Hagia Sophia, Mesquita Alhambra: Bila Erdogan Abaikan Barat?

Agenda politik dan Islamophobia di nalik Hagia Sophia

Anadolu Agency
Pembacaan Surat Al-Fath di Hagia Sophia Turki
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

''Sejarah bukan untuk diratapi, tapi disikapi!" Nasihat ini kiranya bijak ketika melihat keriuhan media massa internasional meributkan keputusan presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, mengembalikan fungsi Haga Sophia menjadi masjid. Saluran TV bergengsi seperti CNN hingga Al Jazirah, hingga salurna berita TV Prancis, Jerman, Inggris dan Rusia sibuk menyiarakan 'breaking news'. Harian New York sibuk membuat hal yang sama pada laman media daringnya.

Hagia Sophia menjadi masjid dari yang semenjak tahun 1920-an dijadikan museum oleh bapak sekularisme barat Turki, Mustafa Kemal Atatürk, meniup kehebohan. Banyak negara barat hingga Amerika Serikat mengutuknya. Organisasi dunia seperti Unesco ikut-ikutan menyayangkannya dengan alasan Hagia Sophia adalah 'warisan dunia'.

Melihat kenyataan itu maka perlu bertanya ada apa ini? Apakah ini soal agama atau sudah soal politik yang di dalamnya diam-diam terus mengidap Islamophobia di kalangan negara Barat. Ini misalnya terlihat pada sibuknya negara mungil yang pernah punya kebudayaan tinggi hingga mitologi dewa-dewi Yunani. Negara yang dahulu kala berjaya dan kini menadi negara paria dalam Uni Eropa ikut-ikutan mengutuknya. Padahal semua tahu negara itu kini adalah negara yang bangkrut secara ekonomi sehingga harus selalu disuntik habis-habisan oleh negara Eropa kaya yang bergabung dalam Uni Eropa. Maka sungguh lucu.

Semua tahu langkah Erdogan bisa disebut pula ada motif politik. Tapi negara Barat pura-pura lupa dengan menutup mata telinga saat Kemal Ataturk menutup Hagia Sophia sebagai masjid dan menggantikannya sebagai museum. Mereka kala itu diam saja, tak berisik ribut. Motfnya jelas, karena apa yang dilakukan Kemal sebangun dengan pikirannya. Ini pula yang menabalkan sikap Eropa bahwa mereka sellau merasa 'lebih tinggi' dari pada Turki.

  • Keterangan gambar: Ornamen di kubah langit-langit Haghia Sophia.

Nah, kini kondisinya terbalik. Sejak Necmettin Erbakan dan partainya Keadilan Islam berkuasa pada yahun 1996, Turki berubah total. Di awali dengan lompatan belenggu krisis ekonomi 1998,  Turki melesat jauh. Dalam satu dekade Turki mampu merubah diri sebagai negara makmur dengan pendapatan perkapita pada PDB per kapita mencapai 11.014 dolar AS (2015), 22.021 dolar AS (2017), 9.692,567 dolar AS (2018), 9,126.936 USD pada 2019.

Maaf, jangan dibandingkan dengan Indonesia yang dari  1998 sampai kini pendapatan perkapitanya penduduknya hanya mampu mencapai 3.893,60 dolar AS ‎(2018), 4,193.109 USD pada 2019, tapi sudah sibuk mengklaim karena dipuji IMF dan Amerika Serikat sebagai negara maju. Adanya PDB ini jelas Indonesia belum masuk dalam negara yang mapan dalam berdemokrasi yang menurut mantan Wapres Boediono dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar di UGM batas kritisnya harus mencapai sekitar 6.600 dolar AS.

Turki hari ini memang berbeda dengan kala Kemal Ataturk dan berbagai rezim penggantinya berkuasa. Semua tahu tak hanya membuat Haga Sophia menjadi museum, karena saking 'ngebetnya' pada sekulerisme barat, semua yang berbau Islam di Turki dihabisi. Madrasah yang mengajarkan agama Islam dan bahasa Arab dia larang. Kurikulum pendidikan menjiplak barat habis-habisan. Adzan diganti memaka bahasa Turki. Topi tarbus yang berkuncir itu tak diperbolehkan dikenakan. Pendek kata Turki kini adalah Eropa, identitas Ottoman dihapus karena dianggap ketinggalan zaman.

Tapi impian Kemal tak membuat Turki maju layaknya Eropa. Negara ini tetap berantakan.Sampai para penguasa penggantinya Turki pun tetap terpuruk. Baru ketika rezim berganti kepada partai yang mengusung semangat ke-Islaman yang dipimpin Erbakan, Turki bisa berubah. Dan semakin dipuncak sejak Erdogan berkuasa dalam satu dekade terakhir. Ini jelas menimbulan keirian dari para 'Kemalis' yang mengklaim diri sebagai kaum nasionalis. Mereka terus berupaya menjatuhkan Erdogan, dari cara biasa hingga mengerahkan tentara dalam kudeta militer. Tapi semua itu gagal total. Erdogan tetap saja kuat.

Bagi Erdogan sendiri menjadi orang Eropa tak lagi jadi keinginan. Dahulu di awal pergantian rezim di dekade akhir 1990-an, masih ada keinginan bergabung dalam Uni Eropa. Tapi oleh dia kemudian ditolak mentah-mentah. Apalagi Erdogan tahu ada sikap dasar Eropa yang masih anti atau phobia terhadap Turki. Dia tahu ada elite agama di Eropa yang terang-terangan menolak Turki menjadi bagian Eropa karena Turki itu Muslim dengan mengatakan akar kebudayaan Eropa adalah Kristen. Jadi tak sesuai dengan Eropa!

Erdogan tahu itu karena sebenarnya hanya igauan saja, sebab akar Eropa adalah budaya kaum pagan. Dan sikap anti Turki ini diperlihatkan secara jelas ketika dia berpidato di acara resmi kenegaraan pada sebuah negara Eropa, omongannya selaku presiden berulangkali dipotong seorang pembawa acara karena menyebut akar Turki adalah Ottoman dan Muslim. Kala itu Erdogan memutuskan pergi sembari menyatakan sikap itu kurang ajar sebab Turki adalah negara besar dan makmur dengan penduduk lebih dari 80 juta orang. Tak sebanding dengan negara yang kala itu dia kunjungi.

 

 

 

 

Maka terkait dengan kebijakaan Erdogan atas  pengembalian fungsi Hagia Sophia sebagai masjid, ada perbincangan menarik dari sosok senior penyair sufi dan Guru Besar Filsafat Islam  Universitas Paramdina Jakarta, Prof DR Abdul Hadi WM. Menurutnya sikap negara barat itu bukan hal aneh. Ini karena terkait Islamophobia yang ada dalam benaknya dan rasa cemburu pada politik yang tengah dimaibkan Erdogan.

''Mengapa mereka ribut ketika Hagia Sophia jadi masjid? Umat Islam biasa saja ketika masjid yang sangat indah di Alhambra, Mesquita, Spanyol dijadikan gereja. Atau pula bila gereja tua di Paris Notre Dame tetap dipakai sebagai tempat ibadah uleh umat Kristen. Gak ada yang menjadikannya sebagai persoalan kan?,'' katanya.

  • Keterangan Foto: Mesquita (Masjid) di Alhambra Spanyol yang berubah menjadi gereja.

Lebih unik lagi adalah pernyataan seorang tokoh senior aktivis Muhammadiyah, Sudibyo Marcus. Pak dokter yang kini gemar menulis soal toleransi antarumat bergama dalam laman facebooknya menulis soal penggunaan Hagia Sophia menjadi masjid. Selengkapnya dia menulis begini dengan mengacu pada berita soal Hagia Sophia yang dituls Republika.

Hagia Sophia berubah status menjadi masjid. Direbut Sultan Al Fathih 1453 M bersama Konstantinopel.

Pengadilan Turki pada hari Jumat 10 Juli 2020 kemarin membatalkan Keputusan Kemal Ataturk yg merubah Hahia Sophia yang tadinya dimanfaatkan sebagai masjid menjadi museum pada tahun 1937.

Perubahan ini tak akan merubah persepsi masyarakat Barat Kristen, karena perubahan fungsi gereja menjadi masjid tersebut bukan hal yang baru lagi.

Bahkan belum lama ini masyarakat Muslm New York juga tidak merubah nama gereja yang bernama Mary atau Mariam yang mereka beli. Banyak gereja di Inggris dan Amerika Serikat yang dibeli dan dirubah fungsinya menjadi masjid.

Bahkan sebuah gereja di New York dijual kepada kaum Muslimin dengan harga lebih murah dari pada penawar lain yang lebih tinggi, karena pihak gereja lebih senang fungsi gereja sebagai rumah ibadah tidak berubah.

Bahkan hasutan Samuel Huntington (Penulis Buku 'The Clash of Civilization and the Remaking of World Order', red) yang menjadikan Turki sebagai simbol musuh Barat terhadap Islam, baik karena Turki telah merebut Konstantinopel sebagai ibu kota kerajaan Romawi Timur pada th 1453 serta dua kali mengepung Wina tapi gagal pada 1527 dan 1683 M, kini tak memiliki signifikansinya lagi.

                                           ******

Maka dari dua pernyataan itu teraba kiranya arah sebenarnya kebisingan dunia barat terhadap soal kebijakan Erdogan menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid. Apalagi keputusan itu juga didasarkan pada keptusan pengadllan yang selama ini digembar-gemborkan barat sebagai hal yang harus ditaati setiap penguasa bila tidak mau disebut sebagi diktator atau seorang fasis.

Lagi pula barat pun tahu bila Erdogan kena kerap kena fitnah bila telah menyingkirkan gambar Kemal Attaturk dari dinding ruang kerja kepresidenannya. Di belakang meja kerjanya yang kosong, entah menapa kemudian berdedar foto  yang di-cropping -- gambar Sultan Muhammad Fatih II yang di barat disebut sebagai sang penakluk. Gambar Erdogan dengan pose foto ini sudah lama tersebar di media massa. Setelah diusut gambar itu ternyata berasal dari sebuah laman facebook yang tak jelas. Dia tampaknya terus didegradasi.

Alhasil, apakah semua ini akan berhasil? Apakah ini hanya sekedar sisa budaya Kemal Atturk yang tersisihkan dan di masa kini tinggal berada di tepi ruas jalan di bangku lotre kaki lima di tepi ruas jalan yang menuju kawasan Lapangan Taksim, Istanbul?

Entahlah, yang jelas di Turki sama dengan di Indonesia pemandangan perempuan dan ibu negara yang memakai jilbab kini lazim. Tak lagi menjadi pemandangan langka seperti dan selama rezim Kemal Atturk yang mengklaim dirinya sebagai kaum paling nasionalis Turki, berada dalam tampuk kekuasaan.

Turki kini menjadi dirinya sendiri, tak perlu mengemis pada asing dan Eropa seperi dahulu lagi!

 

 

 

 

 

 

Spanyol dijadikan gereja. Atau pula bila gereja tua di Paris Notre Dame tetap dipakai sebagai tempat ibadah uleh umat Kristen. Gak ada yang menjadikannya sebagai perosalan kan?,'' katanya.

Lebih unik lagi adalah pernyataan seorang tokoh senior aktivis Muhammadiyah, Sudibyo Marcus. Pak dokter yang kini gemar menulis soal toleransi antarumat bergama dalam laman facebooknya menulis soal penggunaan Hagia Sophia menjadi masjid. Selengkapnya dia menulis begini dengan mengacu pada berita soal Hagia Sophia yang dituls Republika.

Hagia Sophia berunah status menjadi masjid. Direbut Sultan Al Fathih 1453 M bersama Konstantinopel.

Pengadilan Turki pada hari Jumat 10 Juli 2020 kemarin membatalkan Keputusan Kemal Ataturk yg merubah Hahia Sophia yang tadinya dimanfaatkan sebagai masjid menjadi museum pada tahun 1937.

Perubahan ini tak akan merubah persepsi masyarakat Barat Kristen, karena perubahan fungsi gereja menjadi masjid tersebut bukan hal yang baru lagi.

Bahkan belum lama ini masyarakat Muslm New York juga tidak merubah nama gereja yang bernama Mary atau Mariam yang mereka beli. Banyak gereja di Inggris dan Amerika Serikat yang dibeli dan dirubah fungsinya menjadi masjid.

Bahkan sebuah gereja di New York dijual kepada kaum Muslimin dengan harga lebih murah dari pada penawar lain yang lebih tinggi, karena pihak gereja lebih senang fungsi gereja sebagai rumah ibadah tidak berubah.

Bahkan hasutan Samuel Huntington yang menjadikan Turki sebagai simbol musuh Barat terhadap Islam, baik karena Turki telah merebut Konstantinopel sebagai ibu kota kerajaan Romawi Timur pada th 1453 serta dua kali mengepung Wina tapi gagal pada 1527 dan 1683 M, kini tak memiliki signifikansinya lagi.

Maka dari dua pernyataan itu teraba kiranya arah sebenarnya kebisingan dunia barat terhadap soal kebijakan Erdogan menjadikan Hagia Sophia sebagai masjid. Apalagi keputusan itu juga didasarkan pada keptusan pengadllan yang selama ini digembar-gemborkan barat sebagai hal yang harus ditatai sebagai penguasa bila tidak mau disebit sebagi diktataor atau seorang fasis.

Lagi pula barat pun tahu bila Erdogan sudah lama menyingkirkan gambar Kemal Attaturk dari dinding ruang kerja kepresidenannya. Di belakang meja kerjanya gambar itu sudah dia ganti dengan hambar Sultan Muhammad Fatih II yang di barat disebut sebagai sang penakluk. Gambar Erdogan dengan pose foto ini sudah lama tersebar.

Alhasil, apakah sisa budaya Kemal Atturk masa kini tinggal berada di tepi ruas jalan di bangku kios lotre di tepi ruas jalan yang menuju kawasan Lapangan Taksim, Istanbul?

Entahlah, yang jelas di Turki sama dengan di Indonesia pemandangan perempuan memakai jilbab kini lazim. Tak lagi menjadi pemandangan langka seperti dan selama rezim Kemal Atturk yang mengklaim dirinya sebagai kaum paling nasionalis Turki, berada dalam tampuk kekuasaan.

Turki kini menjadi dirinya sendiri, tak perlu mengemis pada asing dan Eropa seperi dahulu lagi!

 

 

 

 

 

 

 
Berita Terpopuler