Qahal, Nasi Kucing, Nasi Anjing, Nuk: Beragama Penuh Ceria?

Umat Islam butuh konsumsi makanan halalan dan thayiban.

Dr Iswandi Syahputra
Bungkusan
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika

Dalam dua hari terakhir ada kekisruhan yang membuat sebagian Muslim emosi. Hal itu adalah beredarnya kabar dan foto di media sosial tentang bantuan nasi yang memakai kata yang tidak senonoh: nasi anjing.

Terlihat di media sosial banyak orang yang emosi, Aaalagi setelah tahu komunitas yang mengedarkan bantuan "nasi anjing" itu adalah komuninas Qahal. Ini menandakan komunitas itu bukan orang yang tak tahu atau paham pengaruh sebutan atas nama "nasi anjing" itu.

Seorang sahabat yang tinggal di Turki, misalnya, meski memahami ada perbedaan mahzab soal status anjing dalam ajaran Islam, dia tetap mengatakan sebutan yang "tak tahu diri" dan menyakiti orang Islam. Kebetulan komunitas di Warakas, Jakarta Utara, adalah komunitas lemah dan beragama Islam.

"Beda dengan Turki yang bermahzab Hanafi yang masih menoleransi soal anjing, di Indonesia sebutan ini sungguh bermasalah," katanya. Ia pun kemudian bersyukur setelah diberi tahu polisi sudah mengambil tindakan dan pelakunya meminta maaf.

Bila membuka laman Wikipedia kata qahal jelas bukan main-main dan bila digunakan jelas  ada maksud atau makna tersirat. Qahal adalah: The qahal (Hebrew: קהל) was a theocratic organizational structure in ancient Israelite society according to the Hebrew Bible.[1] In later centuries, Qahal was the name of the autonomous governments of Ashkenazi Jews until being abolished in the 1840s  (Qahal (bahasa Ibrani: קהל) adalah struktur organisasi teokratis dalam masyarakat Israel kuno menurut Alkitab Ibrani. Pada abad-abad berikutnya, Qahal adalah nama pemerintahan otonom Yahudi Ashkenazi sampai dihapuskan pada tahun 1840-an).

Jadi, entah apa yang dibayangkan bila kemudian ada yang mencari dan menghubungkan Qahal dengan kerumitan yang hadir belakangan ini. Guru besar ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga bahkan menyebut soal sebutan "nasi anjing" pihak yang menyebut sebagai komunitas Qahal adalah orang yang tidak sensitif dalam beragama. “Beragamalah dengan damai, ceria, tertib, dan saling menghargai.”

"Soal rasa beragama ini juga terjadi pada saudara kita Hindu di India (bahkan di Bali). Untuk menjaga rasa beragama yang damai, ulama Islam di India mengimbau umat Muslim tidak menyembelih sapi sebagai hewan kurban. Ini karena sapi adalah hewan suci bagi keyakinan tertentu. Rasa beragama ini harus dijaga bersama. Agama tanpa rasa akan sirna dan hampa," katanya.

Dia juga mengatakan, membandingkan sebutan dalam bungkusan yang lebih kecil sebagai ‘nasi kucing’ dengan  nasi bungkus yang lebih besar sebagai ‘nasi anjing’ jelas bermasalah. Sebab, bagi orang Indonesia–apalagi umat Muslim–sebutan dengan memakai 'anjing' adalah masalah dan peyoratif. Sebab, kata ini identik dengan kata yang tidak senonoh, kasar, dan brutal.
             

                          *****

Terkait soal nasi yang dibungkus beberapa silam ada tulisan yang ciamik dari wartawan Republika yang alumni Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Abdullah Sammy. Dia menulis begini:

Sampai saat ini kontroversi mengenai siapa penemu nasi bungkus masih menjadi misteri besar dalam sejarah dunia. Konon makanan berbahan nasi bungkus bermula dari penemuan bacang.

Bacang adalah salah satu makanan tertua dengan bahan dasar beras ketan yang diisi sayuran dan cang alias daging. Bahan dasar ini dibungkus daun. Bacang atau ba tzang sejatinya merupakan makanan yang berasal dari Cina. Oleh masyarakat Cina makanan ini lebih akrab disebut zongzi.

Dikutip artikel "The Legend of Zongzi" yang ditulis oleh Cyntia Dhea, makanan ini sudah ada sejak 278 sebelum Masehi pada era Kerajaan Chu (kini Provinsi Hubei).

Cerita bermula saat penyair termasyhur Negeri Chu, Qu Yuan, memutuskan bunuh diri dengan terjun ke Sungai Miluo. Yuan bunuh diri setelah ibu kota Chu direbut oleh negari musuhnya, Qin. Sebelum bunuh diri, Yuan sempat menuliskan sebuah puisi berjudul "Meratapi Ying (Ai Ying)".

Berikut beberapa penggalan puisi itu:

Tidak adil, jalan kerajaan menuju surga.

Kebanyakan terkejut dan terus berusaha.

Masyarakat terpisah, terpecah, dan tersesat.

Begitu penggalan puisi Qu Yuan yang putus asa melihat tanah kelahirannya dirampok oleh penjajah. Puisi yang dibacakan Yuan sebelum bunuh diri.

Aksi bunuh diri Yuan tak bisa dicegah sekalipun banyak masyarakat yang menyaksikannya. Nelayan Kota Chu bahkan tak mampu menemukan jasad sang penyair. Guna menghormati jasad Yuan yang tewas tenggelam, nelayan-nelayan Chu lantas melemparkan nasi yang dibungkus dengan daun. Tujuannya agar ikan tak memakan jasad sang penyair, tetapi memakan bungkusan nasi tersebut.

Nasi berbungkus daun itulah yang kini dikenal dengan zongzi alias bacang. Hingga kini, tewasnya Qu Yuan dan tradisi melempar bacang ke sungai tetap diperingati di seluruh dunia setiap tanggal lima bulan lima di tahun Cina.

Pada sisi lain, bacang tetap bertahan dan menyebar ke seluruh dunia. Bacang boleh dikatakan menjadi tonggak makanan nasi/beras berbungkus di dunia. Kini jenis makanan bungkus beraneka ragamnya. Ada makanan yang prosesnya dibungkus sejak awal. Ada pula makanan yang bungkusnya hanya sekadar wadah. Tak hanya dibungkus daun, kini banyak pula makanan yang dibungkus wadah kraft hingga koran.

Di Indonesia, makanan berbungkus juga menjadi primadona. Yang paling utama adalah nasi bungkus. Ada nasi padang, rames, maupun nasi warteg yang kerap dibungkus dengan kertas kraft beralas daun pisang.

Banyak yang mengakui, sensasi makan nasi bungkus berbeda dibandingkan makan langsung di atas piring. Selain porsinya lebih besar, konon rasanya kebih sedap karena aroma serta bumbunya tercampur jadi satu dan meresap dengan nasi. Nasi bungkus pun jadi obat mujarab bagi perut-perut yang lapar. Lapar adalah masalah serius yang perlu diobati.

Ingat, efek dari lapar bisa berujung sakit pada gangguan fisik dan psikologi. Bisa pula berdampak sosiologis. Konon, orang lebih galak saat perutnya lapar. Tak heran ada adagium "revolusi terjadi saat perut lapar". Revolusi memang terjadi saat perut lapar.

Namun, bukan dengan perut kosong. Pemimpin besar revolusi Cina, Mau Zedong, pernah mengatakan, "Revolusi tak bisa dihasilkan dari meja makan."

Beruntung ada nasi bungkus yang menunjang pegiat revolusi dari godaan "kekenyangan di atas meja".
              

  

                          *****

Di Indonesia, kesejarahan nasi bungkus ternyata punya peran unik dalam kegiatan masyarakat, terutama politik. Dalam hajatan besar, seperti kampanye politik dan aksi demonstrasi, ada peran dari bungkusan nasi itu. Nasi bungkus pun punya bagian dalam sejarah reformasi 1998, terutama saat mahasiswa menduduki gedung DPR pada 18 Mei 1998. Kiriman nasi bungkus kala itu sangat banyak. Bahkan, saking berlimpahnya, tumpukkan nasi menyerupai gundukkan bukit. Letak gundukan itu berada di lapangan arah pintu ke luar kompleks parlemen dari arah belakang.

Bahkan, di kawasan Yogyakarta dan Jawa Tengah, dahulu semasa perang kemerdekaan ada kemasan nasi bungkus yang dikenal dengan sebutan 'nuk'. Santapan ini dibuat secara sukarela oleh rakyat dan kemudian dibagikan kepada para pejuang. Menunya sederhana, hanya nasi dan tempe serta gudangan (sayuran yang diurap mirip gado-gado/pecel). Kalaupun ada lauk ayam, itu pun dagingnya hanya siwiran (cuilan) saja.

Saat itu akses makanan memang begitu sulit. Sentra yang menjajakan makanan umumnya tutup akibat perang. Secara tak langsung, ada blokade makanan yang tujuannya ingin membuat gerilyawan keluar untuk mencari makanan.

Namun, di sinilah peran vital nasi bungkus. Sama dengan masa perang kemerdekaan hingga masa pendudukan gedung DPR pada masa reformasi itu, banyak rakyat dan sukarelawan tak henti menyuplai logistik nasi bungkus. Akibatnya, pada masa perang kemerdekaan para pejuang dahulu tidak kelaparan dan aman dalam perlindungan rayat, sedangkan pada masa pelengseran Soeharto, berkat nasi bungkus, mahasiswa tetap mendapat "amunisi tenaga" untuk terus beraksi.

Jadi, kalau sekarang ingin menyumbang makanan dan merasa risi dengan sebutan ‘nasi kucing’ karena porsinya terlalu kecil, tak usahlah pakai nama ‘nasi anjing’. Ini jelas akan sangat sensitif, bahkan bila sang penerima seorang Muslim, dia bisa merasa terhina seolah sosok insan tak berharga.

Lebih baik pakai saja istilah lagi ‘nasi nuk’ seperti pada masa perjuangan kemerdekaan dahulu. Bukankah kita semua hari-hari ini tengah berjuang melawan pandemi corona? Maka bijaklah memakai istilah.

Ingat, Islam mengajarkan bahwa makanan tidak saja harus halal dan menyehatkan, tetapi berikut sejak bahan pun hingga pengemasannya harus elegan atau baik. Dalam hal ini ada sebutan halalan thyaiban. Maka bijaklah dan berhati-hatilah!

 
Berita Terpopuler