagai pembunuh. atau diperlakukan secara diskriminatif seperti halnya yang dialami Muslim dan orang berkulit hitam.

"Saya meminta rekan-rekan saya di Amerika yang mungkin masih memiliki semacam diskriminasi anti-Muslim di hati mereka karena 9/11 untuk mengambil waktu sejenak untuk berpikir dan memahami bahwa sebagian Muslim juga menjadi korban serangan itu," ujarnya.

"Faktanya, Muslim telah ada dan berkontribusi memajukan Amerika Serikat sejak zaman George Washington, dan tidak pernah ada Amerika Serikat tanpa Muslim. Jadi saat Anda memperingati 9/11 tahun ini, mari kita hormati nyawa tak berdosa yang hilang, bersama-sama, bergandengan tangan, dalam solidaritas sebagai orang Amerika," katanya menambahkan.

 

Sumber: https://us.cnn.com/2020/09/10/opinions/muslim-us-marine-9-11-shams/index.html

 
Berita Terpopuler