Pandemik Covid-19, Lockdown atau Social Distancing?

Kita harus tetap rasional, jangan panik menghadapi pandemik covid-19.

Dokumentasi pribadi
Indonesia saat ini sedang diserang covid-19. Foto: Khoerun Nisa Fadillah, S.IP., M.IP
Red: Karta Raharja Ucu

Oleh: Khoerun Nisa Fadillah, S.IP., M.IP*

“Kebijakan mengandung makna sebagai sebuah rationale, sebuah manifestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan. Sebuah kebijakan adalah usaha untuk mendefinisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak melakukan suatu tindakan". (Wayne Parsons, Professor of Public Policy, 1995)

Setelah lebih dari 118.000 kasus di 114 negara dan 4.291 manusia telah kehilangan nyawa, WHO kemudian menetapkan Covid-19 sebagai Pandemik (11/03/2020). Status Pandemik itu sendiri mencerminkan situasi di mana Covid-19 telah menjadi penyakit menular yang tersebar dengan mudah dari manusia ke manusia di berbagai tempat di seluruh dunia. Berkaitan dengan hal ini, WHO telah mengimbau negara-negara di dunia untuk mengambil tindakan yang mendesak dan agresif.

Beberapa negara telah mengambil kebijakan untuk mencegah, mengantisipasi, maupun menekan angka penyebaran virus corona tersebut. Bahkan sejumlah negara telah memberlakukan lockdown, yaitu situasi di mana orang tidak diperbolehkan untuk masuk atau meninggalkan sebuah bangunan atau kawasan dengan bebas karena suatu alasan yang darurat. Dengan kata lain, lockdown adalah penguncian suatu wilayah baik di tingkat kota maupun negara.

Sebagaimana dilansir CNN Indonesia (14/03/2020), Wuhan, Italia, dan Manila telah memberlakukan lockdown. Sebagai pusat perkembangan Covid-19, Wuhan menerapkan lockdown sejak 23 Januari 2020 atau beberapa pekan setelah Covid-19 merebak di ibu kota Hubei tersebut. Semua transportasi publik seperti kereta, bus, penerbangan, dan kapal ferry ditangguhkan, termasuk jalan bebas hambatan, perusahaan tidak strategis dan sekolah juga ditutup. Penduduk Wuhan dilarang keluar kawasan tanpa izin pihak yang berwenang.

Dua belas wilayah lain yang berhubungan langsung dengan Wuhan juga menerapkan lockdown serupa sehingga lebih dari 50 juta orang tak dapat bergerak keluar dari tempat mereka berada. Kebijakan ini mampu menekan infeksi Covid-19 secara drastis.

Begitu juga Italia, sebagai negara dengan peningkatan jumlah infeksi Covid-19 paling tinggi juga menerapkan lockdown. Italia menutup semua perbatasan, bar, restoran, pusat perbelanjaan, dan menghimbau warganya agar tidak meninggalkan rumah untuk bekerja, menjaga jarak setidaknya satu meter dari orang lain, tidak berkumpul di tempat umum. Bagi yang melanggar akan mendapatkan hukuman dan militer ikut dikerahkan untuk menegakkan aturan ini. 

Selain itu, Manila juga menerapkan lockdown tak lama setelah tiga menteri kabinetnya mengisolasi diri karena menjalin kontak dengan pasien yang terinfeksi Covid-19. Sekolah ditutup selama satu bulan, larangan pertemuan massal, dan tak mengizinkan warga dari luar masuk ke Manila.

Bagaimana dengan Indonesia? Pascadiumumkannya kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020, infeksi makin bertambah dan telah menyebar ke daerah-daerah provinsi, di antaranya Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jogjakarta, Bali, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Banten. Data terakhir (15/03/2020) menunjukan jumlah pasien positif terjangkit Covid-19 di Indonesia bertambah menjadi 117 kasus dengan 5 korban meninggal.

WHO pun telah mengimbau Pemerintah RI untuk menetapkan Darurat Nasional dan menerapkan sejumlah langkah di tengah meningkatnya infeksi Covid-19. Beberapa pihak juga mengusulkan agar Pemerintah Indonesia mengambil kebijakan lockdown untuk menekan penyebaran infeksi Covid-19. Namun, Pemerintah Indonesia tidak atau belum mengambil kebijakan lockdown karena mempertimbangkan kepanikan dan keresahan masyarakat jika lockdown dilakukan.

Pemerintah Indonesia lebih memilih untuk menerapkan kebijakan pembatasan jarak sosial atau social distancing dengan didukung oleh pembentukkan Gugus Tugas Percepatan Covid-19 yang dipimpin oleh Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Pascadiumumkannya salah satu Menteri terinfeksi Covid-19 (14/03/2020), kebijakan social distancing semakin gencar dilakukan.

Presiden RI melalui konferensi pers (15/03/2020) mengimbau masyarakat untuk bekerja, belajar, dan beribadah dari rumah. Sekolah-sekolah di beberapa daerah seperti di Jakarta, Depok, Tangerang, Solo, diliburkan. Beberapa instansi pemerintah mengeluarkan surat edaran untuk mengatur mekanisme work from home. Beberapa tempat wisata ditutup sementara dan acara-acara yang mengumpulkan banyak orang ditunda atau dibatalkan.

Kebijakan Pemerintah RI untuk lebih memilih social distancing daripada lockdown bukan tanpa pertimbangan dan belum tentu final. Sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Jenderal WHO (11/03/2020) bahwa menangani Covid-19 bukan hanya tentang bagaimana melindungi kesehatan tetapi juga meminimalisir disrupsi ekonomi dan sosial serta menghargai hak asasi manusia.

Di samping itu, kemampuan setiap negara berbeda baik dari segi kapasitas, sumber daya maupun tekadnya. Itulah mengapa kebijakan yang dikeluarkan negara berbeda-beda tergantung pilihan rasionalnya.

Kebijakan-kebijakan tersebut pun dimungkinkan berubah seiring perkembangan yang terjadi. Hal ini dikarenakan pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan ditentukan atau disetujui sebagaimana dinyatakan Anderson, “Kebijakan dibuat saat ia sedang diatur dan diatur saat sedang dibuat.” (Anderson, 1975).

Pandemik Covid-19 bukan hanya merupakan krisis kesehatan publik, tetapi juga krisis yang menyentuh semua sektor. Yang terpenting adalah bagaimana kebijakan tentang Covid-19 dibangun dengan melibatkan setiap sektor dan setiap individu yang ada. Sebagai bencana kemanusiaan, Pandemik Covid-19 tidak hanya membutuhkan kebijakan pemerintah, tetapi juga membutuhkan kebijakan kita bersama dalam membangun strategi komprehensif untuk mencegah infeksi Covid-19 yang lebih meluas, menyelamatkan nyawa manusia, dan menekan dampak buruk terhadap kehidupan manusia.

Betapa cermatnya struktur kebijakan disusun dari segi urutan analisis dan pilihan yang menjadi komitmen para pengambil kebijakan, penggunaan efektifnya masih harus didasarkan pada lingkungan sosial, psikologis, komunikasi di dalam masing-masing fungsi (Patton et al, 1989). Ini menjadi pembelajaran sosial bagi kita semua bahwa kebijakan tidak dibuat dalam ruang hampa, bahwa kebijakan dihasilkan atas penilaian yang penuh pertimbangan.

Mengapa hal ini harus dilakukan? Karena harga tertinggi yang harus dibayar untuk pembuatan kebijakan yang buruk adalah nyawa manusia (Wayne Parsons, 1995). Karenanya, kita harus tetap rasional, jangan panik, dan terus ikut berpartisipasi dalam menghadapi Pandemik Covid-19.
*) Pemerhati Sosial Politik Indonesia

 
Berita Terpopuler