Ajarkan Tarekat Sepulang dari Makkah

Proses perjalanan orang yang melakukan tarekat diawali dengan pengambilan sumpah.

Republika/Rakhmawaty La'lang/ca
Ajarkan Tarekat Sepulang dari Makkah. (Ilustrasi)
Red: Muhammad Fakhruddin

REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri

Setiap pelajar Indonesia yang pulang dari Makkah bisa dipastikan membawa serta tarekat. Mereka sudah mendapatkan ijazah (restu) dari sheikhnya di Makkah untuk mengajarkan tarekat tertentu di Indonesia.

Tarekat berasal dari bahasa Arab at-thariq, artinya jalan yang ditempuh dengan jalan kaki. Menurut istilah tasawuf, tarekat berarti perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan dengan cara menyucikan diri atau perjalanan yang harus ditempuh oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Tuhan.

Sebagai jalan yang ditempuh untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, orang yang melakukan tarekat tidak dibenarkan meninggalkan syariat. Bahkan pelaksanaan tarekat merupakan pelaksanaan syariat agama. Karena itu, melaksanakan tarekat tidak boleh sembarangan. Mereka yang bertarekat harus dibimbing oleh guru yang disebut mursyid (pembimbing) atau syeikh.

Syeikh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya yang melakukan tarekat. Ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyah serta rohaniyah dan pergaulan sehari-hari. Proses perjalanan orang yang melakukan tarekat diawali dengan pengambilan sumpah yang disebut baiat. Yakni, baiat dari murid di hadapan syeikh setelah murid melakukan tobat dari segala maksiat.

Setelah itu, murid menjalani tarekat hingga mencapai kesempurnaan dan dia mendapat ijazah lalu menjadi khalifah (pengganti) sheikh atau mendirikan tarekat lain jika diizinkan. Oleh karena itu dalam tasawuf disepakati bahwa tarekat mempunyai tiga ciri umum, yaitu: syeikh, murid, dan baiat. Sekarang ini jumlah tarekat sudah lebih dari 40 nama. Meskipun namanya sudah bermacam-macam, namun tujuan setiap tarekat tetap sama, yaitu mencapai moral yang mulia.

Tidak terdapat perbedaan prinsipil antara satu tarekat dengan lainnya. Kalau ada perbedaan, itu terletak pada jenis wirid dan zikir serta tata cara pelaksanaannya. Atau dengan kata lain ''wirid yang menentukan karakteristik setiap tarekat''. Ajaran tarekat sudah mulai muncul sejak abad ke-3 dan ke-4 H. Antara lain adalah Tarekat Al-Malamatiyah yang didirikan oleh Hamdun Al-Qashshar, Tarekat Taifuriyah yang mengacu kepada Abu Yazid Al-Bustami, dan Tarekat Al-Khazzaziyyah yang mengacu kepada Abu Said Al-Khazzaz.

Namun, tarekat-tarekat tadi masih dalam bentuk yang amat sederhana dan bersahaja, hanya dipraktekkan secara individual di sana-sini tanpa adanya ikatan satu sama lain. Tarekat berkembang pesat baru pada abad ke-6 dan ke-7 H. Yang pertama kali mendirikan tarekat pada periode itu adalah Syeikh Abdul Qadir Jaelani pada awal abad ke-6 H, dan kemudian disusul oleh tarekat-tarekat lainnya.

Semua tarekat yang berkembang dalam periode ini merupakan kesinambungan tasawuf Sunni Imam Ghazali. Tarekat Syeikh Abdul Qadir Jaelani kini banyak pengikutnya di Indonesia.

 

Di Indonesia, tarekat tumbuh dan berkembang seiring dengan perkembangannya di negara-negara Islam. Tarekat tersebut dibawa oleh para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di Makkah sekitar abad ke-16 sampai ke-19 M. Atau istilah populernya ''From Makkah with Tarekat''. Setiap mereka yang belajar di Makkah dapat dipastikan ketika pulang ke Indonesia membawa serta ijazah (semacam restu--Red) dari sheikhnya (guru tarekat) untuk mengajarkan tarekat tertentu di Indonesia.

Setelah tiba di Tanah Air mereka pun kemudian menjadi sheikh tarekat. Sebagai misal, Hamzah Fansuri adalah sheikh tarekat Qadiriyah, Al-Raniry merupakan sheikh tarekat Rifaiiyah, Abdul Rauf Singkel adalah syeikh tarekat Syattariyah, dan Al-Palembany adalah syeikh tarekat Sammaniyah. Yang tersebut terakhir ini bahkan mengarang buku Sammaniyah. Itu sebabnya ia dianggap orang atau syeikh yang pertama kali memperkenalkan tarekat tersebut di Indonesia.

Selain yang tersebut tadi, di Indonesia masih banyak lagi aliran atau nama tarekat. Ada yang bersifat lokal dalam arti tidak berafiliasi kepada salah satu tarekat populer di negeri lain, seperti tarekat Wahidiyah dan Shiddiqiyah di Jawa Timur, tarekat Syahadatain di Jawa Tengah, dan masih banyak lagi. Tarekat-tarekat yang banyak mendapat simpati dan pengikut di Indonesia, antara lain Tarekat Khalwatiyah, Syatariyah, Qadiriyah, dan Tarekat Alawiyah. Lalu Tarekat Syadziliyah, Rifa'iyah, Idrisiyah, Sanusiyah, Tijaniyah, Naqsyabandiyah.

Naqsyabandiyah mempunyai tiga cabang yang merupakan terbesar di Indonesia, yaitu Naqsyabandiyah Madzhariyah, Naqsyabandiyah, dan Qadiriyah Naqsyabandiyah. Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah merupakan gabungan dua tarekat sekaligus yang dilakukan Syeikh Ahmad Khatib Sambas di Mekah pada 1875 M. Dia yang kemudian berjasa dalam memperkenalkan tarekat ini di Indonesia dan Melayu hingga wafatnya.

Di Makkah ia menjadi guru sebagian besar ulama Indonesia modern (setelah kemerdekaan) hingga mendapatkan ijazah. Setelah kembali ke Indonesia, para ulama itu selain mendirikan pesantren juga sekaligus memimpin tarekat (menjadi sheikh tarekat) dan mengajarkannya kepada masyarakat, sehingga tarekat itu tersebar di berbagai daerah. Di antara ulama adalah Syeikh Nawawi Al-Bantani (wafat 1887 M), Syeikh Khalil Bangkalan (wafat 1918 M), Syeikh Mahfudz Termas (wafat 1923 M), dan Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari yang juga pendiri NU.

Dalam perkembangannya, setelah tarekat menjadi semacam organisasi atau perguruan, kegiatannya pun semakin meluas. Tidak terbatas hanya pada zikir dan wirid atau amalan-amalan tertentu saja, tapi juga pada masalah-masalah lain yang bersifat duniawi. Bahkan ada beberapa kelompok tarekat yang melibatkan diri dalam kegiatan politik. Pengikut Tarekat Sanusiyah melawan penjajah Italia di Libia.

Tarekat Tijaniyah menentang penjajah Prancis di Afrika Utara, Tarekat Safawiyah melahirkan Kerajaan Safawiyah di Persia (Iran), dan Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah mengadakan perlawanan terhadap penjajah Belanda.

 

Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah merupakan tarekat terbesar di Indonesia, baik pengikut maupun pengaruhnya. Tarekat ini mulai memperlihatkan pengaruhnya ketika melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Waktu itu, berdasarkan laporan seorang pengabar Injil di Indonesia, ia mengatakan pemerintah Belanda harus mengarahkan perhatiannya kepada para haji, mereka yang mengenakan pakaian dan kopiah serba putih, serta setia melaksanakan shalat, zikir di masjid, berpegang teguh pada syariat. Mereka itulah para sufi yang perlu diantisipasi. Akibat dari laporan itu, Belanda akhirnya menggunakan politik keras terhadap golongan konservatif yang konsisten terhadap syariat.

Mereka dituduh sebagai ekstremis dan dimasukkan dalam daftar teroris. Yang menambah keyakinan Belanda bahwa kaum sufi adalah teroris adalah pecahnya revolusi di Libia yang dimotori Tarekat Sanusiyah. Hanya dalam beberapa tahun kemudian pecahlah revolusi petani di Banten, Jawa Barat, yang terkenal dengan 'jihad akbar' melawah kafir Belanda. Pemimpin Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah berperan aktif dalam revolusi tersebut.

Beberapa tahun kemudian juga pecah revolusi di Lombok (1891 M) oleh kaum Muslim terhadap penguasa lokal Hindu. Pemberontakan berlangsung tiga tahun dan diakhiri dengan pengiriman kekuatan tambahan ke Lombok dari provinsi lain. Setelah diteliti, diketahui bahwa pemimpin revolusi adalah seorang syeikh Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Pada 1903 juga pecah revolusi di Sidoarjo, Jawa Timur, yang dipimpin Sheikh Hasan Mukmin. Ia mengumumkan perang melawan penjajah Belanda.

Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah ditemukan terlibat di dalamnya karena pemimpinnya adalah murid Syeikh Hasar Tafsir, seorang khalifah tarekat di Jawa. Pemberontakan-pemberontakan tersebut di satu sisi membuat penjajah Belanda semakin bersikap curiga dan hati-hati, bahkan berkelakuan baik terhadap tarekat, namun di sisi lain jumlah pengikut tarekat di Indonesia semakin banyak.

Kalau tarekat sudah tercacat dengan tinta emas dalam perjuangan bangsa Indonesia, kini yang ditunggu bangsa Indonesia adalah peran mereka dalam ikut mengatasi krisis multidimensi yang menimpa bangsa ini. Krisis yang menerpa Indonesia bukan hanya ekonomi, tapi juga akhlak alias perilaku. Untuk yang terakhir ini peran pengamal tarekat sangat diharapkan.

 
Berita Terpopuler