Kemenhub Wacanakan Pajak Sepeda, Seperti Zaman Kolonial Saja

Di zaman kolonial pemilik sepeda diwajibkan membayar pajak peneng.

Antara/Aditya Pradana Putra
Sejumlah penggiat hobi sepeda ontel lawas melintas di Jalan Pandanaran dalam acara
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Karta Raharja Ucu

Sepeda tengah naik daun di masa pandemi saat ini. Masyarakat di kota-kota besar Indonesia ramai-ramai terkena demam sepeda, sehingga banyak toko penjual sepeda yang laris manis dan menaikkan harganya. Berbagai komunitas sepeda pun lahir menyusul banyaknya orang yang bersepeda saat ini. Sayangnya, pemerintah lewat Kementerian Perhubungan melemparkan wacana untuk membuat pajak sepeda. Wacana ini pun mengundang kontroversial.

Jika benar pajak sepeda diberlakukan, akan berlaku seperti zaman pemerintahan Hindia Belanda. Di masa kolonial, semua pemilik sepeda setiap tahunnya harus membayar pajak. Istilahnya pajak peneng. Pajak ini juga berlaku untuk sado atau delman.

Sepeda memang bukan barang baru di Indonesia. Sampai 1950-an, kereta angin ini mendominasi transportasi di Ibu Kota selain becak.

Banyak warga Jakarta pergi ke sekolah, kampus, hingga kantor menggunakan sepeda. Di medio tersebut berbagai tempat hiburan seperti bioskop memiliki lahan parkir khusus sepeda. Maklum, saat itu mobil dan motor hanya dimiliki orang berdoku.

Warga mengayuh sepedanya saat melintas di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Sabtu (27/6/2020). (ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)

Jika saat ini Anda melihat banyak orang membawa sepedanya naik MRT, KRL, hingga Bus Transjakarta, pemandangan serupa juga terjadi di zaman kolonial. Warga Belanda dan Eropa lainnya yang bekerja di Jakarta Kota, juga naik sepeda di samping trem, kereta yang jalurnya di tengah jalan. Mereka umumnya memilih sepeda merk Batavus atau Fongers yang doortrap) injak maju dengan rem kaki. Sementara orang pribumi yang berduit menyukai sepeda merk Raleigh yang aksesoris, dan jika dienjot berbunyi ‘tik – tik – tik -.

Sepeda Raleigh berharga mahal. Orang yang mengendarai sepeda ini akan memakai capio (semacam topi koboi). Selain itu, mereka juga akan menggunakan baju sadaria dan arloji saku menandai ia orang berdoku.

Di lengannya terdapat akar bahar yang dipercaya sebagai obat anti rematik. Sedangkan di jarinya terdapat serentetan cincin batu, seperti blue safier, kecubung dan akik yang katanya punya khasiat-khasiat. Yang pasti, setelah makan pemakainya akan menjadi kenyang.

Sepeda pertama muncul di Batavia pada tahun 1890. Waktu itu sepeda merek ‘Rover’ yang harganya 500 gulden menjadi kebanggaan luar biasa bagi para pemiliknya. Status sosial seolah-olah meningkat jika memiliki sepeda tersebut. Persis seperti saat ini jika seseorang menaiki sepeda merek Brompton yang harganya setara dengan ongkos naik haji.

Di masa kolonial, naik sepeda pada malam hari harus memakai lentera. Bersepeda tanpa lampu pada malam hari tidak akan akan kena tilang. Dendanya lima gulden suatu jumlah bisa makan sederhana selama sebulan.

Istilah ‘damai’ antara polisi dan pengendala tidak terdapat kala itu. Saking banyaknya orang bersepeda, di kampung-kampung terdapat bengkel sepeda yang kini digantikan bengkel motor.

Nah, jika saat ini pedagang sepeda di Jakarta sudah menjamur, pedagang sepeda pertama di Jakarta adalah seorang warga Belanda bernama Gruyter yang tokonya terletak di Gambir. Di tempat ini dia memiliki sebidang tanah lapang untuk tempat balapan sepeda bagi para pelanggannya.

Namun, orang yang datang ke toko dan bengkelnya hanyalah orang Belanda dan Cina. Pada tahun 1937 di Batavia tercatat 70 ribu sepeda atau satu sepeda untuk delapan penduduk. Penduduk baru sekitar 600 ribu jiwa. Belanda pun pernah membuka jalur khusus untuk sepeda.

 
Berita Terpopuler