Harapan Muslim di Dunia Hadapi Ramadhan Saat Wabah

Muslim di sejumlah negara berharap Ramadhan seperti sedia kala.

Muslim di sejumlah negara berharap Ramadhan seperti sedia kala. Suasana Maidahrahman di Kairo, Mesir.

Seorang jamaah Muslim menghadiri sholat subuh di sebuah masjid, di Rawalpindi, Pakistan. Selasa, 21 April 2020. Ramadhan dimulai dengan bulan baru akhir pekan ini, umat Islam di seluruh dunia berusaha mencari cara untuk mempertahankan banyak ritual berharga dari bulan paling suci Islam.

Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO – Setiap tahun selama bulan Ramadhan, Masjid Light of Muhammad di Kairo menyiapkan meja panjang di jalan. Di sana, disiapkan makanan gratis bagi orang miskin untuk berbuka puasa setiap hari. Ini adalah amal yang banyak diandalkan di distrik miskin di tepi ibukota Mesir ini. 

Baca Juga

Tapi, kebiasaan itu terlalu berbahaya di masa pandemi Covid-19 ini. Di Mesir dan negara Muslim lainnya, "Maidatur-Rahman/ Meja Welas Asih" seperti ini telah dilarang. 

Masjid di Mesir harus ditutup sebagai tindakan pencegahan terhadap wabah Covid-19. Dana yang masuk ke masjid atau lembaga akan digunakan untuk mendistribusikan makanan kemasan secara gratis dan uang tunai kepada mereka yang membutuhkan. 

"Kami berharap cara ini dapat meringankan penderitaan mereka," kata muazin masjid di distrik Bahtim, Sheikh Abdel-Rahman, dikutip di Y Net News, Rabu (22/4).  

Ketika Ramadhan dimulai, ditandai dengan bulan baru diakhir pekan ini, umat Islam di seluruh dunia berusaha untuk mempertahankan ritual berharga di bulan paling suci Islam, tanpa menyebarkan virus lebih lanjut.   

Umat Muslim saat ini menemukan diri mereka terputus dari banyak hal yang membuat bulan ini menjadi istimewa, ketika pihak berwenang berusaha memerangi pandemi. Banyak negara menutup masjid dan melarang shalat tarawih berjamaah untuk mencegah keramaian.

Ulama terkemuka, termasuk di Arab Saudi, telah mendesak umat Muslim untuk beribadah di rumah.  Pemerintah berusaha menyeimbangkan kebijakan pembatasan berkumpul dengan tradisi.

Lebanon dan Mesir, misalnya, telah melonggarkan jam malam mereka. Pemberlakukan jam malam dimulai pukul 20.00, sekitar satu jam atau 90 menit setelah matahari terbenam.  

Kebijakan itu memberi beberapa kelonggaran untuk acara buka puasa meski tidak banyak. Masyarakat tetap tidak bisa pergi terlalu jauh untuk mengunjungi orang lain untuk makan bersama, kecuali mereka siap untuk menginap.

Negara-negara lain telah melarang perjalanan dalam negeri dalam waktu yang lama. Sementara Suriah melonggarkan larangannya, dan memungkinkan perjalanan antar provinsi selama dua hari seminggu 

Di Malaysia, seorang warga, Mohamad Fadhil, mengatakan dia pasrah akan kehilangan bisnis di pasar Ramadhan. Dia dan penjual lainnya terbiasa menjajakan makanan dan minuman di pasar terbuka yang ramai. Pasar-pasar telah ditutup.  

Meski begitu, dia berharap kebijakan kuncian atau karantina wilayah negara itu akan diringankan, sehingga dia bisa membawa putrinya yang berusia 7 tahun ke rumah. 

Sang putri saat ini berada di rumah orangtuanya, yang berjarak sekitar satu jam jauhnya ketika kebijakan dimulai enam minggu lalu, dan menjebaknya di sana. "Saya harap kita bisa bersama sebagai keluarga selama Ramadhan," katanya. 

Di Indonesia, negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pemerintah telah melarang jutaan pegawai pemerintah, tentara, dan polisi melakukan perjalanan pulang kampung atau mudik selama Idul Fitri. Hari raya ini sebagai penanda akhir Ramadhan.  

"Ketakutan akan virus Covid-19 menghalangi kami untuk merayakan Idul Fitri bersama orang tua saya," kata seorang pegawai negeri di Jakarta, Rachmad Mardiansyah.  

Hilangnya berbagi makanan kepada sesam akan sangat menyakitkan, mengingat banyak orang kehilangan pekerjaan karena kebijakan pembatasan. Beberapa bergegas mengisi kekosongan pangan tersebut.  

 

Di Kashmir, wilayah mayoritas Muslim yang diperebutkan oleh India dan Pakistan, sukarelawan yang mengenakan masker dan sarung tangan menurunkan karung beras, tepung, lentil, dan bahan pokok lainnya untuk Ramadhan di depan pintu bagi mereka yang membutuhkan, di kota Srinigar.  

Mereka mencoba melakukannya dengan tenang, sehingga bahkan tetangga tidak tahu bahwa mereka menerima bantuan. "Kita harus menjaga harga diri orang-orang ini," kata seorang sukarelawan, Sajjad Ahmed.  

Seorang pengkhutbah Muslim terkenal di Rfm, sebuah stasiun radio swasta di ibukota Senegal, Dakar, mengatakan, sementara pemerintah mengambil tindakan, orang kaya juga harus membantu orang miskin. 

"Solidaritas harus teratur. Inilah yang dilakukan Nabi Muhammad selama masa perang. Covid-19 seperti perang," katanya.  

Sumbangan tidak dapat membantu di mana-mana ketika lonjakan kebutuhan terjadi begitu cepat. Di Jalur Gaza, kelompok Salam Amal biasanya menerima sumbangan dari Turki, Malaysia, Yordania, dan di tempat lain untuk proyek bantuan Ramadhannya. 

Tahun lalu, pihaknya mampu mendistribusikan 11 ribu paket makanan dan pakaian untuk anak-anak. Bantuan amal sangat vital di Gaza, yang telah berada di bawah blokade Israel-Mesir selama 13 tahun, meninggalkan lebih dari setengah populasi 2 juta di bawah garis kemiskinan. 

Namun tahun ini, pemberian bantuan telah mengering. Di momen yang sama tahun lalu, badan amal ini sudah memegang kontrak dengan tiga pihak yang dapat memberikan bantuan makanan kepada orang miskin. 

"Tahun ini kami tidak punya. Saya pikir kami melewatkan kesempatan untuk berbagi karena Ramadhan akan segera dimulai," kata juru bicara badan amal itu, Omar Saad. 

Di Pakistan, ulama Muslim yang kuat memaksa pemerintah membiarkan masjid terbuka sepanjang bulan Ramadhan. Mullah Abdul Aziz dari Masjid Merah di ibu kota, Islamabad, memerintahkan pengikutnya untuk tetap melaksanakan sholat berjamaah. Jumat lalu, para jamaah mulai memadati masjid.  

Meski begitu, imbauan yang dikeluarkan ulama Saudi yang memiliki berpengaruh untuk tinggal di rumah juga membawa dampak. "Kami mendengar di TV apa yang dikatakan para imam besar. Sholat adalah sholat. Tuhan tidak hanya di masjid," kata seorang warga Islamabad yang beribadah di rumah, Zaheer Abbas.  

Tidak semua tradisi Ramadhan berakar pada agama.  Mesir terkenal dengan komedi TV dan serial drama yang diputar selama bulan itu, yang disiarkan antara berbuka puasa dan sahur sebelum matahari terbit. Episode baru sedang diproduksi untuk tahun ini, meskipun ada batasan Covid-19.  

Rakyat Irak harus meninggalkan tradisi Ramadhan yang unik, yakni turnamen permainan yang disebut "Mheibes." Dalam permainan, tim yang terdiri dari beberapa lusin orang ini masing-masing berbaris dan satu anggota menyembunyikan cincin di tangannya.  

Seorang anggota tim lain harus menebak siapa yang memiliki cincin itu, biasanya dengan melihat barisan, mencoba membaca ekspresi wajah, atau mendengar deskripsi pemain lain. Turnamen yang panjang ini disertai dengan permen, teh, dan nyanyian.  

Otoritas kesehatan memohon kepada Jassim al-Aswad, juara lama Mheibes, dan penyelenggara turnamen, untuk membatalkannya demi keselamatan publik. 

 

Al-Aswad yang berusia 65 tahun dengan enggan menyetujui. "Aku merasa sangat sedih. Ramadhan akan dilaksanakan tanpa ritual populer tahun ini. Semoga Tuhan membalas dendam pada Covid-19, yang membuat kita kehilangan hobi terindah kita," kata dia.

 
Berita Terpopuler