Bank Syariah vs Fintech Syariah: Teman atau Lawan?

Bank Syariah sering dikatakan akan habis diterjang oleh Fintech Syariah, Benarkah?

Istimewa
Yaser T Syamlan, Dosen IAI Tazkia dan Pemerhati Bank Syariah
Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID --- Oleh Yaser Taufik Syamlan, Direktur Pusat Studi Fintech Syariah Tazkia/Dosen D3 Manajemen Keuangan Mikro Syaraiah IAI Tazkia

Bank Syariah sering kali dikatakan akan habis diterjang oleh Fintech Syariah. Sejak Kemunculan Fintech Syariah di tahun 2014-an, secara perfoma keuangan,  berdasarkan data dari OJK, bank syariah masih dalam kondisi stabil dan bertumbuh. 

Return on Asset (ROA) Bank Umum Syariah sejak tahun 2016 sd 2019 tercatat naik dari 0.63% di 2016 ke level 1.73% di tahun 2019. Pada Unit Usaha Syariah (UUS), ROA juga tercatat stabil di 1.77% di tahun 2016 sampai dengan 2.04% di tahun 2019. 

Lantas, kedua Lembaga Keuangan Syariah ini (LKS) ini menjadi teman atau lawan? Mari Kita bedah terlebih dahulu beberapa perbedaan karakteristik nya. 

Yang pertama, ada 2 konsep keuangan yang berbeda yaitu intermediasi dan disintermediasi. Konsep intermediasi bermakna adanya middleman antara pihak surplus unit (penabung) dan defisit unit (penerima pembiayaan). 

Sebaliknya dalam konsep disintermediasi surplus unit mempunyai hak mutlak untuk memilih mana defisit unit yang akan mereka berikan dana pembiayaan. 

Dalam hal ini, sistem intermediasi sudah melekat di bank syariah dan bank secara umum sesuai dengan mengingat bahwa UU Perbankan Tahun 1998 menyatakan fungsi bank sebagai penghimpun dana masyarakat untuk kemudian disalurkan ke deficit unit. 

Di sisi lain, Sesuai dgn POJK 77 tahun 2016, Fintech secara khusus P2P Syariah malah mempertemukan investor dan pemilik usaha via platform yang mereka buat. 

Perbedaan kedua terletak di pengelolaan dana yang masuk. Bank Syariah menawarkan produk giro, tabungan, dan deposito dengan tenor jangka pendek. 

Dana dari produk tersebut di gabungkan dalam satu portofolio untuk kemudian disalurkan ke pembiayaan jangka panjang. Rata-rata produk pendanaan bank ber tenor di bawah 1 tahun untuk kemudian disalurkan ke pembiayaan diatas 1 tahun. 

Dalam arti kata lain, terjadi ketidaksesuaian jangka waktu antara sisi pendanaan dan pembiayaan. 

Di sisi Fintech Syariah khususnya di P2P financing, investor yang menempatkan dana di satu usaha, tidak dapat menarik dananya sebelum proyek ini selesai. Artinya, terjadi kesesuaian antara jangka waktu pendanaan dan pembiayaan. 

Ketiga, dari kepastian pemberian pembiayaan kepada Deficit Unit. Bank Syariah yang dalam hal ini menjadi Mudharib (Pengusaha) yang mengelola dana dari Penabung/Surplus Unit (shahibul Maal)  akan melakukan analisa Pembiayaan sesuai SOP berlaku. 

Setelah disetujui oleh pihak bank dan setelah akad ditandatangani, bank wajib mencairkan dana kepada Debitur. Disisi lain, pada P2P financing, yang dalam hal ini bertindak sebagai penyedia platform dan analis pembiayaan, setelah pengajuan dinyatakan layak, pengusaha tersebut kemudian di upload informasinya di platform dan proses kampanye untuk penggalangan dan di mulai selama 30 hari. 

Apabila jumlah yang dibutuhkan tidak terpenuhi, maka pengajuan pengusaha tersebut batal. Dan sebaliknya, apabila terpenuhi kebutuhan pengusaha ini, dana akan disalurkan langsung dari surplus unit ke deficit unit. 

Perbedaan keempat, ketika nasabah menabung di Bank Syariah, simpanan mereka akan dijamin oleh Lembaga Penjaminan Simpanan, bagi simpanan yang berjumlah dibawah 2 miliar. 

Di Fintech Syariah, tidak ada penjaminan simpanan dan semua risiko atas pembiayaan ini ditanggung seluruhnya oleh investor. 

Perbedaan terakhir antara kedua LKS ini adalah dari sisi pembagian keuntungan. 

Bank Syariah menggunakan konsep Net Revenue Sharing. Konsep yang digunakan ini merujuk kepada Fatwa DSN nomor 15 tentang Bagi Hasil di mana nasabah dan bank syariah berbagi hasil dari pendapatan pembiayaan, bukan dari keuntungan bersih setelah dikurangi semua biaya seperti biaya tenaga kerja, OHC, dan biaya marketing. 

Metode ini memberikan keuntungan lebih kepada Penabung, kenapa? Sepanjang bank syariah mencatatkan pendapatan, bagi hasil ke nasabah insya Allah terus dibayarkan. 

P2P Syariah di sisi lain, pembagian hasil khususnya di akad Kerjasama (Musyarakah)  sangat bergantung pada kesuksesan bisnis pemilik proyek. Ketika bisnis gagal, bagi hasil tidak akan ada.

Kembali ke topik tulisan ini, kedua LKS ini teman atau lawan?

Kedua LKS ini bersimbiosis mutualisme karena Fintech Syariah sudah pasti membuka rekening di Bank Syariah untuk keperluan Operasional mereka. Disi lain, para Surplus dan Defisit unit di Fintech juga wajib mempunyai rekening di bank sebelum bertransaksi.

Pertemanan bisnis akan lebih erat mengingat adanya pembatasan jumlah pembiayaan yang dapat diberikan fintech syariah. POJK 77 menyatakan bahwa maksimal pembiayaan fintech syariah adalah Rp 2 miliar. Maknanya pengajuan di atas 2 miliar dapat dilimpahkan ke dr fintech Syariah ke Bank Syariah. 

 

Sebaliknya, ketika ada pengajuan yang tidak sesuai dengan skala Ekonomi pebankan, dapat dilimpahkan ke Fintech Syariah. Tentunya perpindahan Debitur ini tidak gratis, masing masing pihak dapat meminta brokerage fee jika disepakati. 

Skema supplier financing juga bisa dilakukan. Sebagai contoh, Kontraktor A yang menjadi Debitur (Penerima Pembiayaan) bank syariah menunjuk Kontraktor B yang menjadi client Fintech Syariah. 

Fintech Syariah kemudian membiayai kebutuhan Kontraktor B dalam rangka memenuhi kontrak dengan Kontraktor A. Setelah proyek selesai, Kontraktor B melakukan serah terima proyek kepada partner bisnisnya. 

Fasilitas pembiayaan yang diterima dari P2P Financing Syariah akan dibayar oleh Debitur bank syariah (Kontraktor À) melalui pencairan pembiayaan dari Bank Syariah. 

Skema kerjasama lainnya antara kedua LKS ini juga dapat dilakukan dalam kasus lain. Seperti contoh di bisnis property yang kabarnya sudah berjalan skema ini. Dikisahkan, bank syariah akan membiayai pengajuan pembiayaan hunian syariah dengan akad jual beli kepada Debitur Perserorangan. 

Dalam akad jual beli yang disebut juga Murabaha, Bank diwajibkan terlebih dahulu memiliki barang (baik secara hukum ataupun sekaligus fisik). 

Pola kerja sama dimulai dengan P2P Financing Syariah membiayai developer dari mulai pembelian material seperti bata ringan, semen dan keperluan lain termasuk misalnya membiayai ongkos tukang dengan akad Isthisna (pemesanan asset). 

Developer kemudian membangun rumah tersebut sampai dengan rampung. Setelah selesai, rumah tersebut kemudian dibeli oleh Bank Syariah dengan harga sesuai kesepakatan. Dana pembayaran dari bank syariah pada akhirnya digunakan untuk melunasi pembiayaan developer via P2P Financing Syariah. 

Bank syariah kemudian dapat melanjutkan transaksi Murabaha mereka kepada Debitur Perorangan tadi dengan memberi tahu harga beli dari developer, mendeklarasikan keuntungan yang diterima sehingga harga jual kepada debitur dapat diketahui dengan jelas. 

Sebagai penutup, setiap LKS dibentuk dengan tujuan berbeda. Dan semangat kolaborasi lah yang akan membuat industri keuangan syariah menjadi besar. Wallahuallam. 

 
Berita Terpopuler