Hamka dan Kilas Balik Beberapa Pengalaman dengan Komunis

Kisah Hamka berhadapan dengan komunis

gahetna.n
Penangkapan pelakuPemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr Suryadi MA, Pengajar di Universitas Leiden, Belanda

Inilah kisah kilas balik pengalaman ulama dan pujangga Buya Hamka terkait dengan persinggungan dengan kaum Komunis di awal masa kemerdekaan. Sumber tulisan ini berasal dari salinan arsip berupa artikel yang tersimpan di perpustakaan Univeritas Leiden, Belanda. Tulisan Buya Hamka tersebut dimuat pada majalah: Aliran Islam. Suara Kaum Progresif Berhaluan Radikal No. 52, Tahun Ke VII, Agustus 1953 [Nomor Madiun Affair]: halaman 60-64.

Dalam tulisan ini penulis sudah menyelaraskan ejaan sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia sekarang. Angka dalam tanda “{ }” merujuk pada halaman asli majalah tersebut. Kata-kata dalam tanda “[ ]” merupakan tambahan dari penyalin. Ilustrasi berupa foto dalam artikel ini berasal dari teks aslinya (halam.60). Catatan lainnya: dalam teks aslinya tertulis ejaan 'komunis' dan 'kominis.'

Berikut tulisan Buya Hamka tersebut:

Atas anjuran Bung Hatta, setelah penyerangan Belanda yang pertama, berdirilah di Sumatera Barat “Front Pertahanan Nasional”. Segala tenaga pejuang dan segala partai yang tumbuh laksana jamur, dan segala barisan, dan segala perkumpulan, dikumpulkan tenaganya menjadi satu. [Mereka] diberikan satu sekretariat.

Anggotanya ialah saya sendiri, Chatib Sulaiman,  Rasuna Said, Udin dan Karim Halim. Kemudiannya diputuskan saya menjadi Ketua dan Sekretariat [Perkumpulan] itu. Maksud untuk menyatukan tenaga dengan Front ini berhasil. Sejak dari partai yang sekanan-kanannya sampai yang sekiri-kirinya telah bersatu untuk kepentingan nasional.

  • Keterangan foto: Buya Hamka

Di Sumatera Barat rakyat dapat bersatu dan Bung Hatta berhubungan sangat rapat dengan pemimpin-pemimpin rakyat. Setiap malam 'Rebo' pemimpin dipanggil berkumpul ke istana [di Bukittinggi] untuk bertukar pikiran. Bachtaruddin, pemimpin Kominis Sumatera Barat pun turut hadir dalam pertemuan itu.

Suasana yang mulai baik itu, yang sampai dapat mengadakan demonstrasi menyambut perwakilan Konsul-konsul dari Jakarta (Australia, Inggris dan Belgia), menjadi bertukar sama sekali setelah Kabinet Amir Sjarifuddin jatuh. Bung Hatta dipanggil pulang ke Jawa dan dia menjadi Perdana Menteri. Rupanya Amir Sjarifuddin telah bersiap melaksanakan apa yang kemudian meletus di Madiun.

Tidak cukup sebulan setelah Bung Hatta menjadi Perdana Menteri, dia datang kembali ke Sumatera Barat. Rupanya bersama dengan Bung Hatta datang pula Amir Sjarifuddin, Sjahrir, Prawoto Mangkoesasmito dan Zainul Baharuddin.

Ada apa?

Masing-masing mencari partainya. Sjarifuddin menyusun “Front Demokrasi Rakyat”, Sjahrir memberi ingat bahwa Partai Sosialis telah pecah. Dia mendirikan Partai Sosialis Indonesia, dan Sjarifuddin bersama Muso telah menggabungkan pecahan partainya ke dalam PKI.

Prawoto memberi ingat kepada partainya sendiri, Masyumi, kemana arah politik yang ada di Jawa sekarang, bagaimana sikap Muso dan Sjarifuddin. Zainal Baharuddin, meskipun duduk dalam KNIP sebagai wakil Pesindo dari Aceh, turut pula memberi ingat, bahwa jiwa Islam masih tetap ada padanya. Dia datang memberi ingat supaya rakyat di Sumatera jangan sampai tenggelam ke dalam arus pertentangan partai-partai yang ada di Jawa.

Kasihan rakyat yang jujur.

Dua kali diadakan pertemuan umum, sekali di muka istana [Bukittinggi], sekali di lapangan banteng Bukittinggi, untuk menyambut wejangan para pemimpin. Rakyat {60} belum tahu bahwa yang datang sekarang ini, tidaklah lagi pemimpin-pemimpin yang bersatu.

Penghargaan kepada Bung Hatta, Sjahrir dan Sjarifuddin masih sama! Semua disambut dengan tepuk tangan. Tetapi bagi orang-orang yang khusus sudah tampak bagaimana wajah jemu dan benci yang terbayang di wajah Sjahrir terhadap Amir Sjarifuddin. Di pertemuan di “Gedong Nasional” [Bukittiggi] (bekas Belverdere di zaman Belanda), diadakan pertemuan khusus. Sjahrir sengaja lambat datang, karena tidak sudi mendengar ucapan Sjarifuddin.

Tidak berapa hari kemudian, mereka telah pulang ke tanah Jawa. Tetapi kesan pertentangan hebat yang ada di Jawa telah mulai [pula] tumbuh di Sumatera Barat. Saya telah mendapat peringatan dari Masyumi supaya hati-hati dengan “Front Pertahanan Nasional” [FPN], jangan sampai diperkuda oleh Komunis. Chatib Sulaiman, yang menjadi kemudi dari Front Pertahanan Nasional selama inipun telah mengganjur surut langkahnya sedikit demi sedikit, sebab mendapat instruksi [dari] Sjahrir. Dan [ia] merobah taktik dengan menggunakan Markas Pertahanan Rakyat Daerah [MPRD].

Suasana di Jawa tambah hangat. FDR [Front Demokrasi Rakyat] tambah memperlihatkan sikap [agresif]. Sedang FPN mulai kendor jalannya. Maka pada waktu itulah dengan aktif pemuka-pemuka Kominis, terutama Anwar Kadir, tampil dalam FPN, meminta supaya FPN diperbaru[i]. FPN perlu untuk menggembleng tenaga rakyat, katanya. Karena desakannya, diadakanlah pertemuan lengkap.

Anwar Kadir menganjurkan supaya Front Pertahanan Nasional diteruskan. Tetapi ditukar namanya menjadi Front Nasional saja. Tujuannya adalah anti Imperialist! Dan dia mendesak, bahwasanya yang pantas menjadi Ketua dari Front Nasional hanya seorang. Sebab orang itu rapat hubungannya dengan rakyat. Lalu orang itu dipuji setinggi langit, sebagai Ulama progressief, ahli pidato yang bersemangat, dan lain-lain sebagainya. Orang itu ialah Ketua FPN selama ini: Hamka!

Dan Sekretaris biar dia saja! Anwar Kadir.

Dari pihak Masyumi tidak banyak [yang] datang dalam rapat itu. Yang banyak hanyalah “partai-partai” yang tumbuh karena “boleh berpolitik”, berpuluh banyaknya. Semuanya setuju, suara bulat, Hamka ketua Front Nasional, Anti Imperialist! Dan untuk mempercermin tenaga rakyat, diminta pula Sdr. H. Udin Rahmany turut dalam Dewan Pimpinan [Front Nasional itu]. Sedang Sdr. H. Udin Rahmany ketika itu adalah Ketua Harian dari pimpinan Masyumi daerah.

“Bagus” benar politik itu. Kominis yang selama ini tidak mendapat pintu ke dalam hati Rakyat, hendak memakai orang yang anti Kominis menjadi kuncinya. Dan Sekretariat hendaknya dalam tangannya.

Kamu tahu! Tiga hari setelah “Front Pertahanan Nasional” hendak dibelok[kan] menjadi “Front Nasional”  itu terbentuk, saya dan Sdr. H. Udin Rahmany berkirim surat kepada Front tersebut, bahwa kami tidak sanggup duduk di dalamnya.

Kami menarik diri, habis perkara!

Cepat benar putaran roda pembentukan itu. Tanggal 7 Front itu dibentuk, tanggal 10 September 1948 kami tarik diri, dan tanggal 18 September, pecahlah revolusi Kominis di Madiun.

Dan ketika pecah pengkhiatan Madiun itu, Resident Sumatera Barat, Mr. St. Mohd. Rasjid, meminta bantuan saya “mengamankan” rakyat. Saya diberi oto. Saya bawa Dt. Simaradjo berkeliling. Dan kesempatan ini saya pakai buat menjelaskan pengkhianatan kominis kepada rakyat.{61}

Sebab saya menarik diri, tidaklah jadi terbentuk “Front Nasional”, gagal sebelum dapat dipertalikan dengan pemberontak Madiun.

 

Sebulan di belakang dapatlah tikaman dari rusuk yang dilakukan kominis di Madiun itu disapu bersih. Sdr. Chatib Sulaiman telah melanjutkan MPRD dan menyusun Barisan Pengawal Negeri dan Kota [BPNK]. Tetapi kaum Kominis di Sumatera Barat belum putus asa. Kepada Resident Sumatera Barat dianjurkannya supaya suatu Kesatuan Nasional dibentuk kembali, meskipun tidak bernama Front Nasional.

Beberapa pemimpin rakyat dari partai yang lain setuju pula dengan anjuran itu. Di antaranya Djuir Muhammad dari Partai Sosialis Indonesia, Chatib Sulaiman dan St. Soelaiman dari PNI – Sdr. Marzuki Yatim pun setuju dalam prinsip.

Lalu diadakan kembali musyawarat, atas undangan Komite Nasional Daerah. Maksudnya ialah supaya tenaga rakyat di daerah itu jangan terpecah-belah dalam mempertahankan daerah, dan jangan sampai pengaruh perpecahan di Jawa mendalam pula di Sumatera Barat.

Tidak sepakat mendirikan “Front Pertahanan Nasional”!

Tidak sepakat “Front Nasional anti Imperialis.

Yang [di]sepakat[i] ialah “Balai Permusyawaratan Nasional”. Partai-partai tidak akan terikat. Masing-masing akan bebas [menentukan] sikap sendiri. “Balai” hanya untuk bertukar pikiran dalam suasana politik kedaerahan.

Suarapun bulat! Udara rapat amat jernih!

Sekarang siapa pula Ketuanya? Lagi-lagi Hamka!

Djuir Muhammad dari PSI mengeluarkan suara yang beritama membujuk saya, menyuruh saya berkorban untuk kepentingan bangsa dan nasional.

Waktu itulah saya memberikan jawab[an] tegas tentang pendirian hidup saya. “Saya ini bukan orang pulitik! Kata orang saya ini hanya pujangga. Giliran saya sudah habis. Sekarang adalah keaktifan setiap partai menanam ideologi. Badan[-badan], dewan-dewan, balai-balai, hanyalah sebutan manis belaka, yang hasilnya tidak akan ada. Dan kalaupun akan ada, bukanlah lagi saya orangnya, yang pantas diketuakan. “Pulitik” dan “Pujangga” kalau disatukan, mestilah hilang “Pu”-nya, dan tingga “jangga”. Orang Minangkabau membahasakan “janggal” dengan “jangga”.

Main habis, orang semuanya tertawa, dan “Balai” pun tidak jadi terbentuk, yang kalau terbentuk akan jadi alat yang bagus bagi Komite Nasional atau diperalat oleh kominis.

Seminggu pula setelah gagal membentuk “Balai Permusyawaratan Nasional” itu, datanglah serangan Belanda yang kedua. Pimpinan perjuangan terserah kepada orang yang dipercayai rakyat.

Perjuangan hebat, hubungan putus dan pimpinan PDRI ada di Sumatera. Sampai akhirnya timbul Roem-Royen Statement, Republik kembali ke Yogya dan KMB. – Di waktu itu jugalah kominis aktif kembali dengan caranya sendiri.

Di mana-mana mulailah kedengaran cela makian kepada Kabinet Hatta. Hatta menjual Negara kepada Belanda. Maki-makian ini diatur di mana-mana, sampai di warung-warung kopi. Padahal belum lagi penyerahan Kedaulatan.

Beberapa “Pareman [preman] cap-gajah” disuruh ngobrol di lepau-lepau mencela Hatta! Pengkhianatan Madiun hendak dilipur begitu saja dengan memaki Hatta. [Hal itu dilawan oleh] beberapa orang pemuda Islam, {62}(di Sumatera Barat tak usah kuatir, sebab semua Islam). Bahkan kominis itu sendiri pun Islam “juga”, tapi dikudai oleh Kominis. Pemuda-pemuda Islam itu mengambil sikap, yaitu “mencari pasal”. Ketika alat-alat burung beo kominis itu menela-cela Bung Hatta pada satu lepau, datang seorang pemuda Islam.

“Apa katamu kepada Bung Hatta? Kau katakan Hatta pengkhiat? Coba ambil kaca, lihat mukamu! Macam kau [ini] hendak menggantikan Hatta?” – Lalu bertengkar, dan…..pang!” Ditinjunya muka kaki tangan kominis itu. Berpuluh orang yang duduk di lepau itu tak ada yang membelanya, semua menyalahkannya: “Adakah Hatta mau dicela!”

Mulanya si kaki tangan [kominis itu] masih menjawab: “Awas waang! Jiwa[mu] terancam! Partai kami kuat!”

Pemuda Islam yang palak tadi lalu menjawab dengan beransangnya: “Japutlah [jemputlah] Pak Muso waang itu ke kuburnya! Jeput Amir Sjarrun Fid Din(*) ke liang lahat. Jeput Tuanku Nan Hitam [dan] Tuanku Nan Putih-mu ke dalam tanah. Nak den sudahi gadangnyo siko!”. Atau waang den utus menjemputnya?”

Sejak itu mencela Hatta di muka ramai [mereka] tak berani lagi.

                                 ***

Taktik itu dirobah! Di Simabur Batusangkar tersiarlah surat [be]rantai, bahwa pemimpin-pemimpin Masyumi dan Muhammadiyah seluruh Kabupaten Tanah Datar, 275 orang banyaknya, akan di”bersihkan”. Kabar-kabar begini, biasanya baru mulai terdengar, memang mengagetkan. Dan kalau iman lemah, bisa hilang semangat dibuatnya.

Maka datanglah engku Duski Samad ke Simabur. Seorang pemuda yang imannya masih goyang memperlihatkan surat itu kepada beliau.

“Adakan tabligh, saya hendak bicara”, kata engku Duski.

Di hadapan Tabligh itu pembicara agama yang terkenal itu mulai menghantam sifat “pengecut”. “Pengecut adalah alamat tak beriman!”

“Saya mendengar kabar”, kata beliau, “bahwa di sini disiarkan orang surat berantai, [yang] mengatakan bahwa 275 pemimpin Masyumi-Muhammadiyah hendak disembelih. Lalu ada yang mengadu kepada saya dengan muka pucat! Seluruh Tanah Datar ini Islam, seluruhnya Masyumi! Muhammadiyah Perti. Seluruhnya bermesjid! Puluhan ribu rakyat di sini Islam semua dan Masyumi semua! Pemimpinnya 275 [orang] akan diculik! Akan disembelih! Sedangkan menangkap anak ayam, lagi susah.

Apatah lagi hendak menculik 275 pemimpin dan pemuka rakyat! Siapa dan dari mana [orang] yang akan menculik itu? Saya tahu Kominis di Batusangkar ini tidak cukup seratus orang. Mungkinkah 100 orang, yang terpencar di sana dan di sini, dapat dicatat di mana rumahnya dan di mana kampungnya, dan semuanya dikenal namanya, hendak menculik 275 orang pilihan, yang hidup di tengah-tengah beribu-ribu rakyat? Apakah disangkanya [kita ini] batu semua?”

“Awas”, kata beliau pula: “Jika terdengar ada saja di antara pemuka Masyumi diganggu orang, 100 jiwa [pengikut komunis itu] akan menjadi tebusannya.”

Kemudian dilabraknya kembali sifat pengecut. Pengecut tidak ada dalam tarikh perjuangan Islam. “Saudara-saudara ingat sabda Nabi”, kata beliau: “Timbul kegentaran musuh, sebulan lebih dahulu, jika kaum pengikut Muhammad akan mengambil sikap! Bukan kita yang gentar, tetapi mereka”, kata beliau.

Sejak tabligh itu, hilang sendirinyalah pengaruh surat berantai tadi. Dan Kominis tentu belum kehilangan akal, atau belum kehilangan alat lain, yang telah tersusun dalam program per-{63}juangannya untuk mengganti surat berantai yang kehilangan pengaruh itu.

                     ***

Tersebutlah nama Duski Samad! Beliau ini adalah seorang pahlawan Islam, Muballigh ulung yang telah menyediakan segenap tenaganya menegakkan agama, dan membanteras faham tiada bertuhan di Sumatera umumnya dan di Sumatera Tengah khususnya.

Dahulu dia pernah masuk kominis (1926). Karena ketika itu ideologi masih kacau balau. Kemudian dia keluar dari kominis, karena sudah nyata baginya bahwa kominis, karena sudah nyata baginya bahwa kominis adalah hendak menghancurkan agama. Kemudian dia masuk Permi, dan setelah Permi bubar, dia masuk Muhammadiyah. Di kala hebat perjuangan kemerdekaan, dia menjadi “Bapak” Hizbullah! Bahkan dibentuknya Barisan puteri “Sabil Muslimat”. Seluruh hari digunakannya untuk menggembleng keislaman rakyat dan mengokohkan Imannya. “Praktis politik lanjutkanlah oleh ahlinya”, kata beliau.

Dia membela Masyumi dengan segenap tenaga. Lidahnya berapi, tikamannya kepada musuh-musuh Islam tepat-tepat. Gunung didakinya, lurah dituruninya, berhari dan berpekan, dan membentuk jiwa perjuangan umat sudah menjadi sebagian dari hidupnya.

Banyak orang mengajaknya ke kota, banyak jabatan yang menunggu orang yang berkaliber seperti dia. “Tidak”, katanya. “Tenaga Iman dan pembangunan jiwa yang penting adalah di desa.”

“Tetapi tuan tidak mengecap rasa kemerdekaan”, kata orang yang [mencoba] mengganggu[nya]. “Kalau mengecap kemerdekaan itu hanya dengan oto bagus, rumah cantik dan melagakkan harta benda Negara untuk kesenangan sendiri, benarlah apa yang tuan katakan. Saya belum mengecapnya. Dan saya berlindung kepada Allah, janganlah saya mengecapnya. Tetapi kalau kemerdekaan itu adalah kemerdekaan jiwa mengingat Tuhan dan hidup bersama rakyat yang tulus ikhlas, yang berani mengorbankan jiwa untuk mempertahankan agama Allah, maka boleh saya katakan bahwa sayalah yang terpilih dahulu merasai kemerdekaan.”

Alhamdulillah! Islam masih mempunyai pahlawan-pahlawan seperti ini.

_______________

Catatan kaki atau tambahan keterangan  dari penyalin:

(*) Ketika Amir Sjarifuddin telah mengkhianati Republik Indonesia dengan pemberontakan Madiun, sedang ayah bundanya adalah orang Islam, dan dia lahir dalam Islam, lalu masuk Kristen, dan kemudian masuk kominis, maka oleh pemuda-pemuda di Sumatera Barat dijelaskanlah namanya yang sebenarnya.

“Sjarifuddin” artinya ialah “bangsawan agama”. Mereka kembalikan namanya yang sesuai dengan Pribadinya, yaitu “Syarrun fid din”, artinya penjahat bagi agama.{64}

(** ) Tambahan keterangan dari redaksi: Tulisan ini sudah dimuat atas izin Dr Suryadi MA dan dimuat dalam blognya: niadilova.wordpress.com

 

 
Berita Terpopuler