Islam dan Persoalan Higiene di Hindia Belanda

Kisah pemerintah kolonial Belanda dalam menyadarkan pribumi peduli kesehatan

jurnal sejarah
'Jurnal Sejarah' Vol. 1/1 (2017) . Ilsutrasinya memakai gambar rapat Sarekat Islam.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Gani A. Djaelani, Ph.D, pengajar di Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran*

Berikut ini kami sajikan tulisan Gani A. Jaelani yang dimuat dalam 'Jurnal Sejarah'  Vol. 1/1 (2017) yang diterbitkan oleh kalangan para sejawaran yang tergabung dalam 'Masyarakat Sejarawan Indonesia'.

Tulisan tersebut secara khusus mengangkat persoalan Islam di Indonesia, terutama sebagai bahan pejalaran hari ini ketika tengah merebak pandemi wabah Corona dan berbagai hal lain yang terkait kesehatan masyarakat.

Artikel asli dalam jurnal tersebut  demi pertimbangan keterbatasan halamaman,  kami pecah menjadi dua tulisan. Republika.co.id memuat kembali tulisan ini atas seizin  pengelola  Jurnal Sejarah' tersebut. Artikel kami muat dengan menghilangkan catatan kaki dengan tujuan agar tulisan lebih bisa dinikmati orang awam secara luas.

Mengenai tulisan ini sangat menarik dan bermanfaat karena mengangkat berbagai topik tentang interaksi dan keterlibatan Islam di Indonesia dengan jaringan global, penyebaran kegiatan keagamaan di berbagai tempat di Indonesia, perkembangan politik dan saling singgung pengaruh ajaran Islam di dalam lingkup budaya lokal masyarakat Indonesia. Begini tulisan selengkapnya:

Pendahuluan

Pada akhir abad ke-19, pemikiran mengenai pentingnya menyebarluaskan gagasan tentang gaya hidup bersih mulai menjadi perhatian pemangku kebijakan kolonial untuk menjamin kesehatan penduduk di wilayah jajahan. Pemikiran ini  tidak bisa dilepaskan dari kebutuhan pemerintah kolonial akan adanya tenaga kerja pribumi yang bertubuh sehat.

Hal ini sejalan dengan politik penerapan politik liberal di bidang ekonomi dengan semakin banyaknya perusahan-perusahaan swasta yang membuka perkebunan pada paruh kedua abad ke-19. Keberadaan tenaga kerja yang sehat dan kuat merupakan jaminan akan  produktifitas ekonomi.

Institusi  kedokteran sejak pertengahan abad ke-19 sudah terlibat dalam perdebatan ini. Pendirian sekolah Dokter Djawa pada tahun 1851 dan  intensifikasi program vaksinasi merupakan bentuk nyata dari keterlibatan para  dokter dalam meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Demikian, para dokter yang berada di barisan terdepan dalam permasalahan ini kemudian melihat ajaran-ajaran Islam sebagai landasan kebudayaan untuk penyebaran aturan hidup higienis, karena prinsip- prinsip ajaran agama ini banyak yang sesuai dengan dasar higienitas. Pada titik inilah Islam dan politik higiene bertemu.

Hanya saja, kaitan antara Islam dan higiene ini tidak banyak dibicarakan, padahal pembahasan mengenai hal ini bisa memperkaya kajian sejarah Islam maupun  sejarah kesehatan itu sendiri. Atas dasar itu, tulisan ini dimaksudkan untuk mengelaborasi hubungan antara  Islam dan higiene di Hindia Belanda sebagai ikhtiar memperkaya diskursus sejarah Islam di Indonesia. Penggunaan sumber-sumber yang berasal dari catatan para dokter juga merupakan sebuah upaya untuk mencari kemungkinan lain dalam penggunaan sumber-sumber lain untuk pembahasan tema ini.

Demikian, tulisan ini merupakan sebuah percobaan untuk membicarakan sejarah Islam di Indonesia pada jaman kolonial dari sudut pandang para dokter.

Ajaran Islam dalam Pandangan Dokter:

Pidato Van der Stok di Congrès International d’Hygiène et de Démographie tahun 1883

Dalam kongres internasional tentang higienitas dan demografi (Congrès International d'Hygiène et de Démographie) yang diselenggarakan di Den Haag  pada tahun 1883, Nicolaas Pieter van der Stok, dokter militer belanda untuk Hindia Timur, menyampaikan pemaparannya tentang pemanfaatan Islam sebagai bahan untuk kampanye higienitas di kalangan penduduk Jawa, Sunda dan Madura

(Congrès International d’Hygiène et de Démographie,1884: 284).

Ia juga menyampaikan bahwa beberapa tahun sebelumnya pernah diminta untuk  menulis buku panduan tentang pentingnya higienitas yang didasarkan kepada prinsip-prinsip Islam dalam bahasa Melayu, Jawa, dan Madura. Hasil karyanya ini memang tidak pernah diterbitkan, sebagaimana dikatakan C. L. van den Burg dalam tulisannya tentang kesehatan masyarakat (Gezondheidsleer, Hygiëne) di  dalam Encylopaedie van Nederlandsch-Indië, terbittahun 1897 (Lith, Spaan, dan Fokkens,1897: 578–582).

Van der Stok dalam pemaparannya menyadari bahwa: kalaulah pekerjaan memopulerkan sebuah ilmu pengetahuan higiene yang melibatkan banyak aspek kehidupan sosial dan pribadi sudah sulit, pekerjaan yang sama menjadi dua kali lebih berat ketika kita kemudian harus berurusan dengan penduduk  yang kurang beradab, seperti para pribumi kita, yang moral dan kebiasannya sebagian diatur berdasarkan tradisi (adat) –dan tak ada yang bisa menggoyahkan keyakinannya ini –dan sebagian didasarkan pada hukum dan aturan sebuah agama yang menyebutkan musuh segala sesuatu yang berasal dari orang kafir (Congrès International d’Hygiène et de Démographie, 1884: 285).

Van der Stok kemudian merasa perlu mencari sekutu, terutama di kalangan penduduk yang memiliki pengaruh kuat, seperti pemuka agama, untuk meminimalisir perlawanan dan terutama melawan orang pribumi dengan senjata mereka sendiri. Dan juga “itulah kenapa, saya mempelajari ajaran Islam untuk

mengambil apa-apa yang bisa berguna untuk tujuan saya (dalam kampanye higiene), dan itu, tentu, tanpa mengindahkan maksud utama ajaran dan larangan itu ditujukan”, ungkapnya (Congrès International d’Hygiène et de Démographie,1884: 285). Tantangan utama dalam propaganda higiene di Hindia Belanda menurutnya adalah fakta bahwa sebagian besar masyarakatnya bersikap fatalis, pasrah menerima apa-apa yang menimpa mereka. Ini tentu sangat bertentangan yang  gagasan higiene yang mengandaikan serangkaian tindakan rasional sebagai upaya untuk menjauhkan diri dari penyakit.

Meskipun demikian, Van der Stok  menemukan bahwa di dalam Islam terdapat konsep “ihtijar”.

Inilah pintu masuk  yang paling tepat, sebab dalam konsep ini terdapat penekanan terhadap  pentingnya upaya menjaga kesehatan dan memanjangkan umur, dan, terutama, sikap pengabaian terhadap kesehatan, menurutnya, bisa dimaknai sebagai laku bunuh diri. Dengan pemahaman ini ungkapan umum kaum pribumi yang sering mengatakan “biarkan kami; apa yang terjadi semuanya telah tertulis!”, bisa dibantah.

Pidato Van der Stok dalam kongres tersebut harus dilihat dalam kaitannya  dengan perkembangan pemikiran higiene di abad ke-19 yang selalu dikaitkan dengan pembentukan masyarakat yang produktif di Eropa. Pemerintah kolonial yang bersandar pada kesehatan masyarakat jajahannya sebagai penjamin produktifitas negara pun menjadikan higiene sebagai agenda politik yang sangat penting di akhir abad ke-19. Upaya meningkatkan kesehatan para pekerja perkebunan di Deli yang diprakarsai oleh Schüffner melalui serangkaian program higiene di perkebunan merupakan salah satu bukti dari itu (Schüffner dan Kuenen,1910). Selain itu, upaya memerangi penyakit tropis juga dilakukan dengan lebih terarah dengan berdirinya Geneeskundig Laboratorium te Weltevredentahun 1888.

Kesadaran akan pentingnya menjamin kesehatan penduduk sebagai syarat kekuatan suatu negara bisa ditelusuri sampai abad ke 17. Pada tahun 1668, misalnya, Joachim Becher, seorang dokter Jerman yang juga merupakan ahli kimia dan pemikir politik, menerbitkan sebuah tulisan tentang bangkit dan runtuhnya sebuah kota dan negara yang dihubungkan dengan keberadaan jumlah penduduknya. Ini merupakan karya-karya awal terkait tema ini.

Sementara itu, penerbitan karya monumental Johann Peter Frank (1745-1821) System einer vollständigen medicinischen Polizei pada tahun 1779 merupakan puncak dari itu. Fondasi dasar pemikiran karya ini adalah sebuah ide yang menyebutkan bahwa  jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhannya yang berkelanjutan merupakan perwujudan dari suatu negara yang kuat. Persoalan penduduk ini mendapat pembenaran dalam kerangka politik, ekonomi, dan kekuatan militer. Jumlah penduduk yang banyak, misalnya, sinonim dengan jumlah produksi yang tinggi. Yang terakhir ini merupakan representasi dari kekayaan suatu negara.

Selain itu, jumlah penduduk yang banyak juga menyiratkan pertahanan militer yang kuat. Pemikiran yang umum pada abad ke-18 dan 19 ini bersandar pada ideologi merkantilisme, yakni sebuah sistem yang meletakkan kehidupan sosial dan ekonomi untuk kekuasaan politik dan negara.

Demikian, apa yang  dibutuhkan oleh seorang penguasa adalah, pertama, jumlah penduduk yang banyak; kedua, jumlah yang banyak itu harus dipersiapkan dalam kerangka  pemenuhan kebutuhan materi ; dan, ketiga, bahwa penduduk yang banyak itu harus selalu berada di bawah kendali pemerintah supaya selalu bisa dipergunakan untuk kebijakan publik dalam bentuk apapun yang diperlukan.

Dalam kerangka ideologi merkantilis yang pada prakteknya mendapat perbedaan penekanan di tempat dan waktu berbeda, satu hal yang selalu sama: perhatian yang serius terhadap masalah kesehatan memberi jaminan terhadap kemaslahatan masyarakat mewujud dalam program higiene. Sebab, ia melingkupi seluruh aspek kehidupan manusia yang tujuan utamanya adalah menjamin kesehatan masyarakat secara keseluruhan.

Itulah kenapa pembahasan terkait hal ini tidak pernah bisa dilepaskan dari percakapan tentang negara. Wujud dari seriusnya perhatian negara terkait persoalan ini adalah pertemuan rutin para dokter perwakilan negara untuk membahas persoalan higiene dalam acara yang dinamai Congres International d’Hygiène et de Demographie.

Dalam kongres kelima yang diselenggarakan di Den Haag tahun 1883, W. H. de Beauort, sang ketua kongres, dengan jelas menyampaikan bahwa praktek higiene tidak bisa dipisahkan dari negara. Kekuasaan negara untuk memastikan penerapan prinsip higiene sangat diperlukan sebab hal ini terkait dengan kemaslahatan masyarakat secara umum. Ia juga memberi penekanan terhadap kenyataan bahwa saat ini dokter tidak lagi bekerja untuk mengobati si sakit, tapi juga mencegah datangnya penyakit itu sendiri. “Para dokter di masa kini, tidak puas hanya dengan kesehatan para karibnya, tapi juga kesehatan umat manusia secara keseluruhan. Mereka tidak puas menyembuhkan si sakit, tapi berusaha menghilangkan penyakit itu sendiri”, ungkapnya (Congrès International d’Hygiène et de Démographie,1884: 51).

Pernyataan De Beaufort ini cukup  mewakili apa yang ada di pikiran para dokter yang sangat percaya bahwa dengan kemampuan ilmu pengetahuan bisa membuat kehidupan lebih baik. Demikian, dalam konteks seperti ini, pidato Van der Stok menjadi mudah dipahami. Tapi, apa yang ia pelajari dari Islam sehingga bisa berkesimpulan bahwa ajarannya bersesuai dengan prinsip higiene?

Pada akhir abad ke-19, Lodewijk Christiaan van den Berg (1845-1927), seorang ahli Islam yang juga pernah menjabat sebagai penasihat hukum Islam untuk negara jajahan pada tahun 1878, mengadakan sebuah survey terkait buku-buku apa saja yang dipakai sebagai bahan ajar di pesantren-pesantren Jawa dan Madura.

Dalam artikel yang terbit tahun 1886 ia menyebutkan bahwa para santri memulai studinya dengan mempelajari kitab-kitab seperti Safina Al-Najah, Sullam Al-Taufiqu, Al-Sittin Mas’alah, Minhaj Al-Qawim, Fath Al-Qarib, dan Fath Al-Mu’in, untuk menyebut beberapa sebagai  contoh. Kitab-kitab fiqh itu umumnya memulai pembahasan dengan persoalan al-thaharah (kebersihan, higiene), diikuti dengan bab al-salat, bab al-zakat, bab al-shiyam dan bab al-haj wa al-‘umrah.

Beberapa kitab, bahkan hanya membahas lima persoalan ini, walaupun kitab-kitab lainnya ada juga yang merambah ke pembahasan mengenai kehidupan sosial secara umum. Dengan susunan pembahasan seperti itu, persoalan bersuci mendapat tempat  yang paling penting; ia menjadi dasar dari ritual ibadah yang lain.

Bersuci di sini tentu saja terkait dengan aktifitas fisik, mulai dari praktek berwudlu sampai dengan mandi. Van der Stok yang melakukan studi tentang Islam pada periode yang sama juga dengan mudah menemukan kesesuaian ajaran Islam yang mendukung kampanye higiene. Kenyataan bahwa sebagian besar penduduk pribumi tidak bersih, tidak memiliki kebiasaan membersihkan badan, pakaian, dan perangkat lainnya, menurut sang dokter, cukup menunjukan betapa mereka kurang memahami ajaran-ajaran agamanya yang sangat memberi penekanan terhadap pentingnya menjaga kesehatan dengan mempraktekkan hidup bersih.

“Demikian, mencuci anus setelah buang air besar (arab: istindja; melayu: tjebok), atau, ketika tidak ada air –misal ketika di gurun –membersihkan anus dilakukan dengan menggunakan pasir (arab: tajammom) merupakan perintah yang wajib oleh Al-Quran”, ujarnya.

Van der Stok paham betul bahwa sebagian besar pribumi yang taat sebetulnya mengamalkan semua ritual keagamaan yang berkaitan dengan kebersihan ini. Hanya saja apa yang mereka lakukan tidak disertai dengan kesadaran akan membersihkan diri dalam kerangka higiene; mereka melihat  praktek itu hanya sebatas serangkaian formalitas keagamaan. Sudut pandang sang dokter tentu saja tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Sebab, ia berbicara  higiene dengan standard eropa yang kemudian dipakai untuk menilai kebiasaan orang-orang pribumi.

Sudut pandang ini tentu menyiratkan banyak prasangka kolonial. Demikian, karena anggapannya tadilah, peran pendidikan populer terkait higiene menjadi sangat utama, untuk memberi pemahaman terkait aspek kesehatan dari serangkaian ritual keagamaan ini. Sang dokter kemudian memberi contoh soal genangan air yang tersengat sinar matahari.

Menurutnya ini adalah jenis air yang tidak baik untuk dikonsumsi karena kondisi air seperti itu sangat mudah mengembangkan senyawa organik yang berbahaya bagi tubuh. Ajaran Islam pun melarang penggunaan air yang seperti itu. Penggunaan air sungai juga perlu diperhatikan.

Pada dasarnya memang air sungai itu bisa dikonsumsi. Tapi kenyataan bahwa sebagian besar warga pribumi membersihkan tubuhnya di sungai, dan seringkali mereka juga membuang kotoran ke dalamnya, maka penggunaan air sungai pun harus lebih hati-hati. Terakhir, masih terkait air, ketika terjadi epidemi, kolam air tempat wudlu (arab: midhaät), menjadi tempat yang berbahaya. Penggunaan satu kolam oleh orang banyak sangat memudahkan penyebaran suatu penyakit.

Selain itu berkumpulnya orang di masjid dalam satu waktu pun dianggap cukup berisiko dalam penyebaran penyakit terutama ketika wabah epidemi muncul.

Hal-hal inilah yang menurut Van Der Stok perlu diperhatikan terkait penyadaran pentingnya higiene di kalangan warga pribumi.Selain kesehatan tubuh, menurutnya, Islam juga memberi perhatian terhadap

kesehatan sosial. Penyalahgunaan opium merupakan kanker sosial yang cukup menyebar di Timur. Ini, menurutnya, merupakan ancaman terhadap masyarakat Eropa, sebab kebiasaan buruk ini bisa memberi dampak negatif.

Ajaran Islam, menurut sang dokter, dengan jelas melarang konsumsi substansi yang bisa membuat seseorang kehilangan kesadaran, seperti alkohol dan opium misalnya. Hanya saja, seperti diakuinya, sekalipun larangan ini cukup tegas, mereka tidak menghiraukan. Itulah kenapa kebiasaan buruk ini masih cukup menyebar. Tapi dengan menggunakan dasar agama, ditambah dengan penjelasan

kesehatan, ia yakin bahwa kampanye higiene terkait permasalahan ini bisa lebih efektif.

Dari seluruh pemaparan terkait Islam dan higiene, ada satu yang tampaknya tidak menjadi perhatian Van der Stok: praktek sunat dan penyakit kelamin. Dalam perdebatan untuk mencegah penyebaran penyakit ini, praktek sunat merupakan salah satu yang sering dibahas. Setidaknya itulah yang terjadi di Hindia Belanda sejak akhir abad ke- 19. Kenyataan bahwa sedikit dari mereka yang melakukan praktek sunat tertular penyakit kelamin membuat sebagian dokter percaya bahwa kebiasaan ini merupakan jalan keluar dari ancaman penyakit kelamin.

Bastiaan Marinus van Driel (1885-1939) menulis di tahun 1914vbahwa penis yang terinfeksi sifilis, selalu dikaitkan dengan keberadaan kulup. Demikian, praktek sunat pun menurutnya merupakan sebuah upaya  untuk mencegah penyebaran penyakit ini.

Tulisan Van Driel ini kemudian mendapat tanggapan dari A. E. Sietsen tiga tahun kemudian. Dalam artikelnya, Sietsen berpendapat bahwa bisa jadi praktek sunat merupakan cara untuk mencegah penyebaran penyakit kelamin. Hanya saja, menurutnya, mengatakan bahwa penyakit kelamin kurang menyebar di kalangan pribumi merupakan pernyataan yang kurang bisa dibuktikan.

Menanggapi kritik ini, Van Driel juga mengakui bahwa tidak semua pribumi yang disunat terhindar dari penyakit kelamin; ia menemukan bahwa penularan juga

terjadi di antara mereka yang melakukan praktek sunat. Itulah kenapa ia pun merasa perlu untuk melakukan pengujian ulang, dan berharap ada orang lain  yang melakukan kajian komprehensif terkait permasalahan ini.

Van den Burg juga pernah menyinggung permasalahan ini dalam karya monumentalnya De Geneesheer in Nederlandsch -Indië, jilid 2, ketika sedang mengulas penyakit kelamin. Ia menemukan kenyataan bahwa orang pribumi lebih sedikit tertular penyakit kelamin dibandingkan orang-orang Eropa.

Di lingkungan militer, hal itu bisa dijelaskan dengan fakta bahwa serdadu pribumi terkadang tinggal bersama istrinya, yang membuat mereka lebih sedikit berkunjung ke tempat pelacuran. Selain itu, lebih sedikitnya orang pribumi tertular penyakit kelamin juga merupakan buah dari adanya praktek sunat di kalangan para laki-laki dan perempuan mereka.

“Sebagai penganut muslim para lelaki dan perempuannya disunat. Buat para laki-laki, praktek ini, yang membuat penis terbuka, tidak lagi tertutup oleh kulup, menjadikan mereka lebih kecil

kans-nya tertular”, tulisnya, menunjukan betapa dia melihat pengaruh ajaran Islam dalam pencegahan penularan penyakit kelamin.

Van den Burg tentu saja paham soal Islam sebagai agama yang doktrinnya bisa dimanfaatkan untuk pencegahan penularan penyakit kelamin. Iamengetahui dan memahami pidato Van der Stok di kongres internasional di Den Haag tahun 1883. Ia memulai uraian tentang Gezondheidsleer (kesehatan masyarakat) di dalam  Encylopaedie van Nederlandsch-Indië yang terbit tahun 1897 dengan

memberi pemaparan terkait pidato Van Der Stok.

Hanya saja, dalam uraiannya  ini, ia tidak sedikit pun menyinggung persoalan praktek sunat di kalangan  penganut Islam dalam kaitannya dengan pencegahan penyebaran penyakit kelamin.

Memang praktek sunat tidak melulu dikaitkan dengan ritual dalam Islam. Schrieke menunjukan bahwa praktik ini juga dilakukan oleh suku bangsa yang ada di Hindia Belanda sebagai ritual memasuki masa puber seorang anak laki-laki. “Demikian, kami melihat bahwa pada periode ini penis dianggap sebagai

objek yang sangat berbahaya. Teknik psikis (psychical technics) masyarakat primitif, karenanya, berupaya untuk menetralisir efek jahat darinya”, tulisnya.

Pernyataan ini menunjukan bahwa ada bagian dalam organ seksual laki-laki yang dianggap sebagai bahaya. Selain itu, praktek sunat juga dianggap sebagai penangkal bahaya yang akan muncul ketika seorang anak laki-laki menjadi dewasa. Demikian, penis dipandang sebagai sumber bahaya dan “demikian kami melihat bahwa sunat merupakan salah satu dari praktek memutilasi bagian tubuh yang dilakukan oleh masyarakat primitif untuk melawan pengaruh jahat yang muncul pada saat memasuki masa puber.

Schrieke memandang praktek ini sebagai psychical technics, yaitu upaya untuk menjauhkan bahaya dengan mencari ketenangan psikis melalui praktek-praktek yang sebetulnya tidak memiliki hubungan kausalitas. Praktek sunat tidak menjadi  sebab hilangnya bahaya di masa puberitas, tapi itu dianggap memberi ketenangan seolah sudah mendapatpenangkal bahaya.

Meskipun demikian, ia juga melihat efek positif dari praktek sunat, sesuatu yang bisa jadi tidak dilihat

oleh suku bangsa yang mempraktekannya: bahwa sunat berguna untuk kepentingan higiene tubuh. “Ketika mentalitas tidak lagi diatur oleh cara berpikir asosiatif dan hubungan sebab akibat sudah mulai dipahami, maka sainsbisa menentukan bahwa pada kondisi tetentu sunat harus dipraktekan sebagai

sebuah upaya penerapan aturan higiene”, ungkapnya. Ia juga menambahkan, “jadi teknik psikis (psychical technics) bisa kemudian berubah menjadi teknik saintifik (scientific technics) jika dipandu oleh pengetahuan yang didasarkan pada  pengalaman dan eksperimen”.

Dengan merujuk kepada apa yang ditulis oleh Schrieke, praktek sunat memang tidak selalu berkaitan dengan ajaran Islam. Kenyataan ini membuat kita  bisa memahami dengan mudah kenapa uraian terkait hal ini absen dalam pidato Van Der Stok. Meskipun demikian, karena praktek sunat sudah terlanjur  diidentikkan dengan ritual keagamaan, maka agama Islam pun lagi-

lagi dilihat sebagai dasar argumen pendukung propaganda higiene.

Setidaknya itulah yang bisa dibaca dari artikel Ahmad Ramali, “Bijdrage tot de Medisch-Hygiënische Propaganda in eenige Islamitische streek”, yang akan dibahas pada bagian berikut, dengan meletakkannya dalam konteks lebih luas di tahun 1930-an sebagai tahun ketika propaganda higiene sedang intensif diterapkan.

--------------------

* Gani A. Djaelani, Ph.D, adalah pengajar di Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran. Menyelesaikan program doktor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris, dengan dissertasi berjudul La question de l'hygiène aux Indes-Néerlandaises: les enjeux médicaux , culturels et sociaux (1830-1942) (Perihal Kebersihan di Hindia Belanda: permasalahan medis, budaya, dan sosial (1830-1942)), ia memiliki minât penelitian terkait sejarah Indonesia abad ke XIX dan awal abad ke XX dengan spesialisasi ilmu pengetahuan, kedokteran dan teknologi. Bukunya yang telah terbit adalah Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942 (Syabas books: 2013).

 
Berita Terpopuler