Hukum Alam Covid-19

Berdasarkan teologi Hindu, terjadinya pandemi Covid-19 merupakan hukum alam.

Republika/Thoudy Badai
Warga mendorong gerobak saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran COVID-19 di kawasan Blok M, Jakarta, Ahad (12/4). Memasuki hari ketiga pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) sejumlah ruas jalan di Jakarta mulai sepi dari kendaraan roda dua dan empat
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ida Bagus Alit Wiratmaja, Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia, Provinsi Banten

Berdasarkan teologi Hindu, terjadinya pandemi Covid-19 merupakan hukum alam. Sama dengan musibah gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan peristiwa alam lainnya. Siklus alam bekerja, planet berputar, ada siang ada malam, dan sebagainya.

Itulah RTA sebagai hukum alam yang bersifat abadi dalam hubungan manusia dengan alam semesta ini. Mengganggu atau merusak eksistensi asasi alam, berarti merusak bumi berserta isinya, merusak ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.

Belakangan ini, banyak kerusakan alam ka rena rakusnya sebagian manusia menyebabkan siklus alami asasi terganggu. Misalnya, hutan semakin banyak yang gundul. Ini menyebabkan ketidakseimbangan alam yang menimbulkan rusaknya siklus alam yang asasi.

Perubahan siklus alam itu menyebabkan berbagai bencana di belahan bumi ini, termasuk pandemi Covid-19 yang melanda ham pir seluruh negara di dunia. Coba kita lihat, begitu terjadi pandemi Covid-19 yang dimulai di Wuhan, Cina, kita lihat perubahan alamnya luar biasa, dengan berhentinya aktivitas ekonomi, hiruk-pikuk lalu lintas, dan berhentinya sementara kegiatan industri.

Maka itu, setelah berhentinya aktivitas tersebut, kita lihat pemandangan angkasa udara di Wuhan terlihat membiru, bersih jernih. Demikian juga saat perayaan Hari suci Nyepi oleh umat Hindu di Bali, selama 24 jam penduduknya berdiam di rumah, terlihat pemandangan di angkasa membiru, bahkan berdasarkan penelitian BMKG telah terjadi penurunan tingkat polusi sampai 40 persen.

Inilah RTA, hukum alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, untuk menata eksistensi dan dinamika alam dan manusia yang terbangun dari lima unsur yang disebut panca maha bhuta (pertiwi/tanah, apah/air, bayu/udara, teja/api, dan ether/ruang angkasa).

Dalam Kalender Bali dinyatakan, ritual Hindu mengajari melakukan puja dan ritual sesuai siklus hidup dan semesta dalam ritual mulai dari lahir sampai kematian. Demikian pula, ritual kepada alam semesta, sebagai syukur dan mohon keselamatan kepada Tuhan.

Hindu mencintai alam dan lingkungan, kapan, dan di mana pun ia berada. Untuk maksud itulah, umat Hindu selalu berkurban suci untuk kelangsungan alam kecil (bhuwana alit) dan alam besar (bhuwana agung). Mereka melakukan upacara Bhuta Yadnya dengan tujuan mengharmoniskan alam. Dalam kitab suci Agastya Parwa dinyatakan, Bhuta Yadnya adalah mengembalikan unsur-unsur alam dan melestarikan tumbuh-tumbuhan.

Ketika terjadi pandemi Covid-19 hukum alam berjalan, semestinya kita minggir sementara dalam jalan yang aman (bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan berdoa dari rumah). Sama saat musim ombak besar di laut, nelayan tidak melaut sementara.

Bagaimana kita menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkung an, merupakan tiga hal yang dikenal sebagai Tri Hita Karana, konsep yang melihat kesatuan sistemis dari alam itu sendiri.

Tujuannya, mendorong bagaimana manu sia mengembangkan kasih sayang kepada sesama manusia, melestarikan lingkungan alam, dan hidup dalam perdamaian dunia menuju kesejahteraan dan kemakmuran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehubungan dengan pandemi Covid-19, ini salah satu perubahan alam, sebagai isyarat agar kita sebagai manusia mampu menjaga keseimbangan atau keharmonisan hubungan dengan alam.

Dalam pandangan Hinduisme, terjadinya wabah berbagai virus telah dikenal sejak lama, bahkan ada satu masa kewaspadaan bahwa pada setiap sasih kaenem atau bulan keenam dalam hitungan Tahun Saka, pada umumnya terjadi wabah yang disebut sasab mrana. Sasab mrana minimal terbagi dalam dua jenis, yaitu sasab gering dan sasab mrana. Sasab gering adalah wabah yang menimpa manusia.

Jika terjadi wabah seperti itu, biasanya dilakukan doa dalam ritual Caru Karang Gering atau upacara Bhuta Yadnya untuk menyucikan alam semesta guna menghindari penghuninya yang mengalami kesakitan. Sementara itu, sasab mrana adalah wabah penyakit yang menimpa ternak dan wabah yang menimpa tumbuh-tumbuhan. Biasanya dilakukan upacara "nangluk mrana" untuk menangkal atau mengendalikan gangguan-gangguan yang dapat membawa kehancuran atau penyakit pada ternak ataupun tanaman tersebut.

Jadi, kita bisa selamat dan sehat dalam ke hidupan dengan menjaga keharmonisan di dunia ini, yaitu menjaga keharmonisan lima unsur tersebut di atas yang membentuk bhuwana agung atau dunia ini dan bhuwana alit atau diri manusia itu sendiri. Mengutip Sugi Lanus, budayawan dan pembaca manuskrip Lontar, dalam pustaka lontar Widhi Sastra Roga Sangara Gumi, lon tar warisan kerajaan Majapahit, yang berisi tentang wabah dan datangnya malapetaka pe nyakit yang menjangkiti dunia.

Dalam manuskrip tersebut disebutkan, ganti kali bhumi atau peralihan jagat gelap, yakni setelah wabah menyerang dunia akan terjadi pergantian era kegelapan dunia menu ju sebuah awal era baru. Karena itu, dalam melawan Covid-19 umat Hindu melantunkan Doa Tryam bhakam, "Om tryambakam yajamahe sugandhim pusti vardhanam, urvarukamiva bandhanan mrtyor mukshiya mamritat".

Arti mantra Tryambakam, Bermata Tiga, kita bermeditasi kepada-Mu, Tuhan Yang Maha Esa, yang menembus dan memelihara se mua seperti wewangian. Semoga kita dibebaskan dari kekuatan penyakit, perbudakan, dan kematian demi keabadian.''

 
Berita Terpopuler